Harga Minyak Turun, CPO Melonjak

Senin, 21 Juli 2025 | 15:15:10 WIB
Harga Minyak Turun, CPO Melonjak

JAKARTA - Ketidakpastian ekonomi global dan dinamika geopolitik kembali mencuat sebagai faktor penentu fluktuasi harga energi dan komoditas utama dunia. Kali ini, pasar energi mengalami pergerakan beragam, di mana harga minyak mentah mencatat penurunan tipis, sementara harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) justru melonjak tajam. Kondisi ini mengindikasikan betapa kompleksnya lanskap energi dan komoditas saat ini, di tengah tekanan tarif dan sanksi internasional.

Harga minyak mentah dunia menunjukkan penurunan yang tergolong moderat, namun tetap menjadi sorotan para pelaku pasar. Sementara itu, pasar komoditas CPO menikmati kenaikan signifikan, yang mencerminkan faktor penawaran dan permintaan yang berbeda lintas sektor.

Berdasarkan laporan dari Reuters, harga minyak mentah Brent ditutup turun 24 sen atau 0,3 persen, sehingga berada pada level USD 69,28 per barel. Penurunan ini diikuti oleh minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat yang juga melemah 20 sen atau 0,3 persen dan mengakhiri sesi perdagangan di angka USD 67,34 per barel.

Jika dilihat secara mingguan, kedua indeks minyak tersebut mencatat pelemahan sekitar dua persen. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci, termasuk kekhawatiran terhadap kebijakan tarif pemerintah Amerika Serikat dan implikasinya terhadap inflasi global serta pertumbuhan permintaan minyak.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya telah menyerukan penerapan tarif minimal 15 persen hingga 20 persen terhadap produk dari Uni Eropa. Wacana ini memicu sentimen negatif di pasar dan meningkatkan ketakutan akan potensi tekanan inflasi yang lebih tinggi di tengah ketegangan perdagangan global.

Dalam analisanya, Citi Research, lembaga riset dari bank Citigroup, menyebutkan bahwa skema tarif yang direncanakan dapat membawa beban tarif efektif AS melebihi 25 persen. Angka ini bahkan diproyeksikan melampaui puncak tarif pada era 1930-an, yang dikenal sebagai masa-masa proteksionisme perdagangan tertinggi dalam sejarah ekonomi modern Amerika.

"Tarif timbal balik yang saat ini direncanakan, ditambah dengan pungutan sektoral yang diumumkan, dapat mendorong tingkat tarif efektif AS di atas 25 persen, melampaui puncaknya pada tahun 1930-an. Dalam beberapa bulan mendatang, tarif tersebut akan semakin terlihat dalam inflasi," tulis Citi Research dalam laporannya.

Kekhawatiran akan inflasi yang semakin tinggi bisa berdampak langsung pada biaya hidup konsumen, memperlemah daya beli, dan pada akhirnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi serta permintaan energi global, khususnya minyak.

Selain faktor tarif dan inflasi, dinamika geopolitik juga turut menekan harga minyak. Uni Eropa baru-baru ini menyetujui paket sanksi ke-18 terhadap Rusia sebagai respons atas invasi berkelanjutan negara tersebut ke Ukraina. Sanksi ini fokus pada sektor energi, termasuk larangan impor produk minyak yang diproduksi dari minyak mentah Rusia.

Meskipun larangan tersebut tidak berlaku untuk negara-negara seperti Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Swiss, dampaknya tetap terasa pada ekspektasi pasar global terkait pasokan energi.

Dalam kondisi seperti ini, ketidakpastian pasokan menjadi perhatian utama. Sanksi terhadap Rusia, sebagai salah satu eksportir minyak utama dunia, menambah ketegangan di pasar energi global yang sudah tidak stabil sejak konflik Ukraina meletus. Ditambah dengan isu tarif dari Amerika Serikat, pelaku pasar semakin sulit memprediksi arah harga minyak mentah ke depan.

Berbeda dengan tren harga minyak mentah, pasar minyak kelapa sawit justru menunjukkan performa positif. Berdasarkan data dari situs pemantau komoditas Barchart, harga CPO untuk kontrak pengiriman September 2025 mengalami lonjakan hingga 3,09 persen, mencapai MYR 4.309 per ton.

Lonjakan harga CPO ini mencerminkan optimisme pasar terhadap prospek pasokan dan permintaan sawit di masa mendatang. Faktor musiman, cuaca, serta permintaan dari pasar utama seperti India dan Tiongkok menjadi pendorong utama kenaikan ini.

Kenaikan harga CPO juga mendapat dukungan dari berbagai faktor non-pasar seperti ketegangan geopolitik dan pembatasan pasokan akibat perubahan kebijakan ekspor di negara produsen utama seperti Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini memiliki peran besar dalam menentukan tren harga global karena menyumbang lebih dari 80 persen pasokan sawit dunia.

Kenaikan harga CPO tidak hanya berdampak pada industri hilir, seperti makanan dan kosmetik, tetapi juga sangat mempengaruhi pendapatan petani dan negara-negara produsen utama. Peningkatan harga ini memberikan napas segar bagi pelaku usaha perkebunan sawit yang sempat tertekan akibat regulasi ketat dan fluktuasi permintaan ekspor beberapa bulan terakhir.

Kondisi beragam antara harga minyak mentah dan CPO ini menunjukkan bahwa komoditas energi dan agrikultur bisa bergerak dalam arah yang berbeda, tergantung pada faktor-faktor spesifik yang memengaruhi masing-masing pasar.

Dalam waktu dekat, para pelaku pasar akan terus mencermati dinamika geopolitik, kebijakan tarif negara besar, serta siklus permintaan musiman untuk menentukan strategi investasi dan perdagangan mereka. Di sisi lain, negara-negara produsen dan eksportir energi harus terus menyesuaikan diri dengan tren global yang makin dinamis dan sulit diprediksi.

Dengan tekanan geopolitik yang belum reda dan ketegangan dagang yang terus meningkat, harga komoditas dunia diperkirakan masih akan berfluktuasi dalam jangka pendek. Namun demikian, pasar tetap menunjukkan ketahanan, terutama di sektor-sektor yang memiliki fondasi permintaan kuat seperti CPO.

Terkini

Tablet Samsung Murah Mulai Rp1 Jutaan

Senin, 21 Juli 2025 | 15:49:36 WIB

Xiaomi 15, Flagship Terjangkau 2025

Senin, 21 Juli 2025 | 15:52:52 WIB