Penyebrangan

Saatnya Reformasi Layanan Penyeberangan Nasional

Saatnya Reformasi Layanan Penyeberangan Nasional
Saatnya Reformasi Layanan Penyeberangan Nasional

JAKARTA - Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menyimpan potensi besar dalam pemanfaatan transportasi air, terutama sungai, danau, dan jalur penyeberangan antarpulau. Namun, potensi tersebut masih belum dimaksimalkan secara optimal. Dalam konteks infrastruktur nasional, angkutan perairan sering kali terabaikan dibanding moda darat, udara, dan kereta api. Padahal, kebutuhan masyarakat terhadap akses yang aman dan layak di jalur air tidak bisa diabaikan.

Akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menyampaikan pentingnya penanganan komprehensif terhadap transportasi perairan. Ia menekankan perlunya kelembagaan khusus yang menangani transportasi sungai, danau, dan penyeberangan secara mandiri. Menurutnya, saat ini masih terjadi tumpang tindih pengelolaan dan minimnya alokasi anggaran membuat banyak wilayah, terutama yang berada di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), belum mendapatkan akses angkutan penyeberangan yang layak.

"Yang terjadi tetap eselon 2 beralih dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ke Direktorat Perhubungan Laut. Anggaran tidak berubah, maka hanya bisa membenahi transportasi di Danau Toba. Sementara angkutan sungai terabaikan, lantaran minim anggaran. Padahal angkutan sungai bisa digunakan untuk limpahan logistik yang selalu terfokus di jalan raya ke angkutan sungai," ujar Djoko.

Ia menyayangkan bahwa pemanfaatan aliran sungai untuk distribusi logistik—terutama di Kalimantan—kian menyusut. Sejak pembangunan infrastruktur darat Trans Kalimantan, dominasi truk kembali meningkat dan beban jalan makin berat. Menurut Djoko, tetap harus ada sistem logistik alternatif yang memanfaatkan jalur sungai agar tidak terjadi ketergantungan berlebih pada jalan darat.

Tak hanya infrastruktur, perhatian juga perlu diberikan terhadap kondisi armada kapal sungai yang masih didominasi unit-unit tua. Modernisasi armada menjadi salah satu hal mendesak agar keselamatan pelayaran di sungai dan danau dapat terjamin.

“Masih ada kapal-kapal tua yang beroperasi di aliran sungai di Kalimantan. Ini perlu diperhatikan,” ujarnya.

Menurut Djoko, saat ini perhatian pemerintah lebih terfokus pada rute penyeberangan padat seperti Merak-Bakauheni, karena dinilai lebih menguntungkan. Sebaliknya, daerah-daerah terpencil seperti Pulau Enggano atau kawasan Pangkajene Kepulauan (Pangkep) yang memiliki banyak pulau kecil justru terabaikan karena minimnya dukungan fiskal dari pemerintah kabupaten.

“Jika dibebankan ke pemerintah kabupaten, pasti tidak cukup fiskal untuk mengoperasikan angkutan penyeberangan di sejumlah pulau kecil di wilayahnya,” tegas Djoko.

Ia pun menyoroti tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali beberapa waktu lalu sebagai bentuk kegagalan dalam pengawasan dan keselamatan. Menurutnya, anggaran keselamatan tidak boleh ditekan demi efisiensi.

“Tidak perlu lagi terulang kasus KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali. Dengan anggaran bertambah, maka perhatian keselamatan juga harus ditambah. Bukan dengan efisiensi, maka anggaran keselamatan ikut dikurangi bahkan dipotong habis-habisan,” katanya.

Djoko menyatakan bahwa kesuksesan pembenahan transportasi di Danau Toba bisa dijadikan acuan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa dengan perhatian dan anggaran yang memadai, perbaikan transportasi air bisa dilakukan. Namun, pembenahan jangan hanya bersifat reaktif setelah terjadi insiden.

“Kita jangan terus mengulang kesalahan dan nanti mau berbenah kalau terjadi musibah yang menelan korban jiwa,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa masih banyak jalur air seperti sungai dan kali di Jakarta yang sebetulnya berfungsi sebagai jalur penyeberangan, tetapi tidak mendapat perhatian dan pengawasan. “Dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan pemerintah,” tegas Djoko.

Menurutnya, paradigma terhadap transportasi air harus diubah. Jangan hanya rute-rute padat dan berkapal besar yang dilihat sebagai bagian dari sistem transportasi nasional. Daerah kecil dan terpencil juga harus masuk ke dalam perencanaan makro, dengan pendekatan yang lebih inklusif.

“Butuh perenungan dan evaluasi mendalam,” ujarnya menekankan.

Djoko juga menyarankan agar Direktorat Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan dipisahkan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) maupun Laut (DJPL), sebagaimana dulu Direktorat Kereta Api dipisahkan dan kini menjadi Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang berdiri sendiri.

“Sama halnya ketika Direktorat Kereta Api dikeluarkan dari DJPD dan berdiri sendiri menjadi Direktorat Jenderal Perkeretaapian,” tambahnya.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia bukan negara daratan, melainkan kepulauan, sehingga sistem transportasi air seharusnya menjadi prioritas pembangunan nasional.

“Ingat, Indonesia adalah negara kepulauan, bukan negara daratan, sehingga perhatian terhadap angkutan perairan menjadi sangat penting untuk mobilitas orang dan barang,” tutup Djoko.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index