JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen pada Januari 2025 telah memicu berbagai reaksi dari kalangan akademisi dan praktisi ekonomi. Dosen dan peneliti ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, mengungkapkan bahwa langkah pelonggaran moneter ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan sinyal makroekonomi yang mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, terutama sektor riil.
Pelonggaran Moneter: Antara Harapan dan Tantangan
Listya menilai bahwa sektor riil menjadi yang paling rentan dan sekaligus paling diharapkan mendapat dorongan dari langkah pelonggaran ini. Menurutnya, meskipun penurunan suku bunga dapat mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi domestik, langkah ini juga membawa risiko inflasi dan arus keluar modal asing. "Pengalaman ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter longgar dapat menjadi pedang bermata dua: memberikan dorongan pada konsumsi dan investasi, tetapi berisiko menciptakan tekanan inflasi baru yang dapat menggagalkan upaya stabilisasi ekonomi," ujar Listya.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun suku bunga acuan BI lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, langkah pelonggaran moneter ini belum mampu menggerakkan sektor riil secara signifikan. "Sektor riil menjadi yang paling rentan dan sekaligus paling diharapkan mendapat dorongan dari langkah pelonggaran ini," tambahnya.
Dampak terhadap Nilai Tukar Rupiah
Selain itu, Listya mengungkapkan bahwa kebijakan pelonggaran moneter dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah. Ia menjelaskan bahwa perbedaan suku bunga antara Indonesia dan negara-negara maju dapat menyebabkan arus keluar modal asing, yang pada gilirannya dapat menekan nilai tukar rupiah. "Investor global cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk mencari imbal hasil lebih tinggi di aset berdenominasi dolar," kata Listya.
Ia juga menambahkan bahwa volatilitas nilai tukar dapat menciptakan ketidakpastian dalam perekonomian, yang dapat mempengaruhi keputusan investasi dan konsumsi. "Pelaku usaha kesulitan menetapkan harga, investor menahan diri, dan beban utang luar negeri dalam dolar membengkak," ujarnya.
Peran BI dalam Stabilitas Ekonomi
Listya menekankan pentingnya peran BI dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui kebijakan moneter yang hati-hati dan terkoordinasi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan moneter tidak pernah netral secara politik dan harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang mendukung. "Di sini jelas terlihat bahwa kebijakan moneter tidak pernah netral secara politik," kata Listya.
Ia juga mengungkapkan bahwa kurangnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal dapat memperburuk sentimen negatif di pasar. "Tanpa komunikasi strategis yang jelas, pasar akan bertindak berdasarkan asumsi terburuk, bukan pada data yang ada," tambahnya.
Pelonggaran moneter yang dilakukan oleh BI memiliki dampak yang kompleks terhadap perekonomian Indonesia. Meskipun langkah ini diharapkan dapat mendorong konsumsi dan investasi domestik, risiko inflasi dan arus keluar modal asing perlu diwaspadai. Selain itu, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan pasar.
Sebagai penutup, Listya mengingatkan bahwa fluktuasi nilai tukar dapat terjadi, namun membiarkannya berubah menjadi krisis adalah pilihan yang bisa dan harus dicegah. "Fluktuasi boleh terjadi, tetapi membiarkannya berubah jadi krisis adalah pilihan yang bisa dan harus dicegah," pungkasnya.