JAKARTA - Kenaikan harga batu bara global baru-baru ini kembali memicu diskusi soal ketahanan energi dunia di tengah pergeseran pola konsumsi dan produksi yang tidak merata antarwilayah. Di saat beberapa negara mulai mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, lonjakan permintaan di negara berkembang masih menjadi faktor dominan yang menjaga harga komoditas ini tetap tinggi.
Pergerakan harga batu bara menunjukkan tren positif. Harga batu bara Newcastle untuk kontrak Juli tercatat naik tipis sebesar US$ 0,2 menjadi US$ 110,1 per ton. Sementara untuk Agustus, harganya melonjak US$ 0,8 ke posisi US$ 113,1 per ton, dan kontrak September meningkat lebih signifikan sebesar US$ 1,1 ke level US$ 114,75 per ton.
Hal serupa juga terjadi pada batu bara Rotterdam. Harga untuk kontrak Juli mengalami kenaikan sebesar US$ 0,1 menjadi US$ 104,45 per ton. Agustus naik US$ 0,45 ke posisi US$ 101,35 dan September juga meningkat sebesar US$ 0,45 menjadi US$ 102,35.
- Baca Juga Geo Dipa dan Energi Panas Bumi Indonesia
Kenaikan ini terjadi seiring rilis pembaruan proyeksi dari Badan Energi Internasional (IEA), yang memprediksi bahwa permintaan global terhadap batu bara akan tetap mendekati titik tertinggi historis, meskipun beberapa wilayah menunjukkan penurunan konsumsi selama paruh pertama tahun ini.
Laporan Coal Mid-Year Update yang dirilis IEA menegaskan bahwa konsumsi batu bara global mencatatkan rekor baru pada 2024, dengan total penggunaan sekitar 8,8 miliar ton naik 1,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini terutama didorong oleh negara-negara seperti China, India, Indonesia, dan sejumlah negara berkembang lainnya yang masih sangat bergantung pada batu bara untuk pemenuhan energi nasional mereka.
Namun, situasi mulai bergeser pada paruh pertama tahun berikutnya. Di China dan India, konsumsi batu bara justru mencatat penurunan yang cukup signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor utama: perlambatan pertumbuhan permintaan listrik dan peningkatan kapasitas energi terbarukan. Kedua negara ini, yang selama bertahun-tahun menjadi motor pertumbuhan permintaan batu bara dunia, tampaknya mulai menghadapi transisi energi secara bertahap.
Sebaliknya, lonjakan permintaan justru terjadi di Amerika Serikat, di mana konsumsi batu bara meningkat sekitar 10%. Kenaikan tajam ini berkaitan dengan meningkatnya permintaan listrik domestik serta tingginya harga gas alam, yang membuat batu bara kembali menjadi pilihan alternatif. Di Eropa, tren yang sedikit berbeda muncul: meski konsumsi industri menurun, penggunaan batu bara di sektor kelistrikan meningkat, sehingga menjaga permintaan relatif stabil.
“Meski kita melihat tren yang kontras di berbagai wilayah pada awal 2025, hal ini tidak mengubah arah utama konsumsi batu bara global,” ujar Keisuke Sadamori, Direktur Pasar dan Keamanan Energi IEA.
Sadamori juga menambahkan bahwa permintaan global diperkirakan akan tetap stabil dalam dua tahun mendatang. Prediksi untuk tahun ini menunjukkan konsumsi akan tetap berada di kisaran tinggi, bahkan jika turun sedikit pada 2026. Menurutnya, fluktuasi jangka pendek seperti kondisi cuaca, ketidakpastian ekonomi global, dan dinamika geopolitik masih akan menjadi faktor penentu.
Secara lebih rinci, IEA memproyeksikan konsumsi batu bara di China akan turun kurang dari 1% tahun ini. Di sisi lain, Amerika Serikat diperkirakan mengalami kenaikan sekitar 7%, dan Uni Eropa justru akan mencatatkan penurunan hampir 2%.
Dari sisi pasokan, produksi batu bara global diperkirakan akan mencetak rekor baru lagi tahun ini, didorong oleh peningkatan output dari China dan India. Kedua negara masih menggantungkan ketahanan energi mereka pada pasokan batu bara dalam negeri yang besar dan stabil.
Namun demikian, situasi bisa berubah pada tahun berikutnya. Pada 2026, IEA memprediksi produksi batu bara global akan mengalami penurunan. Hal ini dipicu oleh meningkatnya stok yang tersedia serta harga pasar yang lebih rendah, yang pada gilirannya menekan keuntungan produsen.
Tidak hanya produksi, perdagangan batu bara lintas negara juga menunjukkan sinyal pelemahan. Volume perdagangan yang sebelumnya meningkat dalam beberapa tahun terakhir kini diperkirakan akan mengalami kontraksi pada tahun ini untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19. Penurunan ini bahkan diprediksi berlanjut hingga 2026, yang akan menjadi dua tahun berturut-turut perdagangan batu bara global mengalami penurunan sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sepanjang abad ini.
Kondisi pasar saat ini memberikan tekanan tersendiri bagi para produsen. Harga batu bara global telah turun kembali ke level yang terakhir terlihat pada awal 2021. Penurunan ini menekan margin keuntungan para produsen, terutama di negara-negara eksportir utama seperti Indonesia dan Rusia.
Indonesia disebut sebagai negara dengan potensi penurunan produksi terbesar secara volume. Sementara itu, Rusia menghadapi tekanan ekonomi yang cukup berat akibat berbagai tantangan geopolitik dan fluktuasi pasar internasional yang menghambat ekspor mereka.
Dengan berbagai dinamika ini, pasar batu bara global berada di titik yang kompleks: di satu sisi, masih menjadi pilar energi bagi banyak negara berkembang; namun di sisi lain, mulai kehilangan pijakan di negara maju yang gencar mengadopsi energi bersih. Masa depan komoditas ini akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dunia dalam mempercepat transisi energi sekaligus menjaga kestabilan pasokan dan harga energi global.