AAJI Ingatkan Belum Ada Kajian Efektivitasnya

Selasa, 01 Juli 2025 | 12:00:16 WIB
AAJI Ingatkan Belum Ada Kajian Efektivitasnya

JAKARTA - Di tengah kenaikan biaya medis yang kian membebani sistem layanan kesehatan dan industri asuransi, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyoroti satu pendekatan yang berpotensi menjadi solusi strategis: penerapan skema co-payment pada polis asuransi kesehatan. Konsep ini dinilai mampu membantu menahan laju inflasi medis yang belakangan meningkat signifikan, baik di rumah sakit swasta maupun fasilitas kesehatan lainnya.

Meski demikian, AAJI menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada kajian mendalam ataupun proyeksi kuantitatif yang secara pasti menunjukkan seberapa besar dampak positif dari kebijakan tersebut terhadap pengendalian biaya medis secara menyeluruh. Hal ini menandakan bahwa meski secara teoritis menjanjikan, implementasi skema co-payment tetap perlu diuji lebih lanjut sebelum dijadikan kebijakan nasional.

Inflasi Medis: Tantangan Utama Industri Asuransi Kesehatan

Inflasi medis di Indonesia tercatat mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data industri asuransi, biaya pengobatan naik rata-rata di atas inflasi umum, mencapai 10–13% per tahun. Kenaikan ini dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari kenaikan tarif rumah sakit, pengembangan teknologi medis, hingga pola konsumsi layanan kesehatan oleh masyarakat.

Industri asuransi jiwa dan kesehatan menjadi salah satu sektor yang terkena imbas dari lonjakan biaya tersebut. Premi yang dikenakan kepada nasabah kerap tidak seimbang dengan klaim yang dibayarkan, terutama dalam produk asuransi kesehatan murni maupun rider kesehatan dalam polis jiwa.

Co-Payment: Solusi Berbagi Beban antara Peserta dan Perusahaan Asuransi

Co-payment adalah sistem pembiayaan layanan kesehatan di mana peserta asuransi ikut menanggung sebagian biaya medis secara langsung. Misalnya, jika biaya konsultasi dokter adalah Rp500.000 dan skema co-payment yang diterapkan adalah 20%, maka peserta akan membayar Rp100.000, sementara sisanya dibayarkan oleh pihak asuransi.

Menurut AAJI, pendekatan ini memberikan dua manfaat utama: pertama, menumbuhkan kesadaran peserta dalam mengelola klaim dan memanfaatkan layanan kesehatan secara bijak. Kedua, membantu perusahaan asuransi menjaga rasio klaim tetap sehat sehingga premi tidak melonjak drastis di masa mendatang.

“Penerapan co-payment dipercaya mampu menahan laju inflasi medis karena masyarakat menjadi lebih selektif dan rasional dalam menggunakan layanan kesehatan,” ujar juru bicara AAJI dalam pernyataan tertulis.

Namun demikian, AAJI juga menegaskan pentingnya keterbukaan data dan evaluasi menyeluruh terhadap dampak jangka panjang dari kebijakan ini sebelum diterapkan secara masif.

Belum Ada Kajian Komprehensif, Evaluasi Jadi Kunci

Meskipun secara global co-payment sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem asuransi kesehatan yang maju seperti Jepang, Jerman, dan Belanda, Indonesia masih berada pada tahap awal dalam mempertimbangkan implementasi kebijakan serupa.

AAJI mencatat, hingga kini belum ada kajian empiris yang meneliti seberapa efektif penerapan co-payment dalam menekan biaya medis di konteks lokal Indonesia, baik dari sisi peserta, penyedia layanan kesehatan, maupun perusahaan asuransi.

“Belum ada studi yang dapat memproyeksikan dampak penerapan co-payment terhadap keseluruhan biaya medis di Indonesia. Ini menjadi tantangan yang harus dijawab melalui kolaborasi antara pemerintah, industri asuransi, dan institusi riset,” lanjut pernyataan AAJI.

Dengan belum adanya studi komprehensif tersebut, keputusan untuk menerapkan co-payment sebagai kebijakan wajib atau opsional masih memerlukan pertimbangan matang dari seluruh pemangku kepentingan.

Tantangan Implementasi Co-Payment di Indonesia

Meskipun memiliki potensi, ada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi sebelum co-payment diterapkan secara luas di Indonesia. Pertama, dari sisi literasi keuangan dan pemahaman masyarakat terhadap asuransi yang masih tergolong rendah.

Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, skema ini bisa menimbulkan persepsi negatif bahwa asuransi tidak lagi menanggung seluruh biaya pengobatan, padahal tujuannya adalah menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan.

Kedua, disparitas biaya layanan kesehatan di berbagai wilayah Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini dapat menyulitkan penerapan co-payment secara merata tanpa menimbulkan ketimpangan akses layanan medis antara masyarakat di kota besar dan daerah terpencil.

Ketiga, regulasi dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengatur industri asuransi perlu diperkuat untuk memastikan bahwa skema ini tidak disalahgunakan atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat.

Pentingnya Edukasi dan Kolaborasi Multipihak

AAJI menegaskan bahwa penerapan skema co-payment—jika dilakukan—harus disertai dengan upaya edukasi publik yang masif, serta penyusunan panduan yang transparan dan akuntabel. Edukasi kepada masyarakat penting agar peserta memahami bahwa co-payment bukan berarti perusahaan asuransi melepaskan tanggung jawab, melainkan bagian dari strategi untuk menjaga stabilitas premi dalam jangka panjang.

Selain itu, keterlibatan pihak rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan juga penting agar tidak terjadi peningkatan biaya tersembunyi atau praktik over-treatment yang justru merugikan peserta asuransi.

“Kami percaya bahwa dengan desain kebijakan yang tepat, co-payment bisa menjadi alat yang adil dan efisien. Tapi kuncinya adalah keterlibatan semua pihak, bukan hanya perusahaan asuransi,” tutup AAJI.

Potensi Besar, Tapi Butuh Dasar Ilmiah

Co-payment menjanjikan sebuah jalan keluar dari tekanan inflasi medis yang membebani industri asuransi dan peserta layanan kesehatan. Namun potensi ini harus diimbangi dengan kehati-hatian dan analisis mendalam, agar tidak menimbulkan efek samping negatif bagi akses dan kualitas layanan kesehatan.

AAJI mengajak semua pihak, termasuk regulator, pelaku industri, serta akademisi untuk bersama-sama membangun basis data dan studi empiris yang kuat sebelum mengambil keputusan besar terkait penerapan co-payment di Indonesia. Di saat yang sama, masyarakat juga perlu disiapkan melalui kampanye edukatif agar siap menghadapi skema pembiayaan baru ini secara bijak dan rasional.

Terkini

Pelni: Lonjakan Penumpang Libur

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:06:12 WIB

Bengkel Siaga 24 Jam Mitsubishi Fuso untuk Logistik

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:10:24 WIB

Erick Thohir Dorong Transportasi Terpadu

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:15:11 WIB

Raja Ampat dan Ancaman Tambang Nikel

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:19:35 WIB

Panas Bumi Potensi Besar, Pemanfaatan Terbatas

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:23:05 WIB