JAKARTA - Penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram telah membuahkan hasil yang nyata dalam meningkatkan minat petani untuk menjual hasil panennya ke Perum Bulog. Salah satu buktinya terlihat di wilayah Cirebon, Jawa Barat, di mana respons positif dari kalangan petani meningkat tajam seiring pelaksanaan panen raya tahun ini. Perum Bulog Cabang Cirebon mengungkapkan bahwa tingginya minat petani menjual gabah menandakan kebijakan HPP baru tersebut berjalan efektif dalam menguntungkan pelaku sektor pertanian.
Kepala Perum Bulog Cirebon, Ramaijon Purba, mengakui bahwa lonjakan minat ini memberikan tantangan tersendiri bagi tim penjemputan gabah. Banyaknya petani yang mendaftar melalui Babinsa dan penyuluh untuk menjual gabahnya langsung ke Bulog membuat proses operasional sempat kewalahan. "Jadi animo petani memang luar biasa menjual gabahnya dengan harga Rp6.500 per kilogram, apalagi any quality kan? Apa adanya (gabah petani)," ujar Ramaijon di Cirebon.
Untuk mengatur alur penyerapan gabah, Bulog menerapkan sistem pendaftaran H-1. Petani yang ingin hasil panennya dijemput harus lebih dulu mendaftar sehari sebelumnya melalui jaringan penyuluh. Prosedur ini diberlakukan guna menghindari tumpang tindih dalam jadwal penjemputan serta memastikan pengelolaan yang lebih tertib.
Namun demikian, antusiasme petani tetap memunculkan tantangan tersendiri. "Prosesnya kan kita buat H-1. Jadi kalau yang mau dijemput hari ini, kemarin udah harus daftar ke kita melalui Babinsa dan penyuluh. Jadi kadang-kadang kita kewalahan, terlalu banyak yang mendaftar untuk kita serap, untuk kita beli dari petaninya," jelas Ramaijon.
Selain dari segi harga, daya tarik kebijakan ini juga terletak pada fleksibilitas Bulog dalam menerima gabah. Petani tidak lagi terlalu khawatir tentang standar kualitas karena Bulog tetap menyerap hasil panen meskipun kondisi gabah belum sempurna. Hal ini memberikan rasa aman bagi petani, terutama pada musim panen yang diwarnai cuaca tidak menentu.
Ramaijon menambahkan bahwa pada awal musim panen, kualitas gabah memang sempat menurun. Hujan yang turun terus-menerus membuat sebagian tanaman padi roboh, mempengaruhi mutu gabah dan menurunkan rendemen beras. Namun memasuki akhir April hingga Mei, kondisi cuaca membaik dan kualitas panen ikut meningkat.
Seiring peningkatan mutu gabah, produktivitas penyerapan oleh Bulog Cirebon juga menunjukkan hasil menggembirakan. Hingga akhir Juli 2025, tercatat bahwa Bulog telah menyerap 133.624 ton gabah setara beras. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir untuk wilayah Cirebon, dan secara langsung memperkuat stok cadangan beras pemerintah (CBP).
Saat ini, total stok CBP di Gudang Bulog Cirebon mencapai 175 ribu ton. Jumlah ini tersimpan dengan aman di berbagai fasilitas penyimpanan, yang terdiri atas 10 kompleks gudang induk milik Bulog, 44 gudang filial, serta empat gudang sewa dari pihak swasta di wilayah tersebut. Cadangan ini dinilai cukup untuk menjamin stabilitas pasokan beras di kawasan Cirebon dan sekitarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menekankan pentingnya peran Bulog dalam menjangkau wilayah-wilayah yang sulit terakses oleh swasta. Dalam beberapa kasus, daerah terpencil yang jauh dari pasar bebas tidak dapat menarik minat pembeli dari kalangan pedagang atau pelaku usaha. Akibatnya, harga gabah di daerah tersebut berisiko jatuh di bawah ketetapan pemerintah.
“Di mana swasta tidak bisa ambil, pedagang tidak bisa ambil, maka Bulog kita ingin hadir untuk mengambil,” tegas Wamentan dalam pernyataannya.
Ia juga menyampaikan bahwa apabila harga gabah di suatu wilayah jatuh di bawah Rp6.500 per kilogram, maka Bulog wajib turun tangan langsung menyerap hasil panen petani. Penyerapan ini dilakukan dengan mengacu pada HPP agar kesejahteraan petani tetap terjaga dan tidak terjadi disparitas harga di tingkat lapangan.
Langkah Bulog dalam menyerap gabah dengan skema penjemputan langsung dan fleksibilitas kualitas dinilai sangat membantu petani, terutama di masa-masa rawan seperti saat cuaca ekstrem. Hal ini tidak hanya memberikan jaminan pasar, tetapi juga menciptakan kepastian pendapatan bagi petani, yang selama ini menjadi salah satu sektor rentan dalam rantai pangan nasional.
Efektivitas kebijakan ini sekaligus menjadi sinyal positif bahwa penetapan HPP yang realistis dan pro-petani mampu berdampak langsung pada peningkatan partisipasi produsen. Tidak hanya itu, keberhasilan penyerapan gabah dalam jumlah besar juga menunjukkan bahwa pemerintah melalui Bulog mampu merespons kebutuhan dengan sigap dan terstruktur.
Ke depan, tantangan yang perlu diantisipasi adalah keberlanjutan mekanisme penyerapan dalam menghadapi fluktuasi panen dan kondisi cuaca. Namun setidaknya, pencapaian Bulog Cirebon dapat menjadi contoh bahwa sinergi antara pemerintah, petani, dan lembaga distribusi pangan bisa menciptakan ekosistem pertanian yang lebih sehat dan stabil.
Dengan pencapaian tertinggi dalam lima tahun terakhir dan antusiasme petani yang terus meningkat, kebijakan HPP Rp6.500/kg tampaknya menjadi langkah tepat dalam mendukung ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani di lapangan.