OJK

OJK dan IASC Blokir 54.544 Rekening Penipuan, Selamatkan Rp 315,5 Miliar dari Kerugian Rp 3,2 Triliun

OJK dan IASC Blokir 54.544 Rekening Penipuan, Selamatkan Rp 315,5 Miliar dari Kerugian Rp 3,2 Triliun
OJK dan IASC Blokir 54.544 Rekening Penipuan, Selamatkan Rp 315,5 Miliar dari Kerugian Rp 3,2 Triliun

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Indonesia Anti-Scam Center (IASC) terus menunjukkan keseriusannya dalam memberantas tindak penipuan digital yang semakin marak. Hingga 20 Juni 2025, OJK mengonfirmasi telah memblokir sebanyak 54.544 rekening yang teridentifikasi terlibat dalam praktik penipuan, dengan nilai dana yang berhasil diselamatkan mencapai Rp315,5 miliar.

Langkah ini dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan di tengah maraknya kejahatan siber, khususnya yang menyasar masyarakat umum melalui berbagai modus penipuan berbasis digital.

Total Kerugian Capai Rp3,2 Triliun

Ketua Sekretariat Satgas PASTI OJK, Hudiyanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima 157.203 laporan dari masyarakat terkait berbagai kasus penipuan. Total kerugian yang dilaporkan dari seluruh laporan tersebut diperkirakan mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp3,2 triliun.

“Angka laporan ini dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara lain. Ini menunjukkan bahwa kondisi penipuan digital di Indonesia sudah masuk tahap kritis,” ujar Hudiyanto.

Tantangan: Rendahnya Kesadaran Lapor Dini

Salah satu hambatan terbesar dalam penanganan kasus penipuan digital adalah keterlambatan pelaporan dari korban. Berdasarkan data OJK, sekitar 85 persen korban penipuan baru melaporkan kasusnya setelah lebih dari 12 jam sejak transaksi dilakukan. Padahal, menurut Hudiyanto, waktu adalah elemen krusial dalam proses pemblokiran dana.

“Semakin cepat laporan diterima, semakin besar peluang dana bisa diselamatkan. Sayangnya, sebagian besar korban melapor terlambat, sehingga dana sudah berpindah tangan dan sulit untuk dibekukan,” jelasnya.

Ia merinci bahwa 43,6 persen laporan masuk antara 1–7 hari setelah kejadian, sementara 34,6 persen lainnya bahkan baru melapor lebih dari seminggu kemudian. Ketidaktahuan masyarakat mengenai mekanisme pelaporan serta rendahnya literasi digital menjadi penyebab utama keterlambatan ini.

Modus Penipuan Makin Canggih

OJK mengidentifikasi setidaknya sepuluh modus penipuan yang paling banyak dilaporkan. Modus tersebut meliputi:

Penipuan transaksi online

Panggilan palsu (fake call)

Investasi bodong

Penawaran kerja fiktif

Scam undian atau hadiah

Pemanfaatan media sosial

Social engineering (rekayasa sosial)

Phishing

Pinjaman online (pinjol) ilegal

Aplikasi palsu atau tidak resmi

Modus-modus tersebut sering kali menggunakan teknik yang sangat meyakinkan dan tampak legal, membuat masyarakat awam sulit membedakan antara yang sah dan yang palsu.

Provinsi dengan Jumlah Laporan Tertinggi

Wilayah yang paling banyak melaporkan kasus penipuan berada di Pulau Jawa, dengan konsentrasi tertinggi di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan tingginya penetrasi teknologi berbanding lurus dengan tingginya risiko penipuan digital.

Tren Positif Pemblokiran Rekening

Upaya pemblokiran yang dilakukan oleh IASC menunjukkan perkembangan signifikan dari waktu ke waktu. Pada 23 Mei 2025, tercatat 47.891 rekening berhasil diblokir dengan nilai dana yang diamankan sebesar Rp163 miliar. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 54.544 rekening pada 20 Juni, dengan total dana terselamatkan sebesar Rp315,5 miliar.

Sejak IASC diluncurkan pada November 2024, tren penindakan terus meningkat. Per Februari 2025, sebanyak 19.980 rekening telah diblokir dan berhasil mengamankan Rp106,8 miliar dana korban dari total kerugian Rp700 miliar. Pada Maret 2025, jumlah itu meningkat drastis menjadi 33.857 rekening dengan dana terselamatkan Rp133,2 miliar dari total kerugian Rp1,4 triliun.

Strategi dan Kolaborasi Penanganan

Untuk memperkuat respon atas kasus penipuan digital, OJK melalui IASC telah menyiapkan sejumlah strategi penting, di antaranya:

Pengembangan National Fraud Portal – sistem pusat aduan dan verifikasi real-time yang dapat diakses masyarakat secara luas.

Koordinasi dengan Kepolisian – untuk penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku kejahatan.

Kemitraan lintas industri – termasuk kerja sama dengan penyedia layanan e-wallet, operator seluler, dan lembaga keuangan.

Integrasi dengan platform cekrekening.id – untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan pengecekan sebelum transfer dana.

Keterlibatan dalam Global Anti-Scam Alliance (GASA) – sebagai bentuk kerja sama internasional dalam pemberantasan kejahatan digital lintas negara.

Edukasi Masyarakat Jadi Kunci

Dalam menghadapi maraknya penipuan digital, OJK terus mengimbau masyarakat untuk menggunakan prinsip 2L: Legalitas dan Logika. Setiap penawaran investasi atau transaksi yang tampak mencurigakan harus diverifikasi terlebih dahulu.

Hudiyanto menekankan bahwa pelaporan cepat menjadi kunci utama dalam penyelamatan dana. Ia juga menyarankan agar masyarakat memanfaatkan layanan resmi dan tidak mudah tergiur oleh tawaran tidak masuk akal.

“Literasi keuangan dan digital harus terus ditingkatkan. Ini tanggung jawab bersama, antara regulator, industri, dan masyarakat,” ujarnya.

Harapan: Ekosistem Digital yang Aman

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Rudy Agus Purnomo R., menyatakan bahwa penanganan yang cepat atas laporan penipuan sangat menentukan. Ia mencontohkan kasus korban yang terlambat melapor namun tetap dapat diselamatkan sebagian dananya, sebagai bukti bahwa sistem IASC telah berjalan dengan baik.

Ia juga menambahkan bahwa edukasi secara menyeluruh kepada masyarakat akan mempersempit ruang gerak pelaku penipuan.

Tantangan Masih Besar

Meskipun dana senilai Rp315,5 miliar telah berhasil diamankan, lebih dari Rp2,8 triliun dana korban masih belum terselamatkan. Ini menjadi tantangan besar yang harus diatasi melalui kolaborasi lintas sektor dan peningkatan literasi masyarakat.

Pemblokiran lebih dari 54 ribu rekening oleh OJK melalui IASC merupakan bukti nyata keseriusan pemerintah dalam melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan siber. Namun, keberhasilan jangka panjang bergantung pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat.

Langkah-langkah seperti pelaporan cepat, edukasi publik, serta kerja sama antara regulator, aparat hukum, dan sektor swasta menjadi pilar utama dalam menciptakan sistem keuangan digital yang aman dan berdaya tahan tinggi.

Masyarakat pun diimbau untuk tidak hanya mengandalkan regulator, tetapi juga menjadi agen literasi bagi lingkungan sekitarnya agar Indonesia bisa meminimalisir kerugian akibat kejahatan digital di masa mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index