NIKEL

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Soroti Konflik Tambang Nikel dan Pariwisata di Raja Ampat

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Soroti Konflik Tambang Nikel dan Pariwisata di Raja Ampat
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Soroti Konflik Tambang Nikel dan Pariwisata di Raja Ampat

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyoroti potensi konflik antara industri pertambangan nikel dan keberlangsungan ekosistem pariwisata di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Evita menegaskan banyak pekerjaan rumah perlu segera ditindaklanjuti, terutama menyangkut maraknya aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat yang belakangan ramai disorot publik, termasuk oleh organisasi lingkungan Greenpeace.

Potensi Konflik antara Industri Pertambangan dan Pariwisata

Evita Nursanty mengungkapkan bahwa ekspansi industri pertambangan nikel di Raja Ampat berpotensi menimbulkan konflik dengan sektor pariwisata yang selama ini menjadi andalan ekonomi daerah. "Kita harus menyadari bahwa keberlanjutan pariwisata di Raja Ampat sangat bergantung pada kelestarian lingkungan. Jika tambang nikel terus berkembang tanpa memperhatikan dampak ekologis, kita bisa kehilangan daya tarik utama wisatawan," ujar Evita.

Menurutnya, sektor pariwisata di Raja Ampat telah berkembang pesat dan menjadi salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia. Namun, keberlanjutan sektor ini terancam oleh aktivitas pertambangan yang dapat merusak ekosistem laut dan pesisir. "Kita tidak bisa mengorbankan pariwisata demi keuntungan jangka pendek dari pertambangan. Harus ada keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan," tambahnya.

Penolakan Masyarakat Adat terhadap Pertambangan Nikel

Penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat juga datang dari masyarakat adat Suku Betew dan Maya. Mereka menyampaikan petisi resmi kepada anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat pada 24 Maret 2025, yang menegaskan bahwa wilayah yang diberikan izin konsesi tambang mencakup area seluas 2.193 hektare di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun. Masyarakat adat menilai bahwa wilayah tersebut bukan hanya tanah adat mereka, tetapi juga kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekologis tinggi.

Perwakilan masyarakat adat menyatakan bahwa keberadaan tambang di wilayah tersebut akan membawa dampak negatif yang besar terhadap lingkungan dan kehidupan mereka. "Kami hidup dari hasil hutan dan laut. Kehadiran tambang akan merusak sumber kehidupan kami," ujar salah satu perwakilan masyarakat adat.

Dampak Lingkungan dari Aktivitas Pertambangan

Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat dapat menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Deforestasi akibat pembukaan lahan tambang telah menyebabkan sedimentasi tinggi yang terbawa aliran sungai ke laut. Endapan lumpur ini menutupi terumbu karang yang menjadi habitat bagi berbagai spesies laut, termasuk ikan dan biota langka seperti penyu sisik. Penurunan kualitas air laut akibat pencemaran dari sisa tambang juga berpotensi merusak ekosistem mangrove yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim .

Selain itu, limbah yang mengandung logam berat seperti nikel dan bahan kimia berbahaya lainnya dapat mencemari perairan laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Jika biota laut tercemar, tidak hanya ekosistem yang terganggu, tetapi juga kesehatan manusia yang mengonsumsi hasil laut dari perairan tersebut .

Tuntutan Evaluasi Perizinan dan Pengawasan Ketat

Evita Nursanty mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera mengevaluasi perizinan pertambangan di Raja Ampat. "Kita harus memastikan bahwa setiap izin pertambangan diberikan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Jangan sampai izin diberikan hanya karena alasan ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan ekosistem," tegasnya.

Selain itu, Evita juga menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan yang ada. "Pengawasan harus dilakukan secara rutin dan transparan. Jika ditemukan pelanggaran, tindakan tegas harus diambil untuk melindungi lingkungan dan masyarakat," tambahnya.

Konflik antara industri pertambangan nikel dan sektor pariwisata di Raja Ampat menjadi isu yang perlu segera ditangani. Pemerintah, masyarakat adat, dan semua pihak terkait harus bekerja sama untuk mencari solusi yang berkelanjutan. Keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan harus menjadi prioritas agar Raja Ampat tetap menjadi destinasi wisata unggulan yang lestari dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index