INA Kerek Investasi dengan Strategi Progresif

Kamis, 10 Juli 2025 | 14:10:37 WIB
INA Kerek Investasi dengan Strategi Progresif

JAKARTA - Sejak berdirinya pada tahun 2020, Investment Authority (INA) terus menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam menarik modal, membuktikan perannya sebagai instrumen utama dalam strategi investasi nasional. Data kumulatif menunjukkan nilai penanaman modal mencapai Rp 65,4 triliun hingga Mei 2025 — pencapaian yang mencerminkan keberhasilan INA menghadapi tantangan global dan domestik dalam menciptakan iklim investasi yang kompetitif. Keberhasilan ini tidak terjadi dalam sekali jalan, melainkan hasil dari langkah-langkah strategis dan pendekatan inovatif yang mendorong arus masuk investasi, termasuk moneter asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Ketua Dewan Direktur INA, Ridha Wirakusumah, memberikan gambaran rinci mengenai dinamika inflow tahun lalu. “Sepanjang tahun 2024 lalu, INA menarik penanaman modal asing langsung sebesar Rp 13,8 triliun atau setara dengan 2,5 kali lipat dari investasi ekuitas INA pada periode yang sama.” Hal ini menunjukkan bahwa modal asing tidak hanya memasuki pipeline proyek INA, tetapi juga membuat komitmen signifikan yang berkelanjutan.

Nilai Rp 65,4 triliun sejak tahun 2020 hingga Mei 2025 mencakup keseluruhan modal yang masuk ke berbagai proyek yang diinisiasi atau difasilitasi oleh INA. Perolehan ini tidak hanya berasal dari investor domestik, tetapi juga dari investor global yang sudah menaruh minat terhadap berbagai sektor prioritas nasional. Dalam kerangka pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan kebutuhan untuk mendorong transformasi ekonomi, dana tersebut digunakan menjawab berbagai prioritas, mulai dari infrastruktur energi dan pertanian, hingga penguatan teknologi dan digitalisasi.

Khazanah pencapaian tersebut terhitung signifikan pula karena nilai Rp 13,8 triliun FDI pada 2024 lebih dari satu generasi ekuitas INA sendiri. Data ini mempertegas bahwa investasi asing memberikan andil besar dalam struktur portofolio INA, memperluas daya tarik nasional di mata investor internasional. Artinya, INA tidak hanya berfungsi sebagai perantara bagi investor lokal, tetapi benar-benar memikat investor asing untuk masuk langsung — suatu pencapaian yang patut diapresiasi dalam konteks persaingan global yang semakin ketat.

Lebih jauh, besarnya rasio inflow FDI terhadap ekuitas INA (2,5 x) bukan tanpa alasan. Strategi INA yang bersifat blended finance dan joint venture dengan mitra asing kelas dunia memberi kepastian aspek teknis, legal, dan finansial. Hal ini meningkatkan confidence investor global karena mereka melihat INA sebagai aktor yang menyediakan pipeline proyek matang, pendanaan komprehensif, dan akses ke sektor dengan potensi besar di dalam negeri.

Dalam perjalanannya, proyek-proyek yang dikomunikasikan sehingga mendapat komitmen FDI mencakup berbagai tema, seperti energi terbarukan, hilirisasi komoditas, serta infrastruktur logistik. Kesemuanya merupakan sektor yang sangat didorong pemerintah dalam strategi ekonomi hijau dan pemulihan pasca-Covid-19.

Model keberhasilan INA dalam menarik investasi asing tidak hanya sebatas nilai FDI, tetapi juga mendorong transfer teknologi dan peningkatan kapabilitas lokal. Mitra asing datang dengan teknologi mutakhir dan praktik terbaik (best practice), yang kemudian diserap melalui joint venture, kolaborasi riset, serta pelatihan lokal. Dampak lanjutannya adalah peningkatan kualitas SDM nasional dan kemampuan negara dalam memasuki rantai nilai tambah global.

Meski demikian, tantangan terus mengintimidasi INA di tingkat nasional maupun global. Fluktuasi ekonomi global, pergeseran geopolitik, serta perubahan preferensi investor menuntut INA untuk terus adaptif. Namun data kumulatif Rp 65,4 triliun menunjukkan bahwa organisasi ini sudah berhasil mempertahankan momentum positif sejak awal beroperasi.

Pihak INA juga mencatat nilai instumen investasi domestik yang diperoleh melalui ekuitas mereka. Komitmen ekuitas ini berfungsi sebagai sinyal kesiapan pemerintah dan INA sendiri bersedia “memasukkan modal” untuk membuktikan projek layak dan menarik. Ini penting untuk mendatangkan investor asing, karena mereka sering kali memerlukan sinyal komitmen pemerintah untuk mengimbangi risiko.

Secara keseluruhan, pencapaian ini membawa pesan kuat: sejak kelahirannya pada 2020 hingga pertengahan 2025, INA telah menjadi motor penggerak kompetitifitas sektor investasi di Indonesia. Semua ini dikelola dengan tata kelola yang baik, sinergi dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas, serta dukungan regulasi yang mempermudah (ease of doing business) bagi investor global.

Indonesia kini dihadapkan pada era baru ekonomi hijau, transformasi energi, dan strategi pemulihan berkelanjutan. INA telah membuktikan diri mampu menarik modal yang dibutuhkan. Proyeksi ke depan adalah memperluas capaian ini, menarik lebih banyak FDI berbasis keberlanjutan, dan menjadikannya instrumen utama dalam mempercepat pertumbuhan inklusif.

Capaian Rp 65,4 triliun kumulatif dan FDI Rp 13,8 triliun pada 2024 bukan sekadar angka — ini adalah bukti bahwa INA sukses menghubungkan modal asing dan lokal dalam proyek strategis nasional. Ini sekaligus memperkuat fondasi bahwa Indonesia kini mampu bersaing menggaet investor global melalui pipeline yang matang, komitmen ekuitas, dan sinergi berbagai pemangku kepentingan dalam menciptakan ekosistem investasi yang inklusif dan berdaya saing.

Terkini

KAI Mini Fair 2025 Hadir di Stasiun Gubeng

Kamis, 10 Juli 2025 | 13:25:21 WIB

Transportasi Umum Rabu, Gubernur Patuh, ASN Lalai

Kamis, 10 Juli 2025 | 13:41:34 WIB