JAKARTA - Perdebatan mengenai besaran anggaran pendidikan kembali mencuat dalam rapat kerja antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Komisi XI DPR RI, Selasa, 22 Juli 2025. Sorotan utama jatuh pada fakta bahwa alokasi untuk sektor pendidikan belum juga menyentuh ambang batas konstitusional sebesar 20 persen dari total APBN, kendati aturan ini telah berlaku sejak 2007.
Topik ini mencuat ketika Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, mempertanyakan realisasi anggaran pendidikan tahun 2024. “Saya ingin tanya Bu Menteri, 2024 realisasi anggaran pendidikan 20 persen berapa, Bu?” tanya Dolfie.
Menjawab lugas, Sri Mulyani mengatakan, “16,99 (persen), Pak.” Jawaban itu memicu diskusi lebih lanjut seputar stagnansi alokasi pendidikan dari tahun ke tahun, bahkan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2007 yang mewajibkan alokasi minimal 20 persen dari APBN.
- Baca Juga Harga Sembako Jogja Turun
Dolfie memaparkan bahwa saat gugatan ke MK dilayangkan pada 2007, porsi anggaran pendidikan berada di angka 18 persen. Ironisnya, setelah lebih dari satu dekade, alokasi tersebut hanya beringsut naik secara marginal. “APBN kita digugat di MK tahun 2007, 2008. Pada saat itu, posisi anggaran pendidikan yang waktu digugat 18 persen tahun 2007, 2008 (sebesar) 15,6 persen. Sekarang kita lihat realitasnya, tidak berubah ternyata,” ungkapnya.
Dolfie merinci data bahwa realisasi anggaran pendidikan pada 2022 hanya mencapai 15 persen, lalu meningkat menjadi 16 persen di tahun 2023 dan 17 persen di 2024. Untuk tahun ini, katanya, meski dalam perencanaan sudah dialokasikan dana cadangan pendidikan, proporsinya diperkirakan tetap mentok di angka 17 persen. “2025 kalau by design, karena ada cadangan dana pendidikan yang ditaruh pembiayaan, bisa dipastikan itu juga 17 persen,” ujar Dolfie.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hal ini telah berlangsung lintas pemerintahan. “Sudah dua kali pemerintahan SBY periode, dua periode pemerintahan Jokowi, tidak berubah,” tegasnya. Ia pun menyarankan agar pemerintahan baru dapat membawa angin segar dalam hal serapan anggaran pendidikan. “Jangan sampai kesimpulannya karena Menteri Keuangannya Bu Sri Mulyani dari tahun 2007 sampai sekarang, postur ini enggak berubah. Kesimpulannya jadi bisa begitu, Bu,” sentil Dolfie.
Menanggapi kritik tersebut, Sri Mulyani menyampaikan bahwa penghitungan 20 persen anggaran pendidikan tidak bisa dilakukan secara kaku. Ia menjelaskan bahwa dalam alokasi anggaran, terdapat dua komponen penting: pembilang (numerator) dan penyebut (denominator). Dalam konteks ini, belanja negara menjadi penyebut yang sangat fluktuatif tergantung pada berbagai jenis belanja, termasuk belanja barang dan modal.
Ia memberikan contoh, ketika terjadi El Nino dan pemerintah menambah belanja sosial, maka belanja barang secara otomatis meningkat, sehingga proporsi untuk pendidikan seolah menurun. “Waktu terjadi El Nino, kita menambah bansos, itu menjadi belanja barangnya naik, sehingga 20 persen yang awal menjadi seolah-olah lebih rendah," jelas Sri Mulyani.
Selain itu, ada juga belanja yang sifatnya tidak tetap, seperti subsidi dan kompensasi. “Kalau bicara tentang by design, Pak Dolfie, kami mendesainnya waktu RUU APBN itu 20 persen. By default jadinya adalah tergantung dari beberapa komponen karena pembaginya itu bergerak, ya dia bergerak," terangnya.
Dolfie kemudian menyoroti sisa anggaran yang tidak terserap. Ia memperkirakan ada sekitar Rp 80 triliun yang dapat dialihkan untuk memperkuat sektor pendidikan. “Kalau Rp 80 triliun itu digunakan untuk memperkuat pendidikan kita, itu kan sangat dahsyat. Taruhlah sekarang itu menjadi alokasi untuk Makan Bergizi Gratis di 2025 atau di 2026,” ujarnya. Ia menambahkan, jika dana sebesar itu tidak juga mendorong tercapainya 20 persen, maka bisa timbul kesan bahwa alokasi anggaran memang sengaja disusun agar tidak mencapai target tersebut.
Sri Mulyani menanggapi dengan menjelaskan alasan anggaran tak terserap tersebut disimpan dalam pos pembiayaan. Ia mencontohkan situasi pada September 2024 ketika realisasi anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah memberikan tambahan belanja kepada Kementerian/Lembaga di bulan Oktober. “Rp 80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa? That's problem juga,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran negara. Menurutnya, memaksakan belanja agar sesuai dengan kuota 20 persen bisa berujung pada pemborosan atau penggunaan yang tidak tepat. "Supaya jangan sampai, oh karena harus 20 persen, harus habis, nanti sekolah yang pagarnya enggak rusak, diganti pagarnya. Saya dengar waktu itu," ungkap Sri Mulyani.
Menteri Keuangan itu menegaskan bahwa belanja negara harus efisien, ekonomis, dan bertanggung jawab. “Memang ini mekanisme. Kami juga berpikir terus bagaimana satu sisi mengikuti Undang-Undang Dasar, di sisi lain Pak Dolfie minta kualitas belanjanya harus bagus, tata kelola bagus, dan segala macam, efisien. Memang ini akan kami terus komunikasikan dengan K/L dan yang lain,” pungkasnya.