JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan signifikan pada sektor pembiayaan properti nasional, khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam laporan terbaru yang dirilis OJK, KPR menyumbang sebesar 10,16 persen terhadap total kredit nasional. Data ini menegaskan pentingnya sektor properti, terutama pembiayaan perumahan, dalam struktur perbankan nasional dan peran strategisnya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Peningkatan porsi KPR terhadap total kredit nasional ini menjadi indikator kuat bahwa kebutuhan akan hunian tetap menjadi prioritas utama masyarakat, di tengah tekanan ekonomi global maupun domestik. Pemerintah dan regulator pun terus mendorong pertumbuhan sektor perumahan sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi pascapandemi serta program pembangunan berkelanjutan.
Dominasi KPR Tipe 22 hingga 70 Meter Persegi
Dalam penjelasan resminya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa segmen kredit terbesar berasal dari rumah tipe 22 hingga 70 meter persegi, dengan kontribusi sebesar 60,27 persen dari total kredit KPR. Sementara itu, rumah dengan tipe di atas 70 meter persegi menyumbang sebesar 28,96 persen.
“Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadikan rumah tipe kecil hingga menengah sebagai pilihan utama. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terhadap tempat tinggal tetap menjadi faktor dominan dalam pembiayaan,” ujar Dian Ediana Rae dalam pernyataan tertulisnya.
Menurutnya, dominasi KPR tipe 22–70 tidak terlepas dari berbagai program subsidi pemerintah, seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar dapat memiliki rumah layak huni. Dukungan ini juga diperkuat dengan ketersediaan produk perbankan yang semakin kompetitif dan inovatif.
KPR sebagai Pendorong Pertumbuhan Kredit Konsumtif
Kredit Pemilikan Rumah telah lama menjadi salah satu pilar utama dalam portofolio kredit konsumtif perbankan. Selain memberikan kontribusi signifikan terhadap total kredit nasional, sektor ini juga berperan besar dalam menggerakkan sektor riil lainnya, seperti industri bahan bangunan, properti, konstruksi, dan peralatan rumah tangga.
Secara makro, pertumbuhan KPR berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan strategi pemerintah dalam menyediakan perumahan yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan.
Dian Ediana Rae menambahkan bahwa pembiayaan sektor perumahan perlu dijaga agar tetap sehat, inklusif, dan tidak memicu pembentukan gelembung aset (property bubble). “Kita perlu memastikan bahwa pertumbuhan KPR tidak disertai dengan risiko kredit macet yang tinggi, apalagi mengingat sebagian besar KPR dikucurkan kepada masyarakat menengah ke bawah,” jelasnya.
Tren dan Tantangan Pembiayaan Perumahan
Meskipun secara umum menunjukkan pertumbuhan positif, pembiayaan KPR di Indonesia tetap menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah keterjangkauan harga rumah bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Kenaikan harga tanah dan bahan bangunan, ditambah biaya-biaya lain seperti BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), membuat rumah semakin sulit diakses tanpa dukungan pembiayaan yang memadai.
Tak hanya itu, tantangan juga datang dari sisi regulasi dan penyediaan lahan yang terbatas di kawasan perkotaan. Situasi ini mendorong masyarakat untuk mencari hunian di kawasan penyangga atau pinggiran kota, yang pada akhirnya menuntut pengembangan infrastruktur transportasi dan konektivitas antarwilayah.
OJK mencermati dinamika ini dan telah melakukan sejumlah langkah strategis guna mendukung pertumbuhan pembiayaan perumahan. Salah satunya adalah mendorong digitalisasi layanan kredit, penyederhanaan proses pengajuan, serta peningkatan kapasitas perbankan dalam melakukan analisa risiko berbasis teknologi.
Perbankan Nasional Diimbau Tetap Selektif
Menghadapi dinamika pertumbuhan KPR yang cukup tinggi, OJK juga mengingatkan institusi perbankan untuk tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Meskipun permintaan KPR tinggi, pihak perbankan diminta untuk melakukan penilaian kredit secara ketat guna meminimalisasi risiko gagal bayar (NPL).
“Prinsip kehati-hatian tetap harus menjadi prioritas utama dalam pemberian kredit, termasuk KPR. Bank wajib memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan pembayaran yang memadai dan tidak terdampak oleh fluktuasi ekonomi secara berlebihan,” tegas Dian Ediana Rae.
Sejalan dengan itu, OJK akan terus melakukan pengawasan aktif terhadap kualitas aset perbankan dan mendorong peningkatan standar manajemen risiko, terutama di segmen kredit konsumtif.
Harapan terhadap Dukungan Pemerintah dan Swasta
Demi mendukung target pemenuhan kebutuhan 11,4 juta unit rumah pada 2025 sesuai proyeksi pemerintah, diperlukan sinergi yang kuat antara sektor keuangan, pemerintah pusat dan daerah, serta pelaku industri properti. Insentif perpajakan, kemudahan perizinan, dan inovasi produk pembiayaan perlu ditingkatkan untuk menjawab kebutuhan yang terus tumbuh.
“Penyediaan hunian yang layak dan terjangkau adalah tanggung jawab bersama. Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan agar pertumbuhan pembiayaan KPR dapat menjadi instrumen pemerataan pembangunan yang efektif,” pungkas Dian.
Pertumbuhan porsi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga 10,16 persen dari total kredit nasional menunjukkan bahwa sektor perumahan masih menjadi salah satu prioritas utama masyarakat Indonesia dan sektor perbankan. Dominasi rumah tipe 22–70 dalam portofolio KPR mencerminkan tingginya permintaan dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang masih membutuhkan dukungan pembiayaan untuk memiliki rumah pertama mereka.
Dengan pengawasan ketat dari OJK dan dukungan program pemerintah, diharapkan sektor ini tidak hanya tumbuh secara kuantitas, tetapi juga berkualitas dan berkelanjutan. Sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri, dan pemerintah menjadi kunci utama dalam menjamin keberlangsungan pembiayaan perumahan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.