Harga Beras Naik, Petani Tetap Miskin

Jumat, 27 Juni 2025 | 10:16:43 WIB
Harga Beras Naik, Petani Tetap Miskin

JAKARTA — Kenaikan harga beras dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan keprihatinan di tengah masyarakat. Data Tempo 2024 mencatat harga rata-rata beras kualitas terendah melonjak dari Rp10.000 menjadi hampir Rp13.000 per kilogram. Ironisnya, meski harga pangan naik, nasib petani Indonesia tak kunjung membaik. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa petani tetap miskin di negeri agraris ini?

Jawaban atas persoalan itu ternyata berakar pada sejarah panjang kebijakan pertanian Indonesia, khususnya penerapan program revolusi hijau pada era Orde Baru. Revolusi hijau yang awalnya bertujuan meningkatkan produksi pangan justru meninggalkan banyak persoalan yang hingga kini membelenggu petani.

Awal Revolusi Hijau: Produktivitas Jadi Prioritas

Revolusi hijau bermula dari keberhasilan agronom Norman Borlaug pada 1940-an yang menciptakan benih gandum varietas baru di Meksiko. Dalam dua dekade, produksi gandum Meksiko meningkat dua kali lipat hingga negara itu menjadi eksportir. Konsep ini kemudian diadopsi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang melihat revolusi hijau sebagai solusi mengatasi kemiskinan lewat peningkatan produktivitas pangan.

Di Indonesia, program ini dijalankan pada masa Orde Baru melalui program Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal), dengan mendorong petani menggunakan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, serta teknologi pertanian modern. Pemerintah berharap dengan meningkatkan hasil panen, petani akan lebih sejahtera dan Indonesia mampu swasembada pangan.

Dampak Sosial: Hilangnya Sistem Gotong Royong

Namun, kenyataan di lapangan tidak seindah harapan. Kehadiran traktor, pupuk, dan pestisida kimia memutus rantai gotong royong di pedesaan. Sebelumnya, petani mengandalkan sistem kerja bersama yang membuka lapangan kerja dan memperkuat solidaritas sosial. “Posisi pertanian sebagai produsen pasar memaksa petani untuk mempercepat produksinya, dan itu menghancurkan sistem gotong royong,” ungkap peneliti Syatori.

Kesenjangan Sosial Meningkat

Subsidi bibit, pupuk, dan teknologi hanya dinikmati petani bermodal besar dengan lahan luas. Petani gurem yang lahannya terbatas tidak bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi, sehingga hanya petani kaya yang semakin diuntungkan. Hal ini menimbulkan ketimpangan sosial yang kian lebar di desa. “Revolusi hijau ternyata menyebabkan para petani kaya semakin kaya, dan petani miskin semakin miskin,” tegas peneliti Usman.

Krisis Lingkungan: Tanah Rusak dan Air Tercemar

Revolusi hijau yang menekankan produksi cepat melalui penggunaan pupuk dan pestisida kimia berdampak buruk pada lingkungan. Tanah menjadi tandus, air sawah tercemar, serta keanekaragaman hayati terganggu. “Penggunaan pupuk dan pestisida menyebabkan tanah menjadi tidak subur, air tidak sehat, dan flora-fauna terganggu,” kata Muharram.

Ketergantungan pada Industri dan Tengkulak

Petani gurem yang awalnya mandiri kini sangat bergantung pada pupuk, pestisida, serta pasar. Jika pupuk langka atau harganya naik, petani terancam gagal panen. Parahnya lagi, harga gabah yang dibeli tengkulak sangat rendah, sementara harga beras untuk konsumen tetap tinggi. Ini membuat petani hanya cukup bertahan hidup, bukan untuk sejahtera.

Scott (1981) mencatat petani kecil cenderung menghindari risiko, termasuk mencoba inovasi seperti pupuk organik atau pola tanam baru. Ketakutan akan gagal panen membuat mereka tetap bergantung pada pola lama, meski tidak menguntungkan.

Alih Fungsi Lahan dan Proyek Pemerintah

Alih fungsi lahan pertanian menjadi tambang atau kawasan industri memperparah kondisi petani. Banyak lahan subur hilang karena proyek pemerintah atau perusahaan besar, dan air serta tanah menjadi tercemar akibat aktivitas industri. Petani yang kehilangan lahan akhirnya terpaksa menjadi buruh kasar atau pindah ke kota.

Pemerintah Pilih Impor, Petani Terpinggirkan

Saat harga pangan naik, alih-alih memberdayakan petani lokal, pemerintah justru memilih impor beras sebagai solusi cepat. Padahal, kebijakan impor ini tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan petani, bahkan memperburuk ketergantungan pada beras luar negeri. “Pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan mengimpor pangan, sementara petani kita dibiarkan terpuruk,” ujar Syatori.

Solusi: Dukungan Holistik untuk Petani Kecil

Pakar pertanian menyarankan beberapa langkah untuk memperbaiki kondisi petani di Indonesia, seperti:

Mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
Meningkatkan akses petani gurem pada subsidi dan teknologi ramah lingkungan.
Memperpendek rantai distribusi agar petani mendapat harga jual yang layak.
Menata ulang sistem irigasi agar merata dan tidak hanya dinikmati pemilik lahan luas.
Mendorong penerapan pupuk organik dan praktik pertanian berkelanjutan.

Terkini