Penjelasan Ilmiah Mengapa Orang Korea Jarang Pakai Deodoran

Jumat, 08 Agustus 2025 | 11:30:37 WIB
Penjelasan Ilmiah Mengapa Orang Korea Jarang Pakai Deodoran

JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk tren kecantikan dan perawatan diri global, Korea Selatan menampilkan sebuah anomali menarik: produk deodoran ternyata tidak memiliki tempat istimewa di pasar mereka. Jika Anda turis yang tengah melancong ke Seoul dan lupa membawa deodoran, jangan heran jika mencarinya di rak-rak minimarket lokal terasa seperti berburu harta karun yang hilang. Ternyata, di balik minimnya pemakaian deodoran ini, ada alasan ilmiah yang sangat spesifik—yakni soal genetika.

Fakta ini bukan sekadar mitos atau kebiasaan turun-temurun. Sebuah studi ilmiah yang dimuat di Medical News Today mengungkapkan bahwa sekitar 2% populasi dunia memiliki gen langka bernama ABCC11, dan mayoritas pemilik gen ini berasal dari Asia Timur, termasuk Korea Selatan dan Jepang. Orang-orang dengan gen ABCC11 tidak menghasilkan senyawa penyebab bau ketiak, menjadikan mereka secara biologis tidak membutuhkan deodoran sama sekali.

Penelitian ini tidak main-main. Dikerjakan oleh para ilmuwan dari University of Bristol, Inggris, studi tersebut menganalisis 6.495 perempuan dalam program Children of the 90s. Hasilnya, hanya 117 partisipan—atau sekitar 2% yang terbukti memiliki gen ABCC11. Yang menarik, gen ini bukan hanya memengaruhi bau badan, tetapi juga bisa dideteksi dari jenis kotoran telinga.

Menurut Dr. Santiago Rodriguez, salah satu peneliti, gen ABCC11 berkaitan erat dengan kelenjar keringat apokrin yang biasanya menghasilkan zat yang bereaksi dengan bakteri di kulit sehingga menghasilkan bau. “Bau ketiak berasal dari aktivitas kelenjar keringat yang bercampur bakteri, dan keberadaannya sangat tergantung pada gen ABCC11,” jelasnya.

Bukan hanya soal biologi, studi ini juga menyentuh aspek budaya dalam penggunaan deodoran. Meskipun secara genetik tidak membutuhkan deodoran, 78 persen orang dengan gen ABCC11 tetap menggunakannya karena faktor norma sosial. Di sisi lain, ada 5% yang memiliki bau badan tetapi memilih tidak menggunakan deodoran, menunjukkan bahwa budaya punya pengaruh yang kuat dalam perilaku kebersihan personal.

“Tiga perempat dari mereka yang tidak memiliki bau ketiak secara rutin menggunakan deodoran karena mengikuti norma sosial budaya. Hal ini kontras dengan masyarakat Asia Timur Laut yang tidak perlu menggunakan deodoran dan mereka memang tidak membutuhkannya,” ungkap Prof. Ian Day, penulis utama studi tersebut.

Salah satu indikator mudah untuk mendeteksi keberadaan gen ABCC11 adalah dengan melihat jenis kotoran telinga. Mereka yang memiliki kotoran telinga kering umumnya juga memiliki gen ini dan tidak mengalami bau badan, menjadikan hal ini sebagai cara sederhana untuk memahami kondisi biologis seseorang tanpa perlu tes laboratorium.

Lebih jauh, temuan ini juga membuka pintu pemanfaatan genetika dalam dunia produk personal care. Menurut Dr. Rodriguez, “Tes gen sederhana dapat memperkuat kesadaran diri dan menghindari pembelian yang tidak perlu serta paparan bahan kimia bagi yang tidak memiliki bau ketiak.”

Implikasinya sangat relevan dalam konteks keberlanjutan dan efisiensi penggunaan produk kebersihan pribadi. Tidak hanya bisa mengurangi konsumsi produk yang tidak diperlukan, masyarakat juga dapat lebih sadar akan paparan zat kimia dalam produk perawatan tubuh seperti deodoran.

Kembali ke konteks Korea Selatan, gaya hidup masyarakatnya yang sering kali diasosiasikan dengan kebersihan dan estetika tinggi ternyata juga didukung oleh kondisi biologis yang unik. Hal ini tentu menjadi faktor yang membuat penggunaan deodoran bukan bagian dari kebiasaan harian.

Jadi, jika Anda bertanya-tanya mengapa teman Korea Anda tak pernah terlihat repot mencari deodoran, jawabannya bukan semata-mata karena mereka rajin mandi atau menggunakan parfum mahal. Jawabannya justru lebih dalam: mereka memang tidak bau badan karena DNA mereka tidak memproduksi senyawa penyebab bau ketiak.

Fenomena ini tentu menarik dalam diskusi lebih luas tentang bagaimana genetika memengaruhi kebiasaan konsumsi manusia, dan bagaimana industri kecantikan dan personal care dapat merespons dengan lebih personal dan berbasis data. Apakah ke depan akan ada lini produk yang dibuat berdasarkan genotipe pengguna? Bukan tidak mungkin.

Terkini

Cwie Mie: Kuliner Legendaris Malang

Jumat, 08 Agustus 2025 | 16:30:12 WIB

Olahraga Rutin untuk Kebugaran

Jumat, 08 Agustus 2025 | 16:35:30 WIB

Kebangkitan Voli Putri Indonesia

Jumat, 08 Agustus 2025 | 16:41:44 WIB

Fashion Emas yang Memancarkan Kepercayaan

Jumat, 08 Agustus 2025 | 16:55:40 WIB

Transportasi Umum Gratis untuk 15 Golongan di Jakarta

Jumat, 08 Agustus 2025 | 16:58:41 WIB