Timothy Ronald

Filsafat vs Eksekusi Cepat: Kritik untuk Ferry dan Timothy Ronald

Filsafat vs Eksekusi Cepat: Kritik untuk Ferry dan Timothy Ronald
Filsafat vs Eksekusi Cepat: Kritik untuk Ferry dan Timothy Ronald

JAKARTA - Dalam dunia digital yang makin bergerak cepat, berbagai pandangan yang menempatkan filsafat sebagai disiplin usang mulai menyeruak. Salah satunya datang dari perbincangan yang viral di media sosial dalam podcast berjudul "Pendidikan dan Cacat Pikir Zero-Sum Game Bitcoin Ft Timothy Ronald", di mana Ferry Irwandi dan Timothy Ronald secara terang-terangan mempertanyakan relevansi filsafat di era teknologi dan eksekusi cepat.

Ferry bahkan menyatakan bahwa jurusan filsafat sebaiknya dihapus, karena dianggap hanya menghasilkan individu yang pandai berteori tapi tidak mampu mengeksekusi. Teknologi dan ilmu sains, menurutnya, sudah lebih dari cukup untuk menjawab kebutuhan zaman. Di sisi lain, Timothy Ronald, influencer yang dikenal di ranah saham dan kripto, menyebut filsafat non-eksekutif hanya sebatas estetika kognitif. Pernyataan ini memperkuat pandangan Ferry bahwa dunia tidak lagi membutuhkan pemikir yang berlama-lama dalam teori.

Namun, alih-alih sekadar mempermasalahkan pendapat mereka, penting untuk mengkaji ulang bagaimana mereka memahami peran filsafat, logika, dan terutama konsep meta-logika, serta sejauh mana kritik mereka berakar pada nalar epistemik yang sahih.

Meluruskan Pandangan: Filsafat Bukan Cuma Debat Kosong

Pernyataan bahwa filsafat tidak relevan menunjukkan kesalahan logika klasik: generalization fallacy. Dengan menyimpulkan bahwa semua mahasiswa atau lulusan filsafat hanya bisa berdebat tanpa solusi, mereka menutup mata terhadap fakta bahwa banyak cabang ilmu pengetahuan modern justru lahir dari filsafat. Logika formal, etika, dan bahkan dasar-dasar kebijakan publik memiliki fondasi filosofis.

Pertimbangkan isu seperti bias dalam kecerdasan buatan, etika data, atau pengambilan keputusan oleh sistem otonom semuanya tidak dapat diselesaikan dengan kecepatan eksekusi atau logika algoritma saja. Justru filsafat hadir untuk memberi konteks, memetakan nilai, dan menyusun kerangka etis atas pilihan-pilihan teknologi yang makin kompleks.

Logika dan Meta-Logika: Lebih dari Sekadar Efisiensi Berpikir

Ferry dan Timothy sempat menyinggung soal logika dan meta-logika dalam konteks kecepatan berpikir. Namun, yang mereka maksud tampaknya lebih mengarah pada intuisi teknis atau efisiensi keputusan bisnis, bukan refleksi logis dalam kerangka epistemologi.

Meta-logika adalah pemikiran tingkat kedua terhadap logika itu sendiri. Ia mempertanyakan batas dan struktur logika yang kita gunakan. Tokoh seperti Kurt Gödel telah menunjukkan bahwa tak semua kebenaran bisa dibuktikan dalam satu sistem logika tertutup. Dengan kata lain, berpikir itu tak bisa direduksi jadi algoritma sederhana. Proses berpikir, khususnya dalam kerangka meta-logika, justru mengajarkan bahwa penyederhanaan itu sendiri bisa menyesatkan.

Filsafat Sebagai Kehati-hatian Intelektual

Dalam masyarakat yang makin mendewakan kecepatan dan eksekusi, filsafat menjadi salah satu jalur sunyi yang memberi perlawanan terhadap instanisme. Ia bukan sekadar penghambat kemajuan, tetapi penjaga agar kemajuan itu tetap berpijak pada nilai, bukan semata keuntungan. Filsafat memberi daya tahan berpikir di tengah derasnya arus informasi yang sering kali membingungkan.

Ketika keputusan publik, kebijakan teknologi, atau strategi bisnis dijalankan tanpa kesadaran etis atau refleksi mendalam, yang lahir bukanlah kemajuan, tetapi kegaduhan sistemik. Di titik inilah, peran filsafat justru menjadi vital.

Kesalahan Menilai Marx dan Sejarah Filsafat

Pernyataan Ferry yang menyebut bahwa pemikiran Marx tak lagi relevan karena waktu itu belum ada bank sentral atau perdagangan internasional juga patut diluruskan. Marx bukan sedang merancang kebijakan ekonomi, tetapi membaca dan menganalisis relasi kuasa dalam struktur ekonomi dan sosial.

Justru dalam era digital dan ekonomi algoritmik saat ini, gagasan seperti alienasi, eksploitasi nilai lebih, dan konsentrasi kapital menjadi semakin nyata. Buruh gig economy, pekerja platform digital, hingga model ekonomi berbasis algoritma adalah medan baru tempat analisis Marxian sangat relevan.

Kritik Tanpa Landasan Akademik

Ironisnya, kritik terhadap filsafat ini muncul dari kerangka berpikir yang justru tidak berdasar pada studi atau literatur ilmiah. Tidak ada rujukan riset atau dialog akademik yang sahih. Ini mencerminkan double standard epistemik: menilai filsafat sebagai asumtif, padahal mereka sendiri mengajukan asumsi tanpa dasar metodologis.

Hal ini menjadi semacam paradoks tersendiri: menolak filsafat atas dasar asumsi yang tidak difilosofikan.

Saat Filsafat Dijadikan Alat Branding

Dalam tangan publik figur seperti Timothy, filsafat direduksi menjadi “aksesori intelektual” cukup dikutip, cukup disebutkan istilah asing, tapi tanpa eksplorasi makna dan relevansi sebenarnya. Padahal, di tangan para pemikir besar, seperti Frege, Russell, atau Tarski, istilah-istilah tersebut adalah hasil dari pergulatan panjang atas batas-batas nalar manusia.

Filsafat tidak hadir untuk terlihat pintar, tapi untuk menumbuhkan kebijaksanaan. Ia bukan alat untuk menarik atensi, melainkan perangkat berpikir untuk menjaga kemanusiaan kita tetap utuh.

Apa yang Kita Butuhkan Hari Ini?

Kita hidup di tengah banjir data, tetapi sering kali kehilangan arah berpikir. Dalam situasi semacam itu, kehadiran filsafat dan refleksi meta-logika menjadi krusial. Ia tak memberi solusi instan, tapi membantu kita bertanya lebih jernih, membedakan antara informasi dan pengetahuan, antara keputusan dan kebijakan yang bermakna.

Filsafat tidak akan pernah bersaing dalam virality, tapi ia akan selalu jadi fondasi yang menopang keteguhan berpikir. Dan di dunia yang makin cepat dan kabur, ruang lambat seperti filsafat justru menjadi penuntun paling penting bagi masa depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index