Fakta Ilmiah di Balik Cara Kerja Sunscreen

Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:50:56 WIB
Fakta Ilmiah di Balik Cara Kerja Sunscreen

JAKARTA - Di tengah teriknya cuaca dan rutinitas luar ruangan yang tak terhindarkan, perlindungan kulit bukan sekadar urusan estetika, melainkan kebutuhan ilmiah. Salah satu alat pelindung utama yang direkomendasikan para ahli adalah sunscreen atau tabir surya. Tapi benarkah pemakaian sunscreen seefektif yang diklaim? Dan bagaimana sebenarnya produk ini bekerja dalam menjaga kulit dari paparan sinar ultraviolet yang berbahaya?

Dalam kenyataannya, kanker kulit merupakan salah satu jenis kanker yang bisa dicegah, namun kasusnya terus meningkat di banyak belahan dunia. Organisasi kesehatan mencatat lebih dari 300.000 kasus baru setiap tahun. Sayangnya, mitos dan disinformasi di media sosial membuat sebagian orang meragukan efektivitas maupun keamanan sunscreen.

“Saya selalu menekankan pentingnya memakai sunscreen dalam setiap penelitian saya,” ujar Richard Blackburn, ilmuwan material dari University of Leeds dan Keracol Limited. “Kita harus memikirkan kerusakan kulit, DNA, dan penuaan dini. Sunscreen adalah perlindungan penting saat berada di luar ruangan.”

Sinar UV dan Risiko Nyata bagi Kulit

Sinar ultraviolet (UV) berasal dari matahari dan menembus atmosfer sebelum mencapai kulit manusia. Walaupun tidak kasatmata, efek sinar UV bisa dirasakan langsung, bahkan hanya dalam paparan singkat.

Antony Young, fotobiolog dari King's College London, mengungkapkan bahwa sinar UV merusak semua makhluk hidup. UVB merupakan penyebab utama sunburn karena hanya menembus lapisan luar kulit. Sementara itu, UVA bisa menjangkau lapisan lebih dalam, menyebabkan kerusakan jangka panjang.

Bahkan bagi orang dengan warna kulit lebih gelap, risiko tetap ada. Meski melanin memberikan sedikit perlindungan, paparan sinar UV dalam durasi panjang tetap bisa menimbulkan kerusakan.

Dua Pendekatan dalam Formulasi Sunscreen

Pada abad ke-20, sunscreen mulai dikembangkan untuk menangkal dampak negatif sinar UV. Saat ini, terdapat dua kategori utama sunscreen berdasarkan bahan aktifnya: organic dan physical.

Organic sunscreen, yang dulunya disebut chemical sunscreen, menggunakan bahan berbasis karbon untuk menyerap dan memecah sinar UV sebelum menembus kulit. Sementara physical sunscreen (juga dikenal sebagai natural sunscreen) memakai partikel seperti titanium dioksida atau seng oksida untuk memantulkan radiasi UV secara fisik.

Meskipun tidak ada sunscreen yang mampu menyaring 100% sinar UV, fungsinya tetap krusial. Dengan label SPF (Sun Protection Factor) dan UPF (Ultraviolet Protection Factor), efektivitas produk bisa diukur. Misalnya, SPF 15 menyaring sekitar 93% sinar UVB, sedangkan SPF 50 menyaring hingga 98%.

Polemik Keamanan Bahan Aktif

Meski manfaat sunscreen tak terbantahkan, masih ada kekhawatiran terhadap beberapa bahan aktifnya. Bahan seperti oxybenzone, avobenzone, dan octinoxate telah ditemukan dalam aliran darah manusia dan diyakini bisa terurai menjadi senyawa yang berpotensi beracun.

Namun, Young menegaskan bahwa yang menjadi persoalan utama adalah kadarnya. “Banyak studi toksisitas dilakukan dengan konsentrasi yang tidak realistis atau sangat sulit dicapai dalam kenyataan,” jelasnya. Hal serupa berlaku pada kekhawatiran akan pencemaran laut akibat sunscreen.

Blackburn juga memperingatkan agar tidak mencampur dua jenis sunscreen berbeda karena dapat menurunkan efektivitas perlindungan. “Kami menemukan bahwa pencampuran jenis sunscreen bisa membalikkan proses perlindungan. Ini bertentangan dengan anggapan bahwa semakin banyak produk, semakin baik perlindungannya,” katanya.

Risiko Sunscreen Alami dan Buatan Sendiri

Belakangan ini, tren produk alami dan buatan sendiri juga merambah dunia sunscreen. Beberapa orang mencoba membuat sunscreen dari minyak alami atau bahkan lemak hewan seperti tallow. Namun, para ahli mengingatkan bahwa produk semacam itu tidak bisa diandalkan karena nilai SPF-nya biasanya sangat rendah atau tidak signifikan.

“Masalahnya adalah Anda tidak bisa menguji efektivitas produk buatan sendiri,” kata Young. “Formulasi sunscreen itu teknis dan kompleks. Harus stabil, nyaman digunakan, dan tentunya efektif dalam melindungi kulit.”

Meski begitu, sunscreen alami tetap bisa mengandung bahan kimia seperti titanium oksida atau seng oksida agar bisa berfungsi dengan baik.

Inovasi Masa Depan: Sunscreen Berbasis Tumbuhan

Sebagian ilmuwan kini mulai menjelajahi potensi bahan-bahan alami untuk digunakan sebagai pelindung UV. Tumbuhan, jamur, dan bahkan organisme laut diketahui memproduksi senyawa untuk melindungi DNA mereka dari paparan sinar matahari.

“Banyak senyawa alami yang punya potensi untuk memberikan perlindungan,” ujar Young. “Dan tumbuhan sangat ahli dalam hal ini.”

Laboratorium seperti yang dipimpin Blackburn sedang mengembangkan teknologi untuk mengekstrak dan memproduksi senyawa ini secara massal. Di masa depan, sunscreen bisa jadi akan berbasis tanaman dan lebih ramah lingkungan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan sintetis.

Dibalik perdebatan seputar keamanan bahan atau klaim alami yang beredar di media sosial, satu hal tetap jelas: sunscreen merupakan alat penting dalam melindungi kulit dari kerusakan sinar UV. Baik menggunakan sunscreen berbahan organik, fisik, maupun inovasi masa depan, pemilihan produk harus didasari pemahaman ilmiah dan bukan semata-mata tren.

Terkini

Artis Global Jackson Wang Pecahkan Rekor Billboard

Rabu, 06 Agustus 2025 | 12:44:43 WIB

Indonesia Siap Pimpin Industri Baterai Dunia

Rabu, 06 Agustus 2025 | 12:49:39 WIB

Dahlia Poland, Sosok Ibu yang Inspiratif

Rabu, 06 Agustus 2025 | 12:53:20 WIB

Harga Global BYD Seagull Terungkap

Rabu, 06 Agustus 2025 | 12:56:10 WIB

Boya Magic Tekno: Mikrofon AI Multifungsi 4-in-1

Rabu, 06 Agustus 2025 | 13:01:18 WIB