AAUI Dukung Co Payment yang Adil dan Inklusif

Kamis, 10 Juli 2025 | 13:18:51 WIB
AAUI Dukung Co Payment yang Adil dan Inklusif

JAKARTA - Keputusan terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Komisi XI DPR RI untuk menunda penerapan skema co‑payment dalam asuransi kesehatan membuka peluang emas bagi revisi regulasi yang lebih mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Ketentuan ini, jika langsung diimplementasikan, berpotensi menambah beban finansial bagi masyarakat berpenghasilan rendah—oleh karena itu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dengan tegas menyoroti urgensi perlindungan terhadap kelompok rentan, serta menyerukan agar skema baru tidak memperberat mereka.

Kerangka Regulasi Co‑Payment: Apa yang Sedang Dipertimbangkan?

Co‑payment—sistem dimana pasien menanggung sebagian kecil biaya medis—diusulkan sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan keuangan asuransi kesehatan. Namun penerapannya di tengah masyarakat yang pendapatannya timpang berpotensi menciptakan hambatan akses layanan bagi kelompok miskin atau berdaya beli rendah.

OJK dan DPR, melalui dialog intensif, akhirnya memilih untuk menunda kebijakan ini. Penundaan bukan berarti mengabaikan pentingnya co‑payment dalam menyeimbangkan dana asuransi, melainkan memberi waktu untuk menyusun mekanisme yang lebih proporsional, adil, dan sesuai karakteristik sosial-ekonomi Indonesia.

Suara AAUI: “Tidak Boleh Jadi Beban Tambahan”

Dalam pernyataannya, AAUI menekankan bahwa desain skema co‑payment perlu memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat. Menurut mereka, mekanisme ini tidak boleh menjadi beban tambahan, terutama bagi keluarga miskin, lansia, ataupun penyandang disabilitas yang membutuhkan layanan medis berkala.

Lebih jauh lagi, AAUI meminta pemberian batas atas (cap) jumlah co‑payment per pelayanan atau per pasien dalam jangka waktu tertentu. Hal ini bertujuan melindungi masyarakat dari beban tak terduga akibat biaya tambahan, dan diharapkan meningkatkan rasa aman masyarakat dalam menggunakan layanan kesehatan tanpa takut risiko finansial melambung.

Peluang Menguatkan Perlindungan Sosial

Penundaan ini membuka peluang memperkuat instrumen kesehatan inklusif seperti jaminan sosial (BPJS Kesehatan) dan asuransi swasta yang didesain sesuai kebutuhan lokal. Skema co‑payment yang ideal bisa berperan sebagai complementary cover—pelengkap asuransi utama yang memungkinkan masyarakat memperoleh pelayanan lebih baik tanpa risiko finansial berat.

AAUI juga mengusulkan penerapan skema subsidi silang, di mana pasien mampu membantu pasien berpenghasilan rendah dalam sistem tertutup. Prinsip solidaritas ini, jika dikombinasikan dengan transparansi biaya medis, bisa memperkuat rasa kepercayaan publik terhadap ekosistem asuransi.

Tantangan Teknis dan Tekanan Eksternal

Meski tunjangan sosial menjadi semangat utama, menyusun mekanisme co‑payment yang adil bukan tanpa tantangan:

Kesenjangan Data: Validitas data kemampuan ekonomi masyarakat menjadi kunci untuk menetapkan kelompok mana yang layak dibebaskan atau mendapatkan pengurangan co‑payment.

Potensi Moral Hazard: Jika jumlah pasien miskin mencapai jumlah besar, premi atau tarif medis bisa naik untuk menutup kekurangan dana.

Tekanan Globalisasi Biaya Medis: Peningkatan biaya layanan kesehatan akibat inflasi input, teknologi canggih, serta tuntutan dokter dan rumah sakit dapat mempersempit ruang gerak kebijakan.

