Kebijakan Kesehatan Jadi Kunci Tangani PTM

Rabu, 09 Juli 2025 | 07:09:02 WIB
Kebijakan Kesehatan Jadi Kunci Tangani PTM

JAKARTA - Di tengah meningkatnya beban penyakit yang dipicu oleh pola makan dan gaya hidup modern, para ilmuwan dan akademisi menyerukan pentingnya transformasi kebijakan kesehatan berbasis sains. Hal ini mengemuka dalam seminar internasional yang diselenggarakan di Jakarta, dengan fokus pada upaya kolektif menanggulangi penyakit tidak menular (PTM) melalui pendekatan berbasis bukti dan sensitif budaya.

Penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker kini menjadi ancaman terbesar dalam sistem kesehatan Indonesia. Tren ini tak hanya meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, tetapi juga membebani sistem pembiayaan kesehatan nasional. Di tengah situasi ini, konsumsi gula, garam, dan lemak jenuh yang berlebihan menjadi faktor pemicu utama yang terus berlangsung akibat kurangnya regulasi pangan yang berpihak pada kesehatan masyarakat.

“Kita tahu hubungan antara diet dan penyakit. Tapi pengetahuan saja tidak cukup. Kita butuh kebijakan yang efektif dan adil,” tegas Herawati Sudoyo Supolo, Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIK-AIPI), dalam pidato pembukaannya.

Herawati menekankan bahwa ilmu pengetahuan telah banyak membuktikan keterkaitan erat antara pola makan tidak sehat dan munculnya penyakit kronis. Namun, menurutnya, tantangan nyata kini bukan lagi di ranah penelitian, melainkan dalam mengubah temuan ilmiah menjadi intervensi kebijakan yang konkret, dapat diterapkan luas, dan diterima oleh masyarakat lintas kelas sosial.

Seminar internasional yang diadakan oleh KIK-AIPI bekerja sama dengan Indonesian Nutrition Initiative (IGI) dan Program Magister Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menjadi wadah diskusi lintas sektor yang melibatkan para pembuat kebijakan, pakar nutrisi, ahli kesehatan masyarakat, hingga akademisi lintas disiplin. Agenda utama yang diangkat adalah urgensi penguatan kebijakan pangan yang selaras dengan kondisi budaya dan sosial masyarakat Indonesia.

Selama beberapa dekade terakhir, pola konsumsi masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Makanan cepat saji, minuman manis, serta produk ultra-proses semakin mendominasi, menggantikan makanan tradisional yang lebih sehat. Hal ini diperparah dengan kurangnya edukasi publik dan lemahnya regulasi dalam membatasi promosi makanan tidak sehat, terutama pada anak-anak dan remaja.

Baca juga:
Obesitas, Ancaman dari Gaya Hidup Serba Praktis

Dalam forum tersebut, dibahas pula pentingnya pendekatan lintas sektor dalam menanggulangi PTM. Tidak cukup hanya dari sisi kesehatan atau kedokteran, namun juga perlu dukungan kebijakan dari sektor ekonomi, pendidikan, dan industri pangan. Integrasi lintas sektor ini, menurut para pembicara, adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat memilih pola hidup sehat secara berkelanjutan.

“Ilmu pengetahuan memberikan banyak jawaban. Tapi bagaimana kita bisa menjembatani ilmu itu dengan kebijakan yang berdampak, itu yang masih jadi PR kita bersama,” ujar Herawati.

Salah satu pendekatan yang dibahas adalah perlunya kebijakan pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak jenuh melalui labeling pangan yang lebih informatif, pajak terhadap produk tinggi gula, serta promosi makanan sehat di lingkungan sekolah dan tempat kerja. Beberapa negara, seperti Meksiko dan Inggris, telah menerapkan kebijakan serupa dengan hasil yang cukup signifikan dalam menurunkan prevalensi obesitas dan diabetes.

Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan dalam menerapkan kebijakan serupa secara nasional. Berbagai kepentingan, mulai dari industri pangan hingga resistensi sosial terhadap perubahan pola makan, menjadi hambatan besar. Oleh karena itu, seminar ini mendorong adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah, disertai dengan dukungan masyarakat sipil dan dunia akademik.

Dalam diskusi panel, para pembicara juga menekankan bahwa intervensi kesehatan tidak boleh lepas dari konteks sosial dan budaya masyarakat. Misalnya, mendorong konsumsi makanan sehat berbasis pangan lokal yang sudah akrab dalam budaya makan masyarakat dapat menjadi strategi yang lebih mudah diterima dibanding sekadar kampanye pengurangan gula atau garam.

Acara ini juga diharapkan menjadi katalisator bagi kolaborasi lebih erat antara komunitas ilmiah dan para pengambil kebijakan. Melalui pendekatan berbasis bukti ilmiah yang relevan secara budaya, para peserta forum optimistis bahwa Indonesia dapat menghadapi tantangan penyakit tidak menular dengan lebih efektif.

Penutup dari seminar tersebut menegaskan pentingnya keberlanjutan advokasi kebijakan berbasis sains dalam menangani epidemi PTM. Tanpa perubahan sistemik dalam kebijakan pangan dan kesehatan publik, ancaman penyakit tidak menular akan terus meningkat dan berisiko menggerus kualitas hidup generasi mendatang.

Terkini