JAKARTA — Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya untuk mewujudkan swasembada energi nasional dalam waktu lima hingga enam tahun ke depan. Komitmen tersebut ditegaskan saat dirinya meresmikan proyek pembangunan industri baterai kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat. Proyek ini dianggap sebagai simbol awal dari transformasi energi nasional yang lebih berdaulat dan berkelanjutan.
Dalam sambutannya, Presiden Prabowo menyampaikan optimisme bahwa Indonesia mampu mandiri secara energi dalam jangka waktu yang relatif singkat, apabila semua sumber daya yang dimiliki dikelola secara maksimal dan strategis. Ia menilai swasembada energi bukan sekadar ambisi ekonomi, melainkan bagian dari kedaulatan bangsa dan kekuatan negara dalam menghadapi tantangan global. "Saya diberi tahu oleh para pakar bahwa bangsa kita ini sungguh-sungguh bisa swasembada energi. Dan hitungan saya, tidak lama. Lima tahun, paling lambat enam tahun,” tegas Prabowo saat meresmikan proyek di Karawang.
Komitmen tersebut disambut positif oleh berbagai kalangan, termasuk akademisi dan pegiat kebijakan energi nasional. Mereka menilai bahwa strategi swasembada energi akan menjadi langkah penting untuk meningkatkan ketahanan nasional, mengurangi ketergantungan impor energi, dan memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan geopolitik global.
Karawang Jadi Titik Awal Transformasi Energi Nasional
Peresmian ekosistem industri baterai kendaraan listrik di Karawang bukan hanya peluncuran proyek biasa. Kawasan ini dirancang sebagai pusat produksi baterai yang terintegrasi dari hulu ke hilir, mencakup proses pemurnian bahan mentah seperti nikel dan litium hingga produksi akhir baterai berkapasitas tinggi.
Target awal proyek ini adalah menghasilkan 15 gigawatt hour (GWh) baterai per tahun. Dalam jangka panjang, kapasitas tersebut diproyeksikan meningkat hingga 100 GWh per tahun, guna mendukung pengembangan kendaraan listrik nasional dan penyimpanan energi terbarukan seperti tenaga surya.
Presiden Prabowo menekankan pentingnya hilirisasi industri mineral strategis sebagai fondasi kemandirian energi. Ia menyebut bahwa negara yang mengandalkan ekspor bahan mentah akan terus berada dalam posisi lemah dalam rantai pasok global. “Kalau kita tetap mengekspor bahan mentah tanpa nilai tambah, maka kita akan terus menjadi korban eksploitasi global. Hilirisasi adalah satu-satunya jalan,” ujar Rasminto, Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) yang juga Dosen Geografi di Universitas Islam 45 (Unisma).
Ketegangan Global Picu Percepatan Mandiri Energi
Deklarasi Prabowo untuk mempercepat swasembada energi tak lepas dari realitas global yang penuh ketidakpastian. Krisis energi akibat konflik Rusia-Ukraina dan perang antara Israel dan Iran yang belum mereda telah memperlihatkan risiko besar terhadap ketahanan energi negara-negara di dunia.
Kondisi ini semakin menekankan pentingnya negara memiliki kontrol penuh atas sumber energinya sendiri. Fluktuasi harga minyak dunia, gangguan rantai distribusi global, serta sanksi politik terhadap negara-negara tertentu telah menyebabkan banyak negara mengevaluasi ulang ketergantungannya terhadap energi impor. “Ini momentum penting untuk mereformasi strategi energi nasional agar berorientasi pada kemandirian dan keberlanjutan,” ujar Rasminto.
Ia menambahkan bahwa Indonesia harus segera membangun sistem energi yang tangguh dan fleksibel, agar tidak menjadi korban dari turbulensi geopolitik global.
Realitas Energi Nasional: Impor Masih Dominan
Meskipun memiliki cadangan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar, Indonesia hingga kini masih sangat bergantung pada energi fosil, terutama minyak bumi dan batu bara. Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menunjukkan bahwa produksi minyak nasional hanya berkisar 605 ribu barel per hari (bph), sementara kebutuhan domestik mencapai 1,55 juta bph.
