BPJS

Legislator DKI Soroti Rencana Kenaikan Iuran BPJS

Legislator DKI Soroti Rencana Kenaikan Iuran BPJS
Legislator DKI Soroti Rencana Kenaikan Iuran BPJS

JAKARTA - Isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang direncanakan berlaku mulai 2026 memunculkan kekhawatiran baru—bukan hanya di kalangan pemerhati kebijakan, tetapi juga di lembaga legislatif daerah. Di Jakarta, Anggota DPRD DKI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, menegaskan bahwa setiap keputusan pemerintah pusat soal tarif iuran mesti diiringi analisis mendalam agar tidak merugikan kelompok berpenghasilan rendah yang menjadi peserta mandiri.

“Kami memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban. Jika iuran naik, maka layanan harus ikut membaik,” ujar Kenneth.

Kekhawatiran Dampak Langsung bagi Peserta Mandiri

Kenneth—akrab disapa Bang Kent—melihat risiko besar bila kenaikan tarif tidak dibarengi kompensasi konkret. Warga mandiri kelas menengah ke bawah, khususnya di Jakarta, berpotensi memilih berhenti membayar karena terbebani.

“Masyarakat yang merasa terbebani bisa menunggak iuran atau bahkan berhenti sebagai peserta aktif. Hal ini justru akan mengurangi kepesertaan aktif dan memperburuk rasio iuran terhadap klaim BPJS Kesehatan,” jelasnya.

Menurutnya, apabila kepesertaan aktif menurun, beban finansial BPJS justru makin berat. Karena itu, ia meminta pemerintah merancang skema subsidi atau insentif agar dampak kenaikan iuran tidak menimbulkan efek domino negatif.

Peran Pemprov DKI Jakarta

Bang Kent mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak tinggal diam. Sebagai daerah dengan jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbesar—termasuk jutaan warga penerima bantuan iuran (PBI)—Jakarta punya kepentingan langsung dalam kebijakan tarif.

“Pemprov DKI harus proaktif dan berani bersikap untuk mengusulkan skema yang adil. Jangan sampai warga Jakarta yang sudah tertib membayar iuran justru makin terbebani,” tegas anggota Komisi C DPRD DKI itu.

Dia juga menilai DPRD siap memfasilitasi forum dengar pendapat bersama BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, serta pemangku kepentingan lain untuk membahas dampak kebijakan sebelum disahkan.

Transparansi Keuangan BPJS Jadi Sorotan

Selain soal tarif, Kenneth menyoroti pentingnya keterbukaan data keuangan BPJS Kesehatan. Ia meminta manajemen BPJS mempublikasikan detail penggunaan dana, rasio klaim, serta efisiensi operasional agar publik bisa menilai kebutuhan kenaikan iuran secara objektif.

“Keterbukaan itu penting agar publik tidak curiga bahwa kenaikan iuran hanya disebabkan oleh buruknya tata kelola,” tuturnya.

Dia menambahkan, tanpa transparansi, upaya pemerintah meyakinkan masyarakat akan sulit, karena publik cenderung menilai kebijakan semata-mata sebagai beban baru.

Sinergi BPJS–Rumah Sakit dan Edukasi Layanan

Kenneth juga menegaskan keberlangsungan JKN bertumpu pada kemitraan yang sehat antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit. Jika tarif naik, peningkatan mutu layanan di fasilitas kesehatan harus terasa—mulai dari ketersediaan obat, kecepatan layanan, hingga kepastian rujukan.

Lebih jauh, ia meminta BPJS memperkuat sosialisasi daftar penyakit dan prosedur yang dijamin. Masih banyak warga yang kecewa karena baru mengetahui layanan tertentu tidak ditanggung ketika berobat.

“Masyarakat perlu tahu sejak awal, penyakit apa yang ditanggung, obat apa yang diberikan, dan kapan harus dirujuk. Jangan sampai baru tahu setelah ditolak atau harus bayar mandiri di rumah sakit,” ujarnya.

Posisi BPJS Kesehatan dalam Proses Pengambilan Keputusan

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti sebelumnya mengakui bahwa lembaganya terlibat dalam diskusi skema tarif baru, tetapi keputusan akhir berada di tangan pemerintah. Angka kenaikan masih dibahas dan belum difinalisasi.

Menghindari Efek ‘Paradoks BPJS’

Bang Kent menutup pernyataannya dengan mengingatkan pemerintah akan fenomena “paradoks BPJS”: iuran naik tetapi kepuasan layanan tak beranjak. Jika sejarah terulang, kepercayaan publik bakal merosot, memicu penunggakan, dan pada akhirnya memperburuk kondisi finansial JKN.

Karena itu, ia menegaskan DPRD DKI akan terus memantau, mengkritisi, dan mendorong transparansi agar keputusan tarif yang diambil 2026 benar‑benar seimbang antara kebutuhan pendanaan dan kemampuan bayar masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index