JAKARTA - Pasar properti residensial Indonesia pada triwulan II 2025 menunjukkan dinamika yang lebih hati-hati. Survei Harga Properti Residensial (SHPR) dari Bank Indonesia memperlihatkan bahwa kenaikan harga rumah di pasar primer mengalami pertumbuhan yang terbatas, menandakan adanya perlambatan dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang hanya tumbuh sebesar 0,90% secara tahunan (yoy), lebih rendah dibandingkan 1,07% pada triwulan I 2025.
Perlambatan harga ini tidak terlepas dari penurunan penjualan unit properti residensial, terutama pada tipe rumah menengah dan besar yang bahkan menunjukkan kontraksi signifikan. Meski penjualan rumah tipe kecil masih mencatat pertumbuhan positif, namun laju pertumbuhannya melambat cukup tajam.
Secara keseluruhan, penjualan properti residensial di pasar primer mengalami kontraksi sebesar 3,80% (yoy) pada triwulan II, menurun drastis dari pertumbuhan 0,73% (yoy) yang tercatat di triwulan sebelumnya. Penurunan ini menjadi sinyal perlambatan pasar properti yang perlu mendapat perhatian para pelaku industri dan regulator.
Penjualan Properti: Menurun di Semua Tipe Rumah
Detail data menunjukkan bahwa penjualan rumah tipe kecil masih tumbuh 6,70% (yoy), tetapi menurun dibandingkan dengan kenaikan 23,75% pada triwulan I 2025. Sementara itu, rumah tipe besar dan menengah mengalami kontraksi lebih dalam, masing-masing sebesar 14,95% dan 17,69% (yoy). Meski demikian, kontraksi pada tipe menengah membaik jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi hingga 35,76%.
Jika dilihat secara triwulanan (qtq), penjualan residensial menurun sebesar 16,72%, setelah pada triwulan I mencatat pertumbuhan positif 33,92%. Kontraksi ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan penjualan rumah tipe kecil sebesar 26,98%, turun dari pertumbuhan 83,97% pada triwulan sebelumnya. Namun, penjualan tipe menengah dan besar mencatat sedikit perbaikan, dengan pertumbuhan masing-masing 10,61% dan 1,19% (qtq), setelah sebelumnya mengalami kontraksi.
Hambatan dalam Pengembangan dan Penjualan Properti
Menurut para responden survei, terdapat beberapa faktor utama yang menghambat pengembangan dan penjualan properti residensial di pasar primer. Faktor terbesar adalah kenaikan harga bangunan, yang disebut oleh hampir 20% responden sebagai penghambat utama. Selain itu, kendala perizinan dan birokrasi menjadi masalah bagi 15,13% responden. Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi juga menjadi hambatan signifikan (15%), diikuti oleh besarnya uang muka dalam pengajuan KPR (11,38%) dan isu perpajakan (8,66%).
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa kendala struktural dan regulasi masih cukup berpengaruh dalam menjaga stabilitas pasar properti, khususnya di segmen residensial primer.
Sumber Pembiayaan dan Preferensi Konsumen
Dari sisi pembiayaan pengembang, sebagian besar dana pembangunan residensial masih bersumber dari dana internal, dengan pangsa sebesar 78,36%. Pinjaman perbankan menjadi sumber pembiayaan kedua dengan 15,68%, sementara pembayaran dari konsumen hanya 5,96%.
Sedangkan dari sisi konsumen, mayoritas pembelian rumah di pasar primer menggunakan skema pembiayaan KPR, yang mencakup 73,06% dari total transaksi. Pembayaran secara tunai bertahap juga masih diminati (17,75%), sementara pembayaran tunai langsung hanya 9,19%.
Perlambatan Kredit KPR dan Dampaknya
Pertumbuhan nilai kredit KPR pada triwulan II 2025 juga menunjukkan perlambatan. Secara tahunan, kredit KPR tumbuh 7,81%, lebih rendah dibandingkan 9,13% pada triwulan I. Secara triwulanan, pertumbuhan kredit KPR hanya 1,32%, turun dari 2,54% pada triwulan sebelumnya.
Penurunan pertumbuhan kredit ini berkorelasi dengan tren perlambatan harga dan penjualan properti residensial, menandakan adanya kehati-hatian dari sisi pembeli maupun lembaga pembiayaan.
Prospek Triwulan III 2025: Tumbuh Terbatas Tanpa Sentimen Kuat
Berdasarkan analisis Vibiz Research Center, harga properti residensial pada triwulan III 2025 diperkirakan masih akan tumbuh terbatas, dengan kisaran antara 0,8% hingga 1,0% (yoy). Pertumbuhan ini masih akan mengikuti tren perlambatan pada dua triwulan sebelumnya, kecuali ada sentimen kuat yang mampu membalikkan arah pasar.
Beberapa faktor pendukung di antaranya adalah kebijakan insentif pemerintah, seperti pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Insentif ini berlaku 100% hingga Juni dan berlanjut dengan 50% hingga Desember 2025, yang diharapkan mampu mendorong daya beli, khususnya di segmen menengah ke bawah.
Segmen Residensial Terjangkau Menjadi Fokus
Segmen rumah subsidi atau residensial terjangkau diprediksi akan menjadi lebih prospektif dibanding properti premium. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya beli masyarakat kelas menengah yang cenderung mencari hunian dengan harga lebih terjangkau.
Fokus pada pengembangan properti di segmen ini juga diharapkan dapat membantu meningkatkan akses masyarakat terhadap rumah layak huni, sekaligus menjaga dinamika pasar properti tetap sehat.
Tantangan dan Harapan di Pasar Properti Residensial
Survei Harga Properti Residensial triwulan II 2025 mengindikasikan bahwa pasar properti di Indonesia tengah menghadapi tantangan berupa perlambatan harga dan penjualan. Faktor-faktor struktural seperti kenaikan biaya pembangunan, perizinan, dan pembiayaan menjadi penghambat utama.
Namun, dengan adanya dukungan insentif pemerintah serta fokus pada pengembangan segmen residensial terjangkau, pasar properti masih memiliki peluang untuk tumbuh meski terbatas. Koordinasi antara pengembang, perbankan, dan regulator menjadi kunci agar pasar dapat beradaptasi dan kembali pulih secara bertahap.
Penting bagi para pelaku industri dan pembuat kebijakan untuk terus memantau perkembangan ini dan mengambil langkah strategis agar sektor properti tetap menjadi salah satu pilar penggerak ekonomi nasional ke depan.