ESDM

Pemerataan Listrik untuk Desa Jadi Fokus ESDM

Pemerataan Listrik untuk Desa Jadi Fokus ESDM
Pemerataan Listrik untuk Desa Jadi Fokus ESDM

JAKARTA - Akses terhadap listrik tak lagi sekadar soal infrastruktur atau teknis belaka. Di era digital, kehadirannya menjadi fondasi utama bagi kualitas hidup masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Kesadaran inilah yang kini menjadi fokus pemerintah dalam merumuskan langkah percepatan penyediaan listrik, terutama untuk ribuan desa dan dusun yang hingga kini belum merasakan terang listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan pentingnya kehadiran listrik sebagai bentuk nyata dari implementasi keadilan sosial. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar, listrik menjadi simbol pembangunan yang merata serta alat pemutus rantai ketimpangan antara wilayah pusat dan pinggiran.

Dari catatan yang disampaikan Bahlil, terdapat sekitar 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum teraliri listrik. Bahkan, jumlah titik gelap ini bertambah dengan data terbaru menunjukkan ada 1.068 lokasi tambahan yang masih belum tersambung dengan jaringan listrik nasional.

“Saya kemarin bahas dengan beberapa staf dan Menristek untuk bicara tentang strategi percepatan bagi desa-desa maupun dusun-dusun yang belum mendapat listrik, agar segera kita menyusun program dan langkah-langkahnya,” ujar Bahlil saat memberikan pernyataan dalam sebuah acara publik.

Bagi Bahlil, listrik tak ubahnya sebagai hak dasar masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Lebih dari itu, keterhubungan energi menjadi syarat penting dalam menghadirkan pendidikan yang inklusif dan adaptif terhadap zaman. Apalagi, hampir seluruh proses belajar-mengajar saat ini telah banyak bergantung pada perangkat digital dan koneksi internet.

“Listrik ini sangat penting di era digitalisasi, terutama untuk semua sekolah sekarang. Di desa-desa, di kampung-kampung, itu kan setiap desa minimal ada satu sekolah. Jadi kalau listriknya enggak ada, bagaimana kita bicara tentang edukasi digitalisasi di tingkat sekolah?” katanya menegaskan.

Dengan latar belakang kehidupan pribadi yang tumbuh di tengah keterbatasan, Bahlil menyampaikan pengalaman pribadinya saat bersekolah tanpa listrik. Pengalaman tersebut, menurutnya, cukup menjadi kenangan masa lalu yang tidak boleh terulang pada generasi berikutnya. Hal ini sekaligus menjadi pemacu semangatnya untuk mempercepat pembangunan akses listrik hingga ke pelosok negeri.

“Cukuplah saya yang sekolah dulu tidak ada listrik. Ini menjadi komitmen, dan ini juga komitmen Bapak Presiden Prabowo untuk segera merumuskan dan menjalankan,” ucapnya penuh penekanan.

Pemerintah pun tidak ingin strategi ini terhambat oleh birokrasi berbelit. Langkah-langkah yang akan diambil menitikberatkan pada eksekusi langsung, bukan pembentukan tim atau satuan tugas tambahan yang justru kerap memperlambat gerak. Fokusnya adalah pada kolaborasi konkret antara Kementerian ESDM dengan PLN sebagai operator utama.

“Enggak ada Satgas-Satgas. Langsung aja kita eksekusi, Kementerian ESDM sama PLN,” pungkas Bahlil dengan tegas.

Pernyataan ini memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memotong jalur lambat birokrasi. Langkah langsung yang berbasis data dan kolaborasi teknis diyakini akan lebih efektif dalam menjangkau wilayah-wilayah yang belum mendapatkan layanan listrik, dibandingkan sekadar membuat wacana kebijakan tanpa implementasi yang nyata.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pemerataan listrik juga menjadi salah satu kunci penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Listrik membuka peluang bagi pelaku usaha mikro di desa, meningkatkan produktivitas pertanian dengan pengolahan hasil, hingga memunculkan wirausaha-wirausaha baru berbasis digital.

Selain sektor ekonomi, pendidikan tetap menjadi sorotan utama. Sekolah-sekolah di wilayah terpencil selama ini masih sangat bergantung pada cara konvensional dalam kegiatan belajar-mengajar karena belum memiliki akses ke alat bantu digital seperti komputer dan internet. Situasi ini menimbulkan kesenjangan besar antara siswa di kota dan siswa di desa.

Dengan ketersediaan listrik, sekolah dapat mulai beradaptasi pada kurikulum yang lebih modern. Guru dapat mengakses materi ajar dari internet, murid bisa belajar melalui platform daring, dan berbagai infrastruktur teknologi informasi dapat diimplementasikan lebih merata. Ini bukan hanya meningkatkan mutu pendidikan, tetapi juga membuka jalan bagi pemerataan kesempatan.

Program percepatan listrik desa juga selaras dengan visi besar pemerintah dalam mendorong transisi energi dan pembangunan berkelanjutan. Ke depan, pemerintah akan menggabungkan proyek elektrifikasi desa ini dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) skala kecil di daerah yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional.

Langkah ini tidak hanya akan mempercepat elektrifikasi, tetapi juga membantu pencapaian target pengurangan emisi karbon nasional. Pemerintah menilai bahwa pembangunan yang merata tidak bisa hanya fokus pada pembangunan fisik di kota besar, melainkan harus menjangkau hingga ke desa-desa terpencil.

Pemerintah juga membuka peluang bagi sektor swasta dan masyarakat sipil untuk berkolaborasi dalam proyek elektrifikasi desa. Dalam konteks ini, pembangunan berbasis gotong royong dan inklusif menjadi nilai penting yang hendak diwujudkan dalam visi energi untuk semua.

Dengan strategi yang tepat sasaran, pelaksanaan yang cepat, dan semangat kolaboratif, impian menghadirkan listrik ke setiap sudut negeri bukanlah hal yang mustahil. Komitmen ini bukan sekadar janji politik, tapi sebuah panggilan moral untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang harus belajar dalam kegelapan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index