JAKARTA - Kenaikan indeks manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global sempat memunculkan harapan akan membaiknya sektor industri. Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat naik ke level 49,1 Meningkat dari posisi sebelumnya di angka 46,9. Namun, di balik angka tersebut, industri tekstil nasional ternyata masih menghadapi berbagai kendala dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan.
Sektor tekstil, sebagai salah satu tulang punggung industri manufaktur, justru menyuarakan kekhawatiran dan kehati-hatian. Pelaku usaha menilai bahwa kondisi pasar tekstil saat ini masih lesu dan belum beranjak dari tekanan yang berkepanjangan sejak beberapa tahun terakhir.
Tidak Sejalan dengan Indikator Makro
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, menyatakan bahwa indikator PMI yang menunjukkan tren positif belum sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata yang dialami sektor tekstil. Ia menekankan pentingnya melihat data PMI secara jangka panjang untuk memahami dinamika industri secara lebih komprehensif.
"Kami harus lihat data S&P Global Manufacturing Index Indonesia secara jangka panjang ke belakang. Angka saat ini masih jauh dibandingkan data 3-4 tahun lalu yang rata-rata di atas 51," kata Farhan, memberikan gambaran bahwa angka PMI saat ini masih berada di bawah level ekspansi.
Dalam konteks PMI, angka di bawah 50 memang menandakan kontraksi aktivitas manufaktur. Artinya, walau ada perbaikan dibanding bulan sebelumnya, industri secara umum masih berada dalam fase perlambatan.
Tekstil Belum Menikmati Pemulihan
Lebih lanjut, Farhan menjelaskan bahwa permintaan domestik maupun ekspor untuk produk tekstil masih belum pulih. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya menyangkut rendahnya permintaan, tapi juga tekanan dari sisi biaya produksi dan daya saing terhadap produk impor yang lebih murah.
Sejumlah pelaku usaha juga mencatat bahwa pasar tekstil lokal sedang tertekan oleh banjir produk dari luar negeri, yang masuk baik secara legal maupun ilegal. Hal ini memperburuk situasi produsen tekstil dalam negeri yang sebelumnya sudah mengalami dampak pandemi dan tekanan daya beli masyarakat.
"Saat ini, tidak sedikit pabrik yang masih menahan kapasitas produksinya karena belum adanya kepastian pasar. Beberapa bahkan masih menunggu sinyal pemulihan sebelum memutuskan untuk kembali beroperasi penuh," ungkapnya.
Tantangan dari Hulu ke Hilir
Industri tekstil di Indonesia merupakan sektor padat karya yang memiliki rantai nilai panjang, mulai dari hulu (serat, benang) hingga hilir (garmen dan pakaian jadi). Ketika salah satu mata rantai mengalami tekanan, dampaknya akan merembet ke seluruh sistem produksi.
Menurut APSyFI, sektor hulu seperti produsen benang dan serat kini menghadapi kelebihan pasokan dan rendahnya harga jual. Di sisi lain, pelaku di sektor hilir pun tidak mampu menyerap produksi dalam negeri karena keterbatasan permintaan dan persaingan harga dengan produk impor.
Lebih dari itu, isu efisiensi energi dan biaya bahan baku juga menjadi beban tersendiri bagi pelaku industri tekstil. Farhan menyebutkan bahwa tanpa kebijakan protektif dan insentif yang mendukung, pemulihan industri akan sulit dicapai dalam waktu dekat.
Harapan pada Kebijakan Pemerintah
Para pelaku industri berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah konkret untuk melindungi industri tekstil nasional dari gempuran produk impor. Selain itu, dukungan berupa pembiayaan murah, relaksasi regulasi, dan dorongan ekspor juga diperlukan agar industri bisa lebih kompetitif di pasar global.
“Perlindungan pasar domestik serta upaya mendorong ekspor melalui diplomasi perdagangan perlu diperkuat. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di pasar tekstil global jika kebijakan mendukung,” ujar Farhan.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, pemerintah memang menyatakan komitmennya untuk memperkuat industri tekstil melalui kebijakan substitusi impor dan peningkatan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Namun, implementasi dan pengawasan di lapangan masih menjadi tantangan tersendiri.
Tidak Bisa Hanya Bergantung pada PMI
Kondisi yang dihadapi industri tekstil ini memperlihatkan bahwa indikator makro seperti PMI tidak dapat dijadikan satu-satunya acuan untuk membaca pemulihan sektor manufaktur secara menyeluruh. Dibutuhkan pendekatan yang lebih sektoral dan berbasis lapangan agar kebijakan dapat lebih tepat sasaran.
Kenaikan PMI yang tentu merupakan sinyal positif, namun belum cukup untuk disimpulkan bahwa seluruh sektor industri mengalami perbaikan. Justru, data ini sebaiknya dijadikan momentum untuk menggali lebih dalam sektor-sektor yang masih tertinggal dan membutuhkan perhatian khusus.
Industri tekstil, dengan kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan ekspor nonmigas, seharusnya menjadi prioritas dalam peta jalan pemulihan ekonomi nasional. Tanpa perhatian khusus, sektor ini dikhawatirkan akan terus kehilangan daya saing dan perlahan tertinggal dari negara-negara pesaing di Asia.