OJK

Kemandirian Reasuransi Lewat Strategi OJK

Kemandirian Reasuransi Lewat Strategi OJK
Kemandirian Reasuransi Lewat Strategi OJK

JAKARTA - Industri reasuransi nasional tengah menjadi perhatian serius Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyusul tingginya aliran premi ke luar negeri yang dinilai turut memperburuk defisit transaksi berjalan Indonesia. Untuk mengatasi persoalan struktural tersebut, OJK menggariskan tiga strategi utama yang dinilai krusial bagi penguatan sektor reasuransi dalam negeri: meningkatkan kapasitas domestik, menarik premi dari luar negeri, dan menekan aliran premi keluar negeri.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa kondisi saat ini menunjukkan besarnya ketergantungan pelaku industri terhadap reasuradur asing. Situasi ini dinilai perlu segera dibenahi melalui penguatan internal industri dalam negeri agar lebih kompetitif.

“Penutupan asuransi keluar dari Indonesia cukup besar, sehingga defisit current account kita itu cukup besar dan meningkat terus,” kata Ogi, dalam sebuah forum internasional reasuransi.

Sebagai gambaran, pada 2024 sekitar 40,20 persen premi reasuransi nasional justru dikirim ke luar negeri. Angka ini mencakup premi dari asuransi langsung yang kemudian ditransfer ke perusahaan reasuransi asing. Kondisi ini memberi kontribusi besar terhadap defisit sektor reasuransi dalam neraca transaksi berjalan, yang mencapai Rp12,10 triliun pada tahun tersebut.

Tingginya volume premi yang dibayarkan ke luar negeri mengindikasikan bahwa kapasitas industri reasuransi nasional masih belum optimal, terutama dalam menangani risiko-risiko berskala besar atau kompleks. Keterbatasan kapasitas ini mendorong pelaku industri asuransi untuk mencari alternatif perlindungan ke luar negeri, alih-alih mengandalkan penyedia dalam negeri.

OJK menyadari bahwa membangun industri reasuransi yang kuat memerlukan fondasi permodalan yang kokoh. Oleh karena itu, strategi kedua yang ditekankan adalah penguatan modal perusahaan reasuransi melalui peningkatan ekuitas minimum. Langkah ini sudah dimulai dengan diberlakukannya ketentuan dalam Peraturan OJK No. 23 Tahun 2023 yang mengatur secara bertahap peningkatan ekuitas minimum perusahaan reasuransi hingga tahun 2028.

Data terbaru menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan reasuransi sudah menunjukkan kesiapan untuk memenuhi ketentuan tersebut. Sekitar 88,89 persen dari perusahaan reasuransi nasional telah memenuhi persyaratan minimum ekuitas tahap pertama, yakni sebesar Rp500 miliar untuk reasuransi konvensional dan Rp200 miliar untuk syariah. Tenggat waktu tahap pertama ditetapkan hingga 2026, dan OJK mengaku masih terus memantau progresnya.

Untuk tahap kedua pada 2028, 44,44 persen perusahaan telah masuk dalam kategori Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE 1), yang mengharuskan ekuitas minimum sebesar Rp1 triliun untuk konvensional dan Rp400 miliar untuk syariah. Sementara itu, 11,11 persen lainnya berada di kategori KPPE 2, yang menetapkan batas lebih tinggi yaitu Rp2 triliun untuk konvensional dan Rp1 triliun untuk syariah.

“Kalau kita lihat perusahaan asuransi di negara-negara lain, modal disetornya memang rendah, tapi ekuitasnya sudah sangat besar. Itu karena perusahaan-perusahaan yang sudah berdiri terus berkembang dan memperbesar ekuitasnya. Di Indonesia, kita akan meningkatkan syarat permodalan secara bertahap,” tambah Ogi.

Tak hanya menekankan soal modal, OJK juga membuka peluang kolaborasi antara reasuradur domestik dan global. Strategi ketiga ini bersifat taktis, dengan membuka ruang kemitraan tanpa menggeser dominasi bisnis yang sudah dikelola oleh perusahaan dalam negeri. Langkah ini diharapkan dapat menghadirkan transfer pengetahuan dan teknologi, sekaligus mendongkrak daya saing perusahaan reasuransi nasional.

Kolaborasi yang selektif ini juga akan menjaga agar bisnis domestik tetap tumbuh, sembari memanfaatkan keunggulan reasuradur global dalam mendukung transfer risiko yang lebih kompleks.

Upaya reformasi ini tidak berdiri sendiri. Menurut Ogi, sebagian besar pelaku usaha telah menyampaikan rencana bisnis masing-masing untuk memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan komitmen industri untuk beradaptasi dengan regulasi yang lebih ketat.

Dengan waktu yang terus berjalan menuju tenggat 2026, OJK akan terus melakukan pemantauan secara intensif agar transisi menuju industri yang lebih sehat dapat berjalan sesuai rencana. Monitoring ketat ini penting untuk memastikan kesiapan perusahaan-perusahaan dalam memenuhi tuntutan regulasi serta menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam sektor asuransi dan reasuransi.

OJK juga menilai bahwa transformasi sektor reasuransi akan berperan strategis dalam memperkuat daya tahan industri keuangan nasional secara keseluruhan. Dengan kapasitas yang kuat, perusahaan reasuransi dalam negeri tidak hanya mampu menyerap risiko domestik, tetapi juga punya peluang untuk menangkap pasar regional bahkan global.

Ketiga strategi ini menjadi pilar penting bagi pembangunan ekosistem reasuransi yang lebih kuat, efisien, dan berdaya saing tinggi. Dalam konteks jangka panjang, keberhasilan implementasi strategi tersebut akan menjadi salah satu indikator kemandirian industri keuangan nasional dalam menghadapi dinamika risiko global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index