Industri

Industri Tekstil Optimistis Regulasi Baru akan Perkuat UMKM Pakaian Jadi

Industri Tekstil Optimistis Regulasi Baru akan Perkuat UMKM Pakaian Jadi
Industri Tekstil Optimistis Regulasi Baru akan Perkuat UMKM Pakaian Jadi

JAKARTA — Pelaku industri tekstil nasional mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan revisi aturan terkait tata kelola impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Hal ini dinilai sangat mendesak untuk melindungi keberlangsungan industri pakaian jadi di Indonesia, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman serius yang kini membayangi pelaku industri dalam negeri. Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menegaskan bahwa tanpa adanya perlindungan yang kuat melalui regulasi yang tepat, ribuan pelaku industri tekstil berpotensi mengalami kebangkrutan.

“Kami terus mendorong agar Kementerian Perdagangan segera menerbitkan revisi aturan tata niaga impor, karena semakin lama tertunda, semakin besar pula risiko kehancuran yang harus dihadapi industri dalam negeri,” ujar Jemmy.

Saat ini, API menantikan pengesahan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur tentang kebijakan dan pengendalian impor TPT. Jemmy menilai proses revisi yang berjalan lambat akan memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan usaha, terutama bagi industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

“Banyak pelaku industri tekstil lokal yang saat ini berada di ambang kehancuran akibat membanjirnya produk impor yang masuk ke pasar domestik. Sementara itu, pengawasan terhadap impor ilegal masih sangat lemah,” ungkap Jemmy.

Menurutnya, percepatan revisi Permendag 8/2024 harus menjadi prioritas utama pemerintah, bukan hanya untuk menciptakan kepastian iklim usaha, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam melindungi potensi lapangan kerja yang terdampak.

“Kita bicara soal ketahanan industri nasional. Kalau sampai perusahaan-perusahaan ini kolaps, maka imbasnya bukan hanya ke pelaku usaha, tapi juga menyangkut jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini,” tegas Jemmy.

Ancaman Baru dari Kebijakan Reciprocal Tariff

Ancaman bagi industri tekstil Indonesia semakin kompleks menyusul kebijakan reciprocal tariff atau tarif balasan yang diterapkan Amerika Serikat terhadap produk asal China dan beberapa negara lainnya. Kebijakan tersebut membuat Indonesia berpotensi menjadi pasar tujuan utama bagi masuknya produk tekstil murah dari negara-negara tersebut.

“Dengan kebijakan tarif balasan dari AS terhadap China, barang-barang produksi China yang sebelumnya masuk ke pasar Amerika kini akan diarahkan ke negara lain, termasuk Indonesia. Ini ancaman nyata yang harus diantisipasi,” jelas Jemmy.

Data yang dihimpun API menunjukkan bahwa pada tahun 2023, China merupakan negara eksportir pakaian terbesar ke Amerika Serikat dengan nilai ekspor mencapai 16,4 miliar dolar AS atau menguasai 20,7 persen pangsa pasar. Di posisi kedua ada Vietnam dengan ekspor senilai 15,5 miliar dolar AS atau 19,6 persen.

Indonesia sendiri hanya berkontribusi 6,4 persen terhadap ekspor pakaian ke AS, atau senilai 5,1 miliar dolar AS. Bahkan, Indonesia tertinggal dari India yang mencatatkan pangsa pasar sebesar 6,2 persen atau senilai 4,9 miliar dolar AS.

“Kita melihat ada gap yang cukup besar dalam performa ekspor Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing utama. Karena itu, menjaga pasar domestik adalah langkah paling realistis untuk menopang industri dalam situasi global yang tidak pasti,” imbuhnya.

Pasar Domestik Harus Jadi Bantalan Industri

API menilai bahwa menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor adalah strategi penting untuk menjaga stabilitas sektor industri tekstil, terutama ketika kondisi ekspor global tengah mengalami pelemahan.

“Pasar domestik harus menjadi bantalan (buffer) bagi sektor ekspor. Jangan sampai ketika pasar global melemah, kita tidak memiliki penyangga yang cukup untuk menahan guncangan di dalam negeri,” terang Jemmy.

Menurut Jemmy, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan regulasi tata kelola impor berjalan adil, disertai dengan peningkatan pengawasan di lapangan agar barang-barang impor ilegal tidak leluasa membanjiri pasar.

“Melindungi pasar dalam negeri bukan berarti proteksionisme semata. Ini adalah langkah realistis agar industri kita bisa bertahan menghadapi tekanan global, terutama karena industri tekstil merupakan sektor padat karya yang berkontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.

Jemmy menegaskan bahwa sektor industri tekstil memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, terutama karena kontribusinya terhadap devisa negara serta penciptaan lapangan kerja di berbagai daerah.

“Industri tekstil kita bukan sekadar penghasil barang. Ini adalah salah satu fondasi utama ekonomi nasional, terutama di daerah-daerah industri seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian wilayah Sumatera,” tegasnya.

Apresiasi untuk Langkah Menteri Perdagangan

Meski proses revisi masih berjalan, API memberikan apresiasi terhadap langkah Menteri Perdagangan Budi Santoso yang telah berupaya mempercepat penyelesaian revisi Permendag 8/2024. Jemmy menilai komitmen Mendag Budi Santoso perlu didukung semua pihak agar proses pengesahan aturan tersebut bisa segera rampung.

“Kami sangat mengapresiasi upaya Pak Menteri untuk menyelesaikan revisi aturan ini. Namun kami berharap agar prosesnya bisa lebih cepat, mengingat dampaknya sangat krusial bagi keberlangsungan industri,” ujar Jemmy.

Selain itu, Jemmy juga mengingatkan bahwa lambatnya pengesahan regulasi dapat berdampak sistemik terhadap stabilitas sosial. Jika banyak perusahaan tekstil terpaksa gulung tikar, maka akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sulit dihindari.

“Kalau aturan ini tidak segera keluar, jangan kaget kalau nanti akan muncul PHK massal. Ini bukan ancaman, tapi realitas yang harus kita cegah bersama-sama,” tandasnya.

Industri Tekstil Masih Punya Potensi Besar

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, Jemmy meyakini bahwa industri tekstil nasional masih memiliki potensi pertumbuhan yang besar, terutama jika didukung oleh kebijakan yang berpihak pada industri lokal dan penguatan kualitas produk.

“Kami tidak minta perlakuan istimewa. Yang kami inginkan adalah kebijakan yang adil dan perlindungan yang wajar agar kami bisa bersaing sehat, baik di pasar domestik maupun internasional,” pungkas Jemmy.

Dengan regulasi yang tepat, pengawasan yang ketat, dan dukungan dari seluruh elemen pemerintah, industri tekstil Indonesia diyakini mampu bangkit dan menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index