Evolusi Bauran Energi Listrik Indonesia dalam Dua Windu

Jumat, 04 Juli 2025 | 11:36:46 WIB
Evolusi Bauran Energi Listrik Indonesia dalam Dua Windu

JAKARTA - Selama hampir satu dekade terakhir, Indonesia terus bergerak menuju sistem kelistrikan yang lebih berkelanjutan. Transformasi ini tidak hanya mencerminkan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga menjadi cerminan dari arah kebijakan nasional yang berpihak pada energi bersih dan masa depan rendah karbon.

Dominasi Batubara di Awal Dekade

Pada tahun 2015, bauran energi listrik Indonesia masih didominasi oleh energi fosil. Lebih dari 80 persen kapasitas pembangkitan berasal dari batubara, gas alam, dan bahan bakar minyak. Batubara sendiri menyumbang sekitar 62 persen. Saat itu, kapasitas pembangkit listrik nasional mencapai sekitar 55 gigawatt (GW), dengan kontribusi energi terbarukan masih sangat terbatas.

Energi terbarukan yang tersedia pun sebagian besar berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi. Kapasitas panas bumi Indonesia saat itu sudah mencapai lebih dari 1.600 megawatt (MW), menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kapasitas panas bumi terbesar di dunia.

Periode 2020–2024: Peningkatan Komitmen, Realisasi Terbatas

Memasuki periode 2020 hingga 2024, pemerintah Indonesia mulai menunjukkan komitmen lebih serius terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 diusung sebagai acuan kebijakan dan pembangunan sektor ketenagalistrikan nasional.

Beberapa langkah penting yang dilakukan antara lain adalah penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), penguatan kebijakan insentif untuk pengembang EBT, serta penerapan harga jual listrik EBT yang kompetitif.

Hingga akhir 2024, kapasitas pembangkit berbasis energi terbarukan mencapai lebih dari 15 GW dari total kapasitas nasional sekitar 100 GW. Ini berarti kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional telah mencapai sekitar 15 persen. Meski lebih tinggi dibandingkan satu dekade sebelumnya, capaian ini masih jauh dari target 23 persen.

Hambatan Struktural dalam Transisi Energi

Tantangan dalam transisi energi Indonesia tidak hanya bersumber dari sisi teknis, tetapi juga mencakup aspek regulasi, investasi, dan infrastruktur.

Salah satu hambatan utama adalah dominasi batubara yang masih sangat kuat, baik dari sisi kebijakan maupun subsidi. Harga batubara domestik yang murah karena regulasi Domestic Market Obligation (DMO), membuat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih menjadi pilihan utama karena lebih ekonomis.

Selain itu, banyak proyek energi terbarukan yang belum mendapatkan kepastian pembelian listrik oleh PLN. Mekanisme feed-in tariff juga belum optimal diterapkan, dan prosedur perizinan masih dianggap rumit oleh pelaku usaha.

RUPTL Hijau: Harapan Baru dari PLN

Pada tahun 2021, PLN merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 yang disebut-sebut sebagai "RUPTL paling hijau" sepanjang sejarah. Dalam rencana ini, lebih dari 50 persen penambahan kapasitas pembangkit akan berasal dari energi terbarukan.

PLN menargetkan pembangunan lebih dari 20 GW pembangkit EBT hingga 2030, terutama dari pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan energi surya. Proyeksi ini menjadi sinyal positif bahwa Indonesia mulai serius membangun ketahanan energi berbasis sumber daya yang ramah lingkungan.

Dukungan Global dan Komitmen Jangka Panjang

Indonesia juga telah menerima dukungan internasional dalam transisi energi, salah satunya melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada tahun 2022. Skema ini melibatkan komitmen pendanaan dari negara-negara maju untuk membantu Indonesia menutup PLTU batubara lebih cepat dan menggantinya dengan energi bersih.

Namun, realisasi pendanaan dan proyek konkret masih berjalan lambat. Pemerintah dan pelaku usaha dituntut untuk mempercepat implementasi dengan memperkuat regulasi, membangun ekosistem pendukung, serta meningkatkan kapasitas teknologi nasional.

Tantangan Masa Depan dan Rekomendasi

Melihat kondisi saat ini, ada beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat agar transformasi bauran energi Indonesia tidak stagnan:

Penghapusan bertahap subsidi energi fosil agar menciptakan level playing field bagi energi terbarukan.

Penyederhanaan regulasi perizinan dan pengadaan proyek EBT agar investor lebih tertarik masuk ke sektor ini.

Peningkatan investasi jaringan transmisi dan distribusi, terutama untuk mendukung integrasi pembangkit terbarukan yang bersifat intermiten.

Peningkatan partisipasi swasta dan masyarakat, termasuk melalui program PLTS Atap, komunitas energi, dan skema pembiayaan inovatif.

Optimisme di Tengah Tantangan

Transformasi bauran energi pembangkitan listrik Indonesia dalam kurun waktu 2015 hingga 2024 mencerminkan perjalanan yang tidak mudah, namun penuh potensi. Dari awal yang berat dengan dominasi batubara, kini Indonesia berada di titik kritis di mana langkah konkret sangat dibutuhkan untuk memastikan transisi energi berlangsung adil, cepat, dan berkelanjutan.

Jika berbagai hambatan bisa diatasi dan komitmen tetap dijaga, maka Indonesia memiliki peluang besar menjadi negara berkembang yang sukses melakukan transformasi energi secara menyeluruh — membuka jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan mandiri energi.

Terkini