JAKARTA - Di balik layar ponsel dan gemerlap promosi aplikasi judi online yang kian menjamur, tersimpan kisah-kisah kelam yang jarang disorot. Kisah tentang seseorang yang diam-diam menghabiskan malam demi malam, berjudi hingga saldo habis, hidupnya kacau, dan hubungannya rusak. Bagi sebagian orang, kecanduan judi bukan semata masalah kebiasaan buruk—melainkan jejak luka lama yang belum sembuh.
Hal ini disampaikan oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, seorang psikiater yang telah lama mendalami persoalan trauma dan kesehatan jiwa. Dalam peluncuran bukunya yang berjudul “Pulih dari Trauma” di Gramedia Jalma, Jakarta, Minggu 14 JULI 2025, ia menekankan bahwa banyak kasus kecanduan judi online sebenarnya berakar dari trauma psikologis yang belum selesai.
“Sebagiannya itu karena trauma makanya dia kecanduan, berusaha mengisi kesenangan dengan cara ekstrem,” ungkap dr. Jiemi. “Berusaha mengisi kesenangan yang besar, yang kalau orang normal nggak butuh intensitas kesenangan sebesar itu.”
Judi Bukan Hanya Masalah Ekonomi, Tapi Luka Psikis yang Tak Terjamah
Menurut dr. Jiemi, sebagian besar pendekatan yang selama ini digunakan untuk menanggulangi kecanduan judi hanya fokus pada aspek ekonomi atau perilaku. Padahal, akar masalahnya bisa jauh lebih dalam: rasa sakit yang tidak terlihat, pengalaman traumatis yang tak terselesaikan, dan upaya melarikan diri dari realitas yang menyakitkan.
Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa trauma adalah luka psikologis yang tidak hanya menghantui pikiran seseorang, tetapi juga dapat memengaruhi cara otak memproses kesenangan, stres, dan pengambilan keputusan. Bagi sebagian penyintas trauma, aktivitas seperti berjudi dapat memicu lonjakan dopamin (hormon kesenangan) yang mereka anggap sebagai “pelarian aman”—padahal justru membawa mereka ke dalam lingkaran candu.
“Orang yang mengalami trauma sering kali memiliki kebutuhan akan stimulasi emosi yang lebih intens. Ini karena otak mereka, dalam kondisi tertentu, sudah mengalami disfungsi dalam mengelola respons stres,” kata Jiemi.
Perilaku Kompensatif: Judi Sebagai Upaya Menghindari Rasa Sakit
Kecanduan, dalam berbagai bentuknya, sering kali merupakan bentuk kompensasi—usaha bawah sadar untuk menghindari rasa tidak nyaman yang mendalam. Dalam kasus judi online, orang yang mengalami trauma bisa saja menggunakan sensasi menang-kalah, tegang-senang, sebagai semacam “anestesi emosional” terhadap rasa sakit batin yang tidak pernah dihadapi secara langsung.
“Bayangkan ada orang yang kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan saat kecil, atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga sejak remaja. Luka itu tidak sembuh, dan ketika dewasa, mereka mencari cara untuk merasa ‘hidup’ kembali. Sayangnya, banyak yang memilih cara yang justru merusak,” ungkap dr. Jiemi.
Hal ini diperkuat oleh berbagai studi internasional yang menunjukkan hubungan erat antara riwayat trauma masa kecil (adverse childhood experiences/ACE) dengan peningkatan risiko gangguan adiksi di masa dewasa—termasuk judi, alkohol, hingga narkoba.
“Pulih dari Trauma”: Panduan Bagi yang Ingin Lepas dari Rantai Masa Lalu
Buku terbaru dr. Jiemi, “Pulih dari Trauma”, tidak hanya memotret dinamika psikologis dari trauma dan kecanduan, tetapi juga memberikan pendekatan praktis bagi pembaca untuk mulai menyembuhkan diri. Ia memadukan pemahaman ilmiah dengan narasi yang mudah dicerna, membuat pembaca merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan pemulihan.
“Trauma itu seperti luka dalam yang tak terlihat. Kalau luka fisik bisa diperban, luka psikologis harus dipahami dulu agar bisa sembuh. Buku ini saya tulis untuk mereka yang ingin mengenal diri, dan bagi keluarga atau tenaga profesional yang ingin mendampingi penyintas trauma dengan lebih empatik,” katanya.
Tantangan di Era Digital: Judi Semakin Mudah Diakses, Tapi Pemulihan Tetap Sulit
Fenomena judi online menjadi tantangan serius bagi dunia kesehatan jiwa. Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi perjudian berbasis digital menyusup ke segala lini, bahkan ke platform media sosial dan iklan yang ditargetkan untuk anak muda. Hal ini memperparah kondisi bagi mereka yang rentan secara emosional.
“Bayangkan seseorang yang sedang cemas, depresi, atau punya masalah keluarga, lalu menerima iklan judi online di ponselnya dengan janji cepat kaya. Itu sangat menggoda. Padahal, ini bisa menjadi pintu masuk ke dalam adiksi yang lebih besar,” kata dr. Jiemi.
Ia juga menyebutkan bahwa regulasi yang ketat terhadap aplikasi dan iklan judi sangat dibutuhkan, bersamaan dengan penyediaan akses layanan kesehatan jiwa yang mudah, murah, dan ramah trauma.
Pendekatan Multidisiplin: Psikologi, Keluarga, dan Lingkungan
Dalam penanganan kecanduan judi yang disebabkan oleh trauma, Jiemi menekankan perlunya pendekatan holistik. Tidak cukup hanya dengan terapi perilaku atau larangan teknologi, tetapi juga harus ada dukungan dari keluarga, komunitas, dan bahkan sistem pendidikan.
“Orang yang mengalami trauma sering kali merasa tidak aman, tidak dicintai, dan tidak berharga. Maka, proses pemulihannya bukan sekadar berhenti berjudi, tapi juga membangun kembali rasa aman, kepercayaan diri, dan makna hidup,” ungkapnya.
Ia menyarankan agar keluarga tidak menyalahkan korban kecanduan, melainkan ikut belajar memahami trauma dan bagaimana menjadi sistem pendukung yang positif.
Mengubah Perspektif, Menyembuhkan Generasi
Judi online mungkin tampak sebagai penyakit zaman modern, tetapi bagi banyak orang, ia adalah gejala dari luka lama yang belum tersentuh. Melalui pandangan seorang psikiater seperti dr. Jiemi Ardian, publik diajak melihat lebih dalam bahwa kecanduan bukan sekadar kesalahan pribadi, melainkan sering kali merupakan manifestasi dari trauma yang terlupakan.
Dengan edukasi, empati, dan intervensi psikologis yang tepat, jalan menuju pemulihan bukanlah hal yang mustahil.