Kesenjangan ini menyebabkan Indonesia harus mengimpor lebih dari 900 ribu bph minyak mentah dan BBM setiap hari. Akibatnya, neraca perdagangan migas Indonesia mengalami defisit hingga US$15,2 miliar pada akhir 2023.
Rasminto menyebut bahwa ketergantungan terhadap energi impor membuat struktur energi Indonesia sangat rentan. Ia menyarankan pemerintah agar segera beralih pada strategi pembangunan EBT berbasis domestik. “Ketergantungan seperti ini membuat struktur energi kita sangat rentan terhadap gejolak harga global dan situasi geopolitik,” tegasnya.
Potensi Energi Terbarukan Masih Terpendam
Indonesia sejatinya memiliki potensi luar biasa dalam sektor energi terbarukan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.686 gigawatt (GW). Jumlah ini mencakup:
-Energi surya: 3.295 GW
-Tenaga air: 95 GW
-Bioenergi: 57 GW
-Angin: 60 GW
-Panas bumi: 24 GW
-Energi laut: 60 GW
Namun hingga kini, pemanfaatan dari potensi besar tersebut masih sangat minim. Total kapasitas terpasang dari pembangkit EBT baru mencapai 12,7 GW atau sekitar 3,4% dari potensi yang ada.
Rasminto menilai bahwa rendahnya realisasi ini disebabkan oleh minimnya insentif fiskal, terbatasnya investasi, serta regulasi yang belum mendukung percepatan pembangunan EBT secara optimal.
Visi Strategis Energi: Bukan Sekadar Ekonomi, tapi Geopolitik
Pernyataan Presiden Prabowo tentang pentingnya swasembada energi menunjukkan bahwa arah kebijakan energi Indonesia ke depan tidak hanya akan bersifat teknokratis, tetapi juga strategis secara geopolitik. Hal ini sesuai dengan teori Daniel Yergin (2006) yang menyebutkan bahwa kendali atas energi adalah alat utama dalam perebutan kekuatan global.
Langkah hilirisasi dan pembangunan ekosistem energi lokal juga menanggapi kritik para ekonom pembangunan seperti Andre Gunder Frank, yang menyebut negara berkembang akan terus terjebak dalam ketergantungan apabila hanya mengekspor bahan mentah.
Dengan visi ini, Indonesia berupaya keluar dari struktur ketergantungan global dan bertransformasi menjadi pemain utama di industri energi bersih.
Jalan Menuju Swasembada Energi: Kebijakan, Investasi, dan Inovasi
Agar target swasembada energi tercapai dalam lima hingga enam tahun ke depan, pemerintah perlu menjalankan berbagai langkah konkret, antara lain:
-Mempercepat pembangunan pembangkit EBT seperti PLTS, PLTA, dan PLTP
-Meningkatkan daya saing industri dalam negeri melalui inovasi dan teknologi
-Memberikan insentif bagi investor energi hijau
-Meningkatkan riset dan pengembangan di sektor energi baru
Mendorong partisipasi BUMN dan swasta dalam transisi energi "Swasembada energi bukan lagi wacana, tapi sudah menjadi kebutuhan nasional. Rakyat menunggu hasil nyata,” tegas Rasminto.
Menurutnya, kesuksesan transisi energi ini hanya akan tercapai jika ada sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil.
Momen Sejarah untuk Transformasi Energi
Deklarasi Presiden Prabowo untuk mempercepat swasembada energi nasional mencerminkan kesadaran akan pentingnya kemandirian dalam sektor yang krusial ini. Dengan memanfaatkan potensi energi baru terbarukan yang melimpah dan mendorong hilirisasi industri, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya menjadi mandiri secara energi, tetapi juga menjadi pemimpin dalam transisi energi global.
Dengan latar krisis global dan ancaman ketergantungan yang terus membayangi, komitmen ini menandai titik balik strategi energi nasional yang berorientasi pada kedaulatan, keberlanjutan, dan masa depan generasi mendatang.