Oleh karena itu, OJK, AAUI, pemerintah daerah, dan Kementerian Kesehatan harus bekerja sama merancang mekanisme pelindung sosial yang adaptif dan efisien.

Pembelajaran dari Praktik Global

Beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Jerman telah menerapkan co‑payment dengan kenaikan biaya minimal (flat fee kecil) atau sistem donut hole, yang membatasi biaya tambahan hingga batas tertentu, setelah itu masyarakat tidak lagi dikenakan tarif. Model serupa bisa disesuaikan dengan struktur ekonomi Indonesia.

AAUI juga menyarankan pelaksanaan uji coba pilot project di beberapa daerah demografi rendah sampai tinggi untuk memetakan skema skala biaya, perilaku pasien, hingga dampak keuangan dan kesehatan masyarakat.

Arah Kebijakan dan Reformasi Sistem Kesehatan

Penundaan co‑payment oleh OJK dan DPR bisa menjadi momentum bagi reformasi lebih luas:

Revitalisasi Sistem BPJS: Memperkuat basis data penerima bantuan, sistem verifikasi ganda, serta digitalisasi klaim agar lebih efisien dan akuntabel.

Kemitraan Lintas Sektor: Melibatkan dinas kesehatan daerah, provider asuransi swasta, akademisi, dan lembaga non-profit untuk menyusun skema inklusif berbasis riset dan kondisi lapangan.

Regulasi Biaya Kesehatan yang Transparan: Pembuatan juknis atau standar biaya medis (INA-CBG), sehingga pasien memahami komponen biaya dan tidak merasa dirugikan.

Dampak Positif Penundaan Skema Co‑Payment

Mencegah Kenaikan Premi Mendadak: Penundaan memberikan waktu bagi penyusunan ulang premi agar tidak berimbas drastis pada nasabah.

Kerangka Kebijakan yang Solid dan Komprehensif: Memberi ruang bagi evaluasi, dialog publik, dan masukan dari pemangku kepentingan.

Keadilan Distribusi Bantuan Berbasis Kebutuhan: Lebih efisien dalam mendukung pasien dengan kondisi ekonomi rentan.

Penguatan Ekosistem Asuransi yang Inklusif: Disain policy yang adaptif terhadap kondisi lokal manusia dan sistem publik.

Regulasi Co‑Payment sebagai Proses Demokratis

Penundaan skema co‑payment tidak semata menunda kebijakan, tetapi merumuskan ulang kesadaran kolektif kita akan pentingnya keadilan sosial dalam kebijakan publik. OJK dan DPR harus memanfaatkan momen ini untuk menciptakan regulasi cermat, inklusif, dan transparan.

AAUI, melalui pandangannya, mengingatkan bahwa regulasi ini bukan hanya soal struktur pelayanan, tetapi test kasus terhadap komitmen kita menjaga masyarakat miskin dan rentan. Pendekatan proaktif melibatkan sistem digital, pilot project, batas co‑payment, serta subsidi silang, bisa membuka jalan bagi sistem yang tidak hanya efisien, tapi bermartabat bagi semua.

Kesuksesan skema ini akan menjadi benchmark bagi reformasi sektor keuangan lain: di sinilah titik keseimbangan antara efektivitas fiskal dan keadilan sosial diuji. OJK, DPR, AAUI, dan masyarakat bersama-sama memegang tanggung jawab membentuk skema kesehatan yang relevan dan memperkuat kepercayaan publik. Jika dikawal dengan baik, ini bukan sekadar perluasan asuransi kesehatan, tetapi langkah maju bagi Indonesia inklusif yang siap menghadapi tantangan sosial ekonomi masa depan.

Terkini

KAI Mini Fair 2025 Hadir di Stasiun Gubeng

Kamis, 10 Juli 2025 | 13:25:21 WIB

Transportasi Umum Rabu, Gubernur Patuh, ASN Lalai

Kamis, 10 Juli 2025 | 13:41:34 WIB