JAKARTA - Kompol I Made Yogi Purusa Utama dikenal sebelumnya sebagai figur penting di tubuh Kepolisian, menjabat sebagai Kasubbid Paminal Propam Polda NTB yang bertanggung jawab pada pengawasan internal dan disiplin anggota. Namun reputasi itu hancur berantakan ketika namanya terseret dalam kasus pembunuhan Brigadir Muhammad Nurhadi di sebuah vila di Gili Trawangan, Lombok Utara. Tuduhan mengerikan muncul terhadapnya: diduga menganiaya Nurhadi hingga tewas pada Rabu, 16 April 2025. Kini, ia telah dipecat dan menghadapi tuduhan berat di ranah hukum.
Latar Belakang dan Karier Profesional
Kompol Yogi bukan sosok yang asing di jajaran kepolisian. Sebelum menempati posisi strategis di Propam NTB, ia menapaki berbagai jenjang karier yang dianggap cemerlang. Sebagai Kasubbid Paminal—sub-bidang pengawasan internal dan disiplin, Poearan, dan moral dalam satuan Propam—ia sejatinya bertugas menjaga integritas kesatuan, memastikan anggotanya menjalankan tugas dengan benar, serta membaca pelanggaran dari dalam institusi.
Dalam puncak kariernya di Polda NTB, Yogi dikenal sebagai figur tegas yang bersikap profesional. Namun, semua pencapaian itu runtuh seketika saat kasus Nurhadi muncul.
Kronologi Kejadian di Gili Trawangan
Peristiwa tragis terjadi pada Rabu, 16 April 2025, di sebuah vila yang terletak di Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB. Boleh jadi sebuah lokasi liburan, tapi berubah porak-pikah setelah terjadi kekerasan mematikan. Brigadir Muhammad Nurhadi tewas saat berada di tempat itu. Kompol Yogi, diduga sebagai pelakunya, turut berada di lokasi kejadian.
Pemeriksaan awal menyebutkan bahwa Nurhadi mengalami luka yang menunjukkan tindak kekerasan, bukan kecelakaan. Dugaan ini didasari oleh hasil otopsi dan keterangan saksi yang mengindikasikan kekerasan fisik menyebabkan kematian, bukan sebab alami. Penganiayaan itu menjadi dasar untuk mengajukan pasal berat terhadap Yogi.
Pemecatan dan Proses Hukum
Pasca peristiwa, Polda NTB bergerak cepat. Kompol Yogi segera diberhentikan dari jabatannya. Pemecatan tersebut merupakan respons nyata terhadap dugaan pelanggaran etik tinggi yang meruntuhkan kepercayaan publik. Bukan hanya karier cemerlang yang pudar, tetapi isu ini juga mengikis wibawa institusi polisi.
Penyidikan pun memasuki tahap lebih lanjut. Majelis hakim, jaksa, serta penyidik kini memeriksa berbagai bukti—rekaman, saksi mata, hasil otopsi—untuk memastikan apakah tuduhan penganiayaan hingga menyebabkan kematian dapat dibuktikan di depan pengadilan.
Dampak terhadap Citra Propam dan Kepolisian
Kasus ini memicu keprihatinan mendalam. Propam, yang seharusnya menjadi garda moral bagi institusi kepolisian, justru tercium skandal yang memalukan. Publik mulai mempertanyakan efektivitas mekanisme internal pengawasan di kepolisian. Bagaimana mungkin seorang perwira yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga integritas malah menjadi pelaku tindak pidana serius?
Korps kepolisian pun kini harus menghadapi tekanan publik. Upaya reformasi internal pun menerima sorotan: apakah langkah transparansi dan akuntabilitas internal benar-benar dijalankan? Kompol Yogi menjadi simbol betapa rapuhnya reputasi yang dibangun dalam waktu panjang.
Reaksi Publik dan Harapan Penegakkan Hukum
Masyarakat luas menyambut penanganan kasus ini dengan beragam respon. Sebagian berharap agar Kompol Yogi diproses tanpa pandang bulu, sebagai bentuk keadilan dan penghormatan atas hak korban. Bagaimanapun, tuntutan terhadap penegak hukum agar berlaku adil dan tegas menjadi seruan utama di tengah momentum reformasi institusi.
Lemba-lembaga HAM dan organisasi kemasyarakatan juga menyerukan agar pelaku mendapatkan sanksi setimpal, bukan sekadar pemecatan administratif. Penegakan hukum tanpa pengecualian dianggap penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola internal Polri.
Pelajaran untuk Penyelenggaraan Propam
Kasus ini membuka diskusi panjang tentang peran dan fungsi Propam. Selama ini, pengawasan dari dalam—baik terhadap pelanggaran kode etik maupun tindak pidana yang dilakukan anggota—menjadi sentral dalam menjaga kredibilitas Polri. Namun, bagaimana bila justru anggotanya yang menjadi pelaku?
Kejadian ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat Propam: memperbaiki sistem deteksi awal, meningkatkan kualitas pelatihan integritas bagi personel, serta memperkuat mekanisme sanksi internal yang transparan. Propam perlu menjawab tantangan: apakah kualitas pengawasannya sebanding dengan ekspektasi publik?
Tantangan Mendatang dalam Penegakan Hukum
Proses hukum terhadap Kompol Yogi akan menjadi tolok ukur. Jika tersangka benar terbukti melakukan penganiayaan hingga menyebabkan kematian, maka reperkusi hukumnya sangat serius—dengan ancaman ke penjara jangka panjang. Namun krusial juga bagaimana pengadilan akan menilai kedudukan Yogi sebagai aparat, apakah akan mendapat perlakuan khusus, atau justru menjadi contoh penegakan hukum yang egaliter.
Fokus publik kini tertuju pada jalannya pengadilan: apakah dilakukan dengan terbuka, bebas dari rekayasa, dan mengedepankan bukti dan fakta? Ini menjadi ajang penting bagi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kompol I Made Yogi Purusa Utama adalah contoh pahit bagaimana figur penegak moral bisa terseret dalam kasus kriminal serius. Dari karier cemerlang di Propam NTB, ia kini menghadapi tuntutan atas dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Muhammad Nurhadi di Gili Trawangan, 16 April 2025.
Pemecatan—meski cepat—hanya langkah awal. Proses hukum yang objektif dan transparan menjadi faktor penentu dalam merestorasi kepercayaan publik. Bagi Propam maupun Polri, ini saatnya melihat ke dalam, memperbaiki sistem, dan memastikan tonggak integritas tidak mudah runtuh oleh satu tindakan fatal. Semoga keadilan bisa ditegakkan dan catatan kelam ini menjadi pelajaran berharga bagi institusi penegak hukum nasional.