JAKARTA — Komisi VI DPR RI menyampaikan kekhawatirannya atas tidak terbitnya visa haji furoda tahun ini yang dinilai berpotensi berdampak serius terhadap sektor ekonomi, khususnya pada maskapai pelat merah, Garuda Indonesia. Selain kerugian finansial, kondisi ini juga dinilai berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah jika tidak ditangani secara transparan dan profesional.
Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP, Mufti Anam, menegaskan bahwa permasalahan batalnya keberangkatan jemaah haji furoda akibat visa tidak terbit tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, selain berimbas pada jemaah dan biro perjalanan, kondisi ini juga berdampak langsung terhadap Garuda Indonesia yang telah menjadwalkan penerbangan untuk memberangkatkan jemaah.
“Siapa yang akan menanggung kerugian ini? Travel sudah bayar, jemaah sudah setor, tiket sudah dibeli. Tapi pesawat batal terbang karena visanya tidak keluar. Ini kan tidak bisa dianggap remeh,” ujar Mufti dalam keterangannya.
Garuda Indonesia, yang merupakan mitra kerja Komisi VI, diminta untuk melakukan perhitungan atas potensi kerugian yang muncul akibat pembatalan penerbangan. Mufti juga mendorong agar maskapai nasional itu segera duduk bersama dengan agen perjalanan untuk menyusun skema kompensasi bagi pihak-pihak yang terdampak.
“Garuda Indonesia dan travel harus duduk bersama mencari skema kompensasi, entah dalam bentuk refund, pengalihan ke jadwal umrah, atau solusi lainnya yang tidak merugikan kedua belah pihak,” lanjut Mufti.
Lebih jauh, Mufti menyoroti banyaknya keluhan dari masyarakat, terutama dari jemaah yang telah menyetorkan dana dalam jumlah besar dan memesan tiket serta akomodasi, namun tidak kunjung mendapatkan kejelasan keberangkatan. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai pasif dan tidak memberikan penjelasan resmi terkait kondisi ini.
Menurut Mufti, meskipun haji furoda merupakan jalur undangan langsung (mujamalah) dari Pemerintah Arab Saudi dan berada di bawah otoritas kerajaan, namun pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama tetap memiliki tanggung jawab moral dan diplomatik untuk membela kepentingan warganya.
“Kementerian Agama seharusnya bisa melakukan advokasi dan komunikasi diplomatik dengan Kementerian Haji Arab Saudi. Tujuannya untuk memperjuangkan jemaah furoda Indonesia yang sudah siap berangkat, baik secara mental, finansial maupun logistik,” ujar Mufti.
Selain itu, ia juga menuntut keterbukaan dari Kementerian Agama terkait distribusi visa haji furoda yang kabarnya sudah diterima dari Pemerintah Arab Saudi. Menurut informasi yang diterima Mufti, terdapat sekitar 3.000 visa furoda yang telah dikeluarkan dan dikirimkan ke Kemenag, namun hingga kini belum jelas kepada siapa visa tersebut diberikan.
“Maka publik berhak tahu, kepada siapa saja visa itu didistribusikan? Apa dasar distribusinya? Apakah itu berdasarkan transparansi atau justru ditarik ke ranah transaksional?” tegas Mufti. “Jangan sampai visa ini menjadi ladang praktik rente atau bahkan korupsi, yang justru mengorbankan travel resmi dan jemaah yang benar-benar taat prosedur.”
Ia menambahkan bahwa kasus ini harus menjadi pelajaran serius bagi semua pihak. Hak-hak jemaah, terutama mereka yang menempuh jalur haji furoda, harus dijamin secara adil dan transparan. Mufti menekankan pentingnya kehadiran negara dalam melindungi warganya yang telah menunjukkan komitmen untuk menunaikan ibadah suci.
“Jangan sampai ke depan masyarakat makin tidak percaya kepada institusi karena persoalan ini dibiarkan menggantung,” tutup Mufti.
Dengan sorotan dari Komisi VI ini, diharapkan pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan pihak maskapai Garuda Indonesia, dapat segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan polemik visa haji furoda secara adil dan transparan. Kejelasan dan kepastian hukum bagi para calon jemaah menjadi hal mendesak yang tak bisa ditunda.