Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg di Belitang Hulu

Selasa, 08 Juli 2025 | 12:24:53 WIB
Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg di Belitang Hulu

JAKARTA - Ketika dapur menjadi jantung aktivitas keluarga, keberadaan elpiji 3 kilogram bukan sekadar kebutuhan tambahan, melainkan kebutuhan pokok yang menentukan apakah keluarga bisa memasak hari ini atau tidak. Namun, bagi warga di Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, akses terhadap gas bersubsidi ini justru menjadi kemewahan yang sulit dijangkau.

Sudah hampir satu bulan terakhir, warga di wilayah ini mengalami kelangkaan gas elpiji 3 kilogram. Tidak hanya sulit didapatkan, harga tabung gas melon itu pun melambung jauh di atas ketetapan pemerintah, mencapai Rp40 ribu per tabung—padahal Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi yang ditetapkan jauh lebih rendah.

Situasi ini bukan sekadar menyulitkan, tapi telah menimbulkan keresahan masyarakat yang menggantungkan kebutuhan pokok harian mereka pada bahan bakar bersubsidi tersebut.

“Gas sekarang susah sekali didapat. Kalaupun ada, harganya bisa sampai Rp40 ribu. Kami bingung, karena tidak semua orang bisa beli dengan harga segitu,” ujar Rusdi, salah satu warga Belitang Hulu, dalam sebuah siaran interaktif yang disiarkan oleh RRI Sintang, seperti dikutip dari Suarakalbar.co.id, Senin 07 JULI 2025pagi.

Lonjakan Harga di Tengah Kelangkaan

Kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Kenapa kelangkaan bisa terjadi begitu lama? Siapa yang mengawasi jalur distribusinya? Dan mengapa harga bisa melonjak sebegitu tinggi?

Warga menilai, tidak adanya pengawasan yang ketat terhadap distribusi elpiji membuat gas bersubsidi kerap tidak tepat sasaran. Ada kekhawatiran bahwa tabung gas 3 kilogram justru diserap oleh pelaku usaha menengah ke atas atau didistribusikan di luar wilayah prioritas.

Fenomena ini juga mencuatkan kembali persoalan klasik di daerah-daerah pelosok, di mana akses terhadap bahan kebutuhan pokok sering kali terhambat oleh distribusi yang tidak merata dan infrastruktur yang belum memadai.

“Kami paham ini gas subsidi, tapi kenapa yang subsidi justru langka di tempat kami yang paling membutuhkan?” keluh seorang ibu rumah tangga lainnya yang enggan disebutkan namanya.

Dampak Ekonomi Langsung

Harga yang melambung otomatis berdampak pada pengeluaran rumah tangga. Jika biasanya satu tabung elpiji bisa dibeli seharga sekitar Rp20 ribu—tergantung lokasi dan jarak distribusi—kini warga harus merogoh kocek dua kali lebih dalam. Bagi keluarga dengan penghasilan harian pas-pasan, kenaikan ini sangat terasa.

Tak sedikit warga yang akhirnya kembali menggunakan kayu bakar sebagai alternatif memasak. Namun, solusi ini pun tidak mudah. Selain mengurangi kenyamanan dan kebersihan dapur, penggunaan kayu juga menambah beban kerja rumah tangga, serta tak ramah lingkungan.

Keluhan Meluas, Solusi Masih Belum Terlihat

Kelangkaan elpiji ini bukan fenomena yang baru pertama kali terjadi di Kalimantan Barat, tetapi jarang ada solusi tuntas. Beberapa tahun terakhir, kasus serupa juga terjadi di kecamatan lain dengan pola yang mirip: pasokan terbatas, harga naik, dan masyarakat kecil yang paling terdampak.

Masyarakat berharap pemerintah daerah maupun aparat terkait segera turun tangan untuk melakukan inspeksi dan evaluasi jalur distribusi elpiji subsidi di wilayah mereka. Jika tidak ditangani secara cepat dan menyeluruh, bukan tak mungkin keresahan ini bisa berkembang menjadi krisis sosial yang lebih luas.

“Kami berharap pemerintah benar-benar mendengar keluhan kami. Jangan tunggu sampai situasi jadi makin parah. Kasihan masyarakat kecil,” ujar Rusdi lagi.

Distribusi Gas Elpiji: Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai

Distribusi elpiji bersubsidi di Indonesia selama ini memang menghadapi berbagai tantangan, mulai dari penyimpangan distribusi, praktik penimbunan, hingga kebocoran pasokan ke sektor non-rumah tangga. Pemerintah telah menerapkan sistem subsidi tertutup dalam beberapa tahun terakhir, namun implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.

Di sisi lain, minimnya pengawasan dari dinas perdagangan atau instansi teknis di tingkat kabupaten dan kecamatan memperburuk keadaan. Agen dan pangkalan yang mestinya menjual gas sesuai HET kerap menjual dengan harga tinggi karena suplai terbatas atau ada praktik pengambilan keuntungan berlebih.

Perlu Evaluasi dan Penertiban

Pemerintah daerah diminta untuk mengambil langkah konkret: melakukan pendataan ulang penerima manfaat subsidi, mengaktifkan kembali tim pengawas distribusi elpiji, serta memberikan sanksi tegas bagi agen dan pangkalan yang menjual di atas HET.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah memperluas edukasi masyarakat mengenai penggunaan elpiji tepat sasaran, termasuk mendorong pelaku usaha untuk beralih ke gas non-subsidi. Pendistribusian gas elpiji 3 kilogram harus dipastikan menyasar rumah tangga miskin dan usaha mikro, bukan digunakan secara bebas oleh konsumen menengah atau besar.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Warga Belitang Hulu kini hanya bisa berharap agar kondisi segera normal. Bagi mereka, ketersediaan gas elpiji bersubsidi bukan hanya soal harga atau kenyamanan, melainkan soal keberlangsungan hidup sehari-hari.

Dengan kondisi harga pangan yang juga merangkak naik, kelangkaan gas elpiji menjadi beban ganda yang sangat berat.

“Kalau makan saja sudah susah karena gas mahal, bagaimana kami bisa hidup tenang?” tutur seorang warga lansia di desa sekitar Belitang Hulu.

Kelangkaan gas elpiji 3 kilogram di Belitang Hulu adalah gambaran nyata bagaimana kebijakan subsidi dan distribusi yang tidak diawasi secara ketat bisa berdampak langsung pada masyarakat. Di saat harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya juga naik, kehadiran gas subsidi seharusnya menjadi bantalan ekonomi, bukan sumber masalah.

Warga kini menanti langkah cepat dan konkret dari pemerintah, bukan sekadar janji. Sebab bagi mereka, setiap tabung gas yang tersedia di pangkalan dengan harga wajar adalah harapan untuk bisa tetap menyalakan api di dapur keluarga.

Terkini