VIRAL

Aura Farming: Tren Viral, Dari Pacu Jalur ke Media Sosial

Aura Farming: Tren Viral, Dari Pacu Jalur ke Media Sosial
Aura Farming: Tren Viral, Dari Pacu Jalur ke Media Sosial

JAKARTA - Di era ketika identitas dan ekspresi diri kerap dibentuk melalui layar gawai, munculnya istilah-istilah baru di dunia maya bukanlah hal aneh. Namun, tidak semua istilah mampu menembus kesadaran publik secara luas dan bertahan lebih dari sekadar tren sesaat. Salah satu istilah terbaru yang berhasil mencuri perhatian adalah "aura farming"—sebuah frasa yang mengemuka setelah video para penari Pacu Jalur viral di media sosial, khususnya TikTok.

Pacu Jalur sendiri merupakan warisan budaya asal Riau yang biasanya dikenal melalui lomba mendayung perahu panjang di sungai. Namun dalam konteks viral ini, yang menjadi sorotan bukanlah lomba perahunya, melainkan para penari latar yang tampil anggun dengan gerakan khas, ekspresi tenang, dan pancaran karisma yang membuat publik tak berhenti menonton dan membagikan ulang video mereka.

Video-video itu mendadak viral, dengan jutaan penayangan dan ribuan komentar yang dipenuhi pujian semacam: “auranya tenang banget”, “kayak lagi aura farming”, atau “ini definisi memanen pesona.” Dari sinilah istilah “aura farming” mengakar di linimasa digital Indonesia, lalu tumbuh menjadi tren budaya populer.

Apa Itu “Aura Farming”?

Secara harfiah, “aura farming” bisa diterjemahkan sebagai “memanen aura”. Tentu istilah ini bukan berasal dari disiplin ilmu psikologi atau spiritual formal, melainkan dari bahasa slang internet. Aura dalam konteks ini merujuk pada pancaran energi, pesona, atau vibe positif seseorang yang terlihat dari ekspresi wajah, gestur tubuh, hingga ketenangan yang ia tampilkan di depan kamera.

“Farming” sendiri, yang dalam bahasa Inggris berarti bertani atau memanen, digunakan secara metaforis untuk menunjukkan seseorang yang sengaja ‘mengumpulkan’ aura atau menciptakan kesan anggun, tenang, dan berkarisma, biasanya untuk dibagikan di media sosial.

Dengan kata lain, aura farming bukan sekadar tampil cantik atau menarik secara fisik, melainkan bagaimana seseorang menampilkan presence yang memikat tanpa harus berbicara banyak. Tidak heran, istilah ini kemudian menjadi populer di TikTok, Instagram, hingga Twitter—tempat di mana ekspresi visual sangat penting.

Fenomena Viral Penari Pacu Jalur

Puncak dari perhatian terhadap istilah ini terjadi setelah video para penari Pacu Jalur dibagikan berulang-ulang. Dalam video tersebut, tampak sekelompok perempuan muda mengenakan busana tradisional, menari dengan lembut dan ekspresi wajah yang terjaga. Gerakan mereka tidak flamboyan, tetapi justru penuh wibawa dan kontrol, memancarkan ketenangan yang sangat “menangkap” mata penonton.

Komentar-komentar yang muncul menyebut mereka sebagai “aura bender,” “aesthetic goddess,” hingga “master aura farming.” Banyak warganet yang menyatakan terinspirasi untuk meniru ekspresi dan postur mereka, bahkan menjadikan video itu sebagai referensi untuk “glow-up” personal.

Fenomena ini juga mengangkat perbincangan tentang bagaimana seni tradisional bisa mendapat tempat di dunia digital, ketika dibingkai dengan narasi dan visual yang sesuai dengan selera generasi muda saat ini.

Mengapa Bisa Viral?

Ada beberapa faktor yang membuat “aura farming” begitu resonan dan viral di kalangan warganet Indonesia:

Kebutuhan akan ketenangan visual
Di tengah linimasa media sosial yang penuh dengan konten serba cepat, agresif, dan penuh stimulasi, munculnya video yang menawarkan calm energy menjadi semacam oasis. Penonton merasa lebih rileks, bahkan ‘terhipnotis’ oleh ekspresi lembut para penari.

Estetika Tradisional yang Membumi
Alih-alih tampilan glamor atau modern yang biasa mendominasi TikTok, para penari Pacu Jalur justru tampil sederhana, anggun, dan penuh simbol budaya lokal. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri yang menyentuh rasa kebanggaan identitas budaya nasional.

Format Visual TikTok yang Memperkuat Efek
Dengan pengeditan lambat, musik etnik, dan fokus pada ekspresi wajah serta detail busana, konten ini secara teknis juga mendukung terbangunnya aura yang tenang dan estetis. Efek ini lalu diperkuat dengan komentar-komentar positif yang memperkuat narasi "aura farming."

Dampak Budaya dan Sosial

Lebih dari sekadar tren viral, istilah “aura farming” bisa dilihat sebagai fenomena sosial yang menggambarkan cara anak muda kini mengekspresikan dan mencari identitas. Di satu sisi, tren ini menunjukkan bahwa pesona bukan semata soal kecantikan fisik, tetapi juga tentang attitude, ekspresi diri, dan bagaimana seseorang menampilkan dirinya ke dunia.

Di sisi lain, tren ini juga bisa menjadi pengingat bahwa budaya lokal punya kekuatan besar jika dikemas dengan pendekatan kontemporer. Penari Pacu Jalur mungkin tidak pernah menyangka bahwa penampilan mereka bisa melahirkan tren nasional dan membawa perhatian terhadap budaya Riau ke panggung digital.

Tak sedikit konten kreator yang kemudian ikut membuat video aura farming versi mereka—baik dengan meniru gaya penari Pacu Jalur, mengenakan busana adat, bahkan mengadopsi ekspresi dan gaya gerak yang ‘slow but captivating’. Ini menunjukkan bahwa tren tersebut bukan sekadar ‘gimmick’, tetapi telah menjadi inspirasi nyata bagi banyak orang.

Lebih dari Sekadar Tren

Fenomena “aura farming” adalah cerminan menarik dari persinggungan antara budaya lokal dan dinamika dunia digital. Istilah ini bukan hanya menggambarkan visual yang estetik, tetapi juga membawa pesan tentang pentingnya ketenangan, keanggunan, dan pesona dari dalam dalam membangun citra diri di era digital yang serba cepat.

Dan siapa sangka, dari tepian sungai di Riau hingga layar-layar ponsel anak muda di Jakarta dan sekitarnya, tarian tradisional bisa menjadi panggung bagi generasi baru untuk memanen auranya sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index