JAKARTA - Langkah strategis tengah diambil pemerintah Indonesia dalam menyeimbangkan hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat (AS). Di tengah penyesuaian tarif resiprokal yang kini turun dari 32 persen menjadi 19 persen, Indonesia menyatakan kesiapannya mengimpor tiga komoditas energi utama dari AS: minyak mentah (crude), liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM).
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta. Ia mengungkapkan bahwa impor energi ini merupakan bagian dari kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan AS yang telah dinegosiasikan secara menyeluruh.
“Dalam negosiasi itu, salah satu materinya adalah proposal Indonesia kepada Amerika yang akan membeli sekitar 10-15 miliar dollar AS, itu ada LPG, crude (minyak mentah) dan BBM,” jelas Bahlil.
- Baca Juga Rumah Murah di Bintan Mulai Rp124 Juta
Menurutnya, pemerintah tidak serta-merta menyetujui pengadaan energi tanpa perhitungan. Seluruh aspek dari rencana impor ini, termasuk volume dan harga, akan dihitung secara saksama berdasarkan prinsip ekonomi dan asas saling menguntungkan.
“Semuanya kita akan hitung sesuai dengan harga keekonomian yang sama, harus saling menguntungkan, dan kita ingin negara kita juga harus mendapatkan harga yang se-efisien mungkin,” ujarnya menegaskan.
Langkah ini bukan sekadar reaksi terhadap tekanan perdagangan, melainkan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah dalam menciptakan keseimbangan neraca perdagangan bilateral. Dengan AS sebagai mitra dagang utama, pengaturan tarif dan volume ekspor-impor menjadi sangat krusial bagi kestabilan ekonomi nasional.
Dalam kesempatan berbeda, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa pihaknya telah bergerak cepat menindaklanjuti kebijakan pemerintah tersebut. Pertamina telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah mitra di AS terkait optimalisasi pengadaan minyak mentah.
“Pertamina memang telah melakukan penandatanganan MoU dengan beberapa mitra di AS terkait dengan optimalisasi pengadaan feedstock atau minyak mentah untuk kilang-kilang kita di Indonesia,” ungkap Fadjar saat ditemui dalam konferensi pers Ecorun Fest 2025 di Grha Pertamina.
MoU tersebut diharapkan menjadi fondasi awal dalam menyusun rencana teknis impor migas, mulai dari volume, pengiriman, hingga skema pembiayaan yang efisien. Dengan kapasitas kilang dalam negeri yang terus ditingkatkan, pasokan minyak mentah dari AS akan menjadi bahan baku utama untuk mendukung keberlanjutan produksi BBM di dalam negeri.
Kebijakan ini juga sejalan dengan dorongan pemerintah untuk memperoleh perlakuan yang setara dari negara mitra dagang, khususnya AS. Dalam konteks penurunan tarif ekspor produk Indonesia, Menteri Bahlil menggarisbawahi pentingnya prinsip timbal balik (reciprocity) yang adil.
Pemerintah Indonesia, kata Bahlil, berharap dapat menikmati tarif impor ke AS yang serendah mungkin, seperti yang telah diperjuangkan dalam perundingan sebelumnya. Dengan menurunnya tarif dari 32 persen menjadi 19 persen, Indonesia melihat peluang besar untuk mendorong ekspor non-migas ke pasar AS.
Namun, sebagai bagian dari kompromi dalam negosiasi, Indonesia juga menunjukkan komitmennya dengan menyerap produk energi dari AS dalam volume besar. Dengan estimasi nilai antara 10 miliar hingga 15 miliar dolar AS, kerja sama ini diproyeksikan akan mempererat hubungan dagang kedua negara dan membuka jalan bagi bentuk kerja sama strategis lainnya di sektor energi.
Langkah pemerintah ini juga dinilai realistis mengingat kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat, terutama untuk sektor industri dan transportasi. Impor LPG dan BBM dari AS diharapkan mampu menstabilkan pasokan dan menekan potensi gangguan distribusi di pasar domestik.
Sebagai produsen energi, Indonesia memang memiliki sumber daya alam yang besar. Namun demikian, kebutuhan akan diversifikasi pasokan tetap diperlukan, terutama untuk menjaga kestabilan harga dan kualitas produk energi dalam negeri.
Dari sisi pelaku industri, kerja sama semacam ini juga memberi sinyal positif terhadap investasi di sektor hilir migas, termasuk pengembangan kilang dan infrastruktur energi. Kemitraan dengan perusahaan energi AS diharapkan bisa membawa transfer teknologi serta meningkatkan efisiensi rantai pasok nasional.
Pemerintah pun berkomitmen agar kebijakan ini dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Proses evaluasi ekonomi dan teknis akan terus dilakukan untuk memastikan bahwa pengadaan energi dari luar negeri tidak mengganggu prioritas ketahanan energi nasional, melainkan menjadi pelengkap dari upaya pemenuhan kebutuhan domestik.
Dengan langkah ini, Indonesia memperlihatkan kemampuannya menjaga keseimbangan antara diplomasi dagang dan strategi energi nasional. Tak hanya soal tarif, tapi juga bagaimana menciptakan skema kerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua negara dalam jangka panjang.