JAKARTA - Dalam menghadapi tantangan transformasi digital nasional, peran informasi geospasial kini mendapatsorotan baru sebagai penopang utama pembangunan lintas sektor. Hal ini mengemuka dalam Rapat Koordinasi Informasi Geospasial (IG) Regional Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang digelar Badan Informasi Geospasial (BIG) secara daring, dengan mengangkat tema “Mendorong Hilirisasi Industri Geospasial Sinergi untuk Kemandirian dan Daya Saing Nasional.”
Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar BIG, Mohamad Arief Syafi’i, saat membuka acara, menyampaikan pentingnya mengubah pendekatan pengelolaan informasi geospasial di Indonesia. Menurutnya, paradigma lama yang hanya berorientasi pada penyediaan data tidak lagi cukup untuk menjawab kebutuhan zaman yang semakin kompleks.
“Kita tidak cukup hanya menyediakan data. Kita harus menciptakan nilai tambah dari data tersebut, sehingga menjadi informasi yang dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor,” tegas Arief.
Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia perlu melakukan pergeseran dari pola kerja berbasis penyediaan data menuju paradigma baru yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan sektor pembangunan secara langsung. Informasi geospasial, lanjut Arief, perlu menjadi instrumen utama dalam mewujudkan kebijakan spasial cerdas (smart spatial policy), pengembangan layanan berbasis lokasi, hingga mendorong inovasi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan Digital Twin.
Lebih jauh, Arief menjelaskan setidaknya ada tiga langkah strategis yang harus diambil untuk mengakselerasi hilirisasi industri geospasial di tanah air.
Pertama adalah penguatan kelembagaan di tingkat daerah. Ia menyatakan, pembentukan simpul jaringan kelembagaan informasi geospasial di level provinsi maupun kabupaten/kota harus menjadi fokus utama. “Struktur kelembagaan daerah harus menjadi motor penggerak inovasi spasial, bukan sekadar formalitas,” tegasnya.
Langkah kedua menurut Arief adalah memperluas kemitraan multisektor. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, dunia akademik, industri, serta komunitas digital menjadi katalis penting untuk transfer pengetahuan dan adopsi teknologi geospasial yang lebih masif. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat berjalan sendiri dalam menghadirkan ekosistem spasial yang sehat dan produktif.
Ketiga, Arief menyoroti pentingnya investasi serius dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM). Tanpa talenta yang unggul dan mumpuni, transformasi teknologi di sektor geospasial dinilai akan sulit tercapai. Ia menekankan perlunya membangun SDM yang mampu memandang ruang sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar peta.
Dalam paparannya, Arief juga mengingatkan akan besarnya dampak ekonomi yang dapat dihasilkan dari sektor geospasial. Ia mencontohkan keberhasilan Australia yang setiap tahunnya mampu mengakumulasi nilai ekonomi mencapai sekitar 600 miliar dollar hanya dari optimalisasi informasi geospasial.
“Indonesia memiliki potensi besar di sektor ini, tapi tantangan terbesar adalah bagaimana menyatukan visi, menyusun langkah yang konkret, dan menjadikan data geospasial sebagai penggerak utama pembangunan,” ujar Arief.
Ia kemudian merinci sejumlah agenda aksi nyata yang dapat dilakukan berbagai pemangku kepentingan untuk mempercepat hilirisasi industri geospasial. Pertama, mengoptimalkan pemanfaatan data geospasial dalam perencanaan pembangunan berbasis bukti (evidence-based planning). Kedua, mendorong keterbukaan data antar-instansi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi duplikasi sumber daya.
Selanjutnya, Arief juga menekankan perlunya integrasi informasi spasial dalam layanan publik digital yang berbasis data aktual. Ia juga mengajak semua pihak untuk menyusun tata kelola kelembagaan serta roadmap pengembangan SDM geospasial di daerah secara terukur. Di sisi teknologi, ia menyarankan untuk mendorong pemanfaatan inovasi canggih seperti kecerdasan buatan dan Digital Twin namun dengan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab.
“Teknologi ini bisa mempercepat transformasi, tapi pengaplikasiannya harus memastikan kebermanfaatan sosial dan menghindari risiko penyalahgunaan,” imbuh Arief.
Menutup sambutannya, Arief mengajak seluruh peserta untuk memanfaatkan forum rapat koordinasi ini sebagai momentum konsolidasi ide, penyatuan langkah, dan aksi nyata demi kemandirian informasi geospasial nasional. Ia meyakini informasi spasial tidak hanya sebagai fondasi, tetapi juga sebagai pengarah arah pembangunan Indonesia ke depan.
“Informasi spasial harus menjadi bukan hanya fondasi, tetapi juga suara pembangunan berkelanjutan. IG dan seluruh mitra siap menjadi energi, tapi arah dan semangatnya harus dibentuk bersama,” tutup Arief dalam forum tersebut.
Rapat Koordinasi Regional yang diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam percepatan implementasi transformasi geospasial nasional yang terintegrasi, efektif, dan berdampak luas bagi pembangunan berkelanjutan.