liga indonesia

Naturalisasi Ramai ke Liga Indonesia, Timnas Terancam

Naturalisasi Ramai ke Liga Indonesia, Timnas Terancam
Naturalisasi Ramai ke Liga Indonesia, Timnas Terancam

JAKARTA - Kecenderungan sejumlah pemain naturalisasi timnas Indonesia untuk berkarier di dalam negeri menimbulkan perdebatan baru di kalangan pemerhati sepak bola nasional. Langkah ini menyoroti pertanyaan lebih besar: apakah perpindahan ini mencerminkan kemunduran dalam strategi pengembangan skuad Garuda yang selama ini dibangun dengan pemain diaspora dari Eropa?

Salah satu nama terbaru yang menambah daftar tersebut adalah Jens Raven. Penyerang muda keturunan Belanda-Indonesia itu resmi bergabung dengan Bali United, klub besar di Liga 1 Indonesia. Sebelumnya, Raven bermain untuk FC Dordrecht, klub kasta kedua Liga Belanda. Kabar kepindahannya diumumkan secara resmi melalui akun Instagram Bali United, @baliunitedfc, sementara sang pemain juga mengucapkan salam perpisahan kepada mantan klubnya lewat akun pribadinya, @jensraven9.

“@jensraven9 kirimkan pesan untuk seluruh Semeton, sampai jumpa di Dipta,” tulis akun Bali United dalam unggahannya, merujuk pada Stadion Kapten I Wayan Dipta, markas klub tersebut.

Dengan kepindahannya ke Bali United, Raven menjadi pemain naturalisasi ketiga di timnas Indonesia yang memilih untuk melanjutkan karier domestik di kompetisi Liga 1 musim depan. Ia mengikuti jejak dua pemain lain yang lebih dulu melakukan langkah serupa.

Bek senior Jordi Amat sebelumnya resmi menandatangani kontrak bersama Persija Jakarta usai menyudahi masa baktinya di klub Malaysia, Johor Darul Ta’zim. Sementara striker lainnya, Rafael Struick, mengambil keputusan mengejutkan dengan meninggalkan Brisbane Roar FC, klub asal Australia, untuk bergabung ke Dewa United.

Pergeseran yang Unik tapi Juga Mengundang Kekhawatiran

Fenomena ini memunculkan diskusi di kalangan pecinta sepak bola. Di satu sisi, kembalinya para pemain naturalisasi ke tanah air bisa dilihat sebagai langkah positif untuk membangun kualitas liga lokal. Namun, di sisi lain, keputusan ini memunculkan kekhawatiran terkait arah kebijakan jangka panjang PSSI dalam mengembangkan kualitas timnas.

Secara logika, pemain-pemain muda seperti Jens Raven dan Rafael Struick seharusnya terus mengasah kemampuan di kompetisi Eropa yang secara kualitas lebih tinggi, untuk nantinya membawa pengaruh positif ke skuad timnas. Namun, keputusan mereka kembali ke tanah air di usia muda justru bisa mengurangi potensi tersebut.

Berbeda dengan Jordi Amat yang sudah memasuki usia 33 tahun, dan secara alamiah mulai menurunkan intensitas karier profesionalnya, Raven dan Struick justru masih berada di awal karier. Hal ini mengundang tanya, apakah keputusan mereka lebih didasari oleh kenyamanan, minimnya menit bermain di klub sebelumnya, atau memang ada dorongan dari federasi dan klub lokal?

Strategi PSSI Dipertanyakan

Langkah yang diambil oleh para pemain ini secara tidak langsung berimbas pada PSSI. Federasi sebelumnya menekankan pentingnya naturalisasi untuk meningkatkan daya saing timnas dengan memanfaatkan pemain diaspora yang ditempa di Eropa. Tujuannya tak lain adalah membawa ilmu dan pengalaman yang lebih tinggi ke dalam tubuh skuad Garuda.

Namun, ketika pemain-pemain ini justru memilih bermain di Liga 1 pada usia produktif, maka kekhawatiran tentang stagnasi kualitas mulai mencuat. Apalagi kompetisi domestik masih berjuang mengatasi berbagai tantangan seperti kualitas infrastruktur, intensitas kompetisi, serta isu regulasi yang belum ideal.

Jika pola ini terus berlanjut, maka tujuan awal naturalisasi bisa menyimpang dari esensinya. Alih-alih meningkatkan standar timnas, bisa jadi hasil akhirnya hanya menciptakan pemain naturalisasi yang kualitasnya stagnan karena tidak lagi mendapat tantangan kompetitif seperti di Eropa.

Masih Ada Asa dari Generasi Baru

Meskipun demikian, PSSI tampaknya belum menyerah pada program naturalisasi sebagai bagian dari strategi jangka panjangnya. Salah satu nama yang mencuat belakangan ini adalah Mauro Zijlstra, penyerang keturunan Belanda-Indonesia yang kini bermain untuk FC Volendam. Proses naturalisasi pemain muda ini tengah berlangsung dan ditargetkan selesai tepat waktu agar ia bisa memperkuat timnas Indonesia U-23 pada ajang Kualifikasi Piala Asia U-23 2026, yang rencananya digelar September mendatang.

Zijlstra menjadi contoh bahwa PSSI masih aktif memburu talenta diaspora di luar negeri. Federasi juga tetap membuka pintu bagi pemain-pemain naturalisasi yang telah kembali ke liga lokal, asalkan performa mereka memenuhi standar timnas.

Dengan begitu, meskipun muncul kekhawatiran terkait tren pemain naturalisasi yang memilih berkarier di dalam negeri, peluang untuk tetap masuk timnas tetap terbuka bagi mereka. Yang terpenting adalah performa, konsistensi, dan kontribusi nyata di lapangan.

Keseimbangan yang Perlu Dijaga

Situasi saat ini bisa menjadi momentum evaluasi bagi PSSI. Harus ada keseimbangan antara membina kompetisi lokal yang sehat dengan tetap mempertahankan visi jangka panjang untuk membangun timnas yang kompetitif di level internasional. Jika federasi terlalu bergantung pada pemain naturalisasi yang tidak lagi bermain di kompetisi elite, maka harapan besar yang dibebankan kepada mereka bisa meleset.

Di sisi lain, jika kompetisi domestik bisa ditingkatkan secara menyeluruh dari segi kualitas, profesionalisme, dan daya saing maka bukan tidak mungkin pemain naturalisasi akan tetap berkembang meski bermain di Indonesia.

Eksodus para pemain naturalisasi ini bisa dilihat sebagai sinyal awal untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Namun, dengan pendekatan strategis dan pembinaan yang tepat, potensi mereka masih bisa menjadi kekuatan penting bagi timnas Indonesia di masa mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index