JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) kembali mengemuka dalam agenda politik nasional. Setelah hampir dua dekade mengendap tanpa kepastian hukum, kini RUU tersebut memasuki fase krusial dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menunjukkan komitmen untuk menyelesaikannya. Publik dan berbagai organisasi masyarakat sipil kembali mendorong percepatan pembahasan agar Indonesia segera memiliki payung hukum khusus bagi para pekerja rumah tangga (PRT) yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari lima juta orang di seluruh negeri.
Urgensi Pengesahan RUU PPRT
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menggarisbawahi lima alasan utama yang mendesak agar RUU PPRT segera disahkan. Pertama, menurutnya, undang-undang ini penting untuk menempatkan pekerja rumah tangga setara dengan profesi lain dalam aspek perlindungan dan pengawasan. Kedua, memberikan kepastian hukum bagi PRT dalam menjalankan pekerjaannya. Ketiga, RUU ini diperlukan untuk mencegah praktik eksploitasi dan kekerasan yang kerap dialami oleh para PRT, terutama perempuan dan anak-anak.
“Keempat, kita perlu mengakui PRT sebagai profesi yang layak, dan kelima, RUU ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap dinamika sosial dan budaya masyarakat yang terus berkembang,” jelas Bob Hasan dalam salah satu sesi rapat kerja Baleg DPR.
Ia juga menegaskan komitmennya untuk menyusun ulang naskah akademik dan membawa pembahasan RUU ini ke tahap yang lebih lanjut, dengan target pengesahan pada tahun ini. Langkah tersebut disambut positif oleh banyak pihak, termasuk jaringan aktivis dan organisasi pembela hak PRT.
Peran Aktif Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk RUU PPRT, yang terdiri dari berbagai organisasi perempuan, buruh, dan hak asasi manusia, terus mengawal proses pembahasan RUU ini. Mereka menilai pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk mengakhiri diskriminasi terhadap profesi pekerja rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Pdt. Etika Saragih, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), menekankan bahwa pekerja rumah tangga merupakan bagian dari kelompok rentan. "Dengan disahkannya RUU PPRT, akan menjadi semacam perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja rumah tangga," ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa mayoritas pekerja rumah tangga di Indonesia adalah perempuan, yang rentan terhadap eksploitasi, kekerasan verbal, fisik, hingga pelecehan seksual. Oleh karena itu, perlindungan hukum menjadi keharusan, bukan pilihan.
Komitmen dari Pemerintah
Dukungan terhadap pengesahan RUU PPRT juga datang dari kalangan pemerintah. Kantor Staf Presiden (KSP) melalui Deputi II Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan, menyatakan bahwa pihaknya terus mengawal pembahasan RUU ini agar tidak kembali terhenti seperti sebelumnya. Menurutnya, pengesahan RUU PPRT merupakan bagian dari upaya negara dalam mengarusutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk pekerja rumah tangga.
“Kami berkomitmen untuk terus mengedukasi publik mengenai pentingnya perlindungan terhadap pekerja rumah tangga dan memastikan RUU PPRT mendapat perhatian yang layak di parlemen,” kata Abetnego.
Pemerintah menilai bahwa RUU PPRT bukan hanya penting dari sisi hukum, tetapi juga dari aspek pembangunan manusia, kesetaraan gender, dan perlindungan sosial.
Tantangan dan Harapan
Meskipun dukungan terhadap RUU PPRT terus menguat, tantangan masih membayangi proses legislasi. Sejak pertama kali masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2004, RUU ini belum juga menemui titik terang. Banyak pihak menilai kurangnya keseriusan politik dan resistensi dari sebagian anggota parlemen sebagai penyebab utama stagnasi RUU tersebut.
Lita Anggraini, Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), mendesak DPR untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap kelompok marjinal. “Kami menuntut supaya RUU PPRT masuk prioritas 2025 dan segera dibahas pada tingkat satu,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa pembahasan tingkat satu akan menjadi momen penting karena melibatkan pengambilan keputusan antara DPR dan pemerintah secara resmi.
Beberapa anggota DPR dari fraksi-fraksi tertentu juga mulai menunjukkan dukungannya. Mereka melihat RUU ini sebagai momentum untuk memperbaiki sistem ketenagakerjaan nasional yang masih timpang, khususnya dalam sektor informal seperti pekerjaan rumah tangga.
Harapan ke Depan
Banyak kalangan berharap agar RUU ini tidak kembali ditunda atau dipolitisasi. Dengan kondisi sosial yang terus berkembang dan tuntutan keadilan yang semakin kuat dari masyarakat, RUU ini menjadi representasi dari tanggung jawab negara untuk melindungi semua warga negaranya tanpa terkecuali.
Pdt. Etika Saragih menyampaikan harapan agar DPR RI segera mengesahkan RUU ini. “DPR harus punya hati nurani yang bersih untuk menyelami persoalan dasar pekerja rumah tangga. Ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga kemanusiaan,” ujarnya penuh harap.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga merupakan tonggak penting dalam memberikan keadilan sosial dan pengakuan terhadap profesi yang selama ini terpinggirkan. Melalui pengesahan RUU ini, Indonesia dapat menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak tenaga kerja informal dan memperkuat prinsip kesetaraan di mata hukum.
Dukungan dari DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi sinyal positif bahwa harapan para pekerja rumah tangga untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan bukan lagi angan-angan, melainkan sebuah keniscayaan yang sedang diperjuangkan.