JAKARTA - Fenomena unik terjadi di Provinsi Aceh. Alih-alih menggunakan penerbangan domestik, masyarakat Aceh justru banyak memilih rute internasional menuju Malaysia untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Hal ini dipicu tingginya harga tiket domestik dari Aceh ke ibu kota, membuat penerbangan internasional menjadi alternatif lebih ekonomis bagi sebagian warga.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Tasdik Ilhamudin, menuturkan bahwa pada Mei 2025 jumlah penumpang penerbangan internasional dari Aceh melonjak 18,4 persen dibandingkan April 2025. Kenaikan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin mengandalkan penerbangan internasional untuk berbagai keperluan. “Kenaikan jumlah penumpang penerbangan tujuan internasional yakni Malaysia bisa disebabkan masyarakat Aceh berobat ke Malaysia dan berlibur ke negeri jiran bersama keluarga,” kata Tasdik di Banda Aceh.
Selain itu, ia menambahkan, banyak warga Aceh yang menggunakan Malaysia sebagai bandara transit untuk menekan biaya perjalanan ke kota-kota lain, termasuk Jakarta. “Artinya, harga tiket dari Aceh ke Jakarta dan sebaliknya mahal sehingga (masyarakat) memilih penerbangan internasional untuk menghemat pengeluaran, karena harganya lebih murah,” jelasnya.
Berdasarkan data BPS Aceh, pada Mei 2025 tercatat 14.115 penumpang berangkat dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Blang Bintang, Aceh Besar, menuju tujuan internasional. Jumlah ini bukan hanya meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi juga melonjak drastis sebesar 75 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024.
Namun, di sisi lain, jumlah penumpang internasional yang datang ke Aceh melalui bandara yang sama justru menurun. Tasdik mengungkapkan, pada Mei 2025 jumlah kedatangan penumpang internasional ke Aceh turun 20 persen dibandingkan April 2025. Penurunan ini menunjukkan bahwa arus penumpang ke luar Aceh lebih besar dibanding arus masuknya.
Fenomena tersebut kontras dengan tren penumpang domestik di Aceh. Masih berdasarkan data BPS, jumlah penumpang domestik yang berangkat melalui bandara di Provinsi Aceh pada Mei 2025 tercatat hanya 20.197 orang, turun 22,05 persen dibandingkan April 2025 yang mencapai 25.910 orang. Penurunan ini memperkuat dugaan bahwa biaya tiket domestik yang mahal menjadi salah satu penyebab beralihnya masyarakat ke jalur internasional.
Dari total penumpang domestik, Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda mendominasi dengan jumlah keberangkatan terbanyak, yakni 18.994 penumpang. Disusul Bandara Lasikin dengan 555 penumpang, dan Bandara Malikussaleh sebanyak 203 penumpang. Ketimpangan ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar pergerakan penumpang di Aceh terpusat di satu bandara utama.
Menyikapi kondisi ini, Tasdik menilai pentingnya upaya untuk menurunkan harga tiket domestik sebagai salah satu langkah strategis mendongkrak kunjungan ke Aceh. “Salah satu upaya meningkatkan jumlah pengguna transportasi udara ke Aceh untuk domestik adalah tersedianya tiket terjangkau sehingga akan banyak masyarakat yang datang ke provinsi ujung paling barat Indonesia itu,” paparnya.
Menurut para pengamat transportasi, tingginya tarif domestik ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan jumlah penerbangan langsung dari Aceh ke Jakarta atau kota besar lain, serta biaya operasional maskapai yang belum efisien. Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya maskapai yang melayani rute Aceh-Jakarta secara langsung, sehingga harga tiket cenderung stabil di level tinggi.
Selain itu, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap sektor pariwisata dan ekonomi lokal di Aceh. Tingginya biaya transportasi udara domestik bisa berdampak negatif pada kunjungan wisatawan nusantara, yang justru potensial meningkatkan pendapatan daerah. Jika tren ini terus berlanjut, Aceh dikhawatirkan akan semakin bergantung pada kunjungan wisatawan asing, sementara pergerakan domestik yang mendukung ekonomi UMKM lokal berpotensi stagnan.
Dari perspektif masyarakat, fenomena ini juga mencerminkan kebutuhan akan solusi transportasi yang lebih terjangkau dan efisien. Pilihan menggunakan penerbangan internasional ke Malaysia sebagai rute transit bukan hanya soal penghematan biaya, tetapi juga menunjukkan celah dalam konektivitas domestik yang seharusnya lebih mudah diakses.
Bagi pemerintah, fenomena ini menjadi alarm penting untuk segera meninjau kebijakan penerbangan domestik, termasuk memperbanyak frekuensi penerbangan, membuka rute baru langsung ke kota-kota besar, dan menurunkan harga tiket pesawat agar pergerakan masyarakat lebih efisien dan ekonomi daerah bisa terdorong.
Selain mendorong maskapai untuk menghadirkan tiket terjangkau, pemerintah juga bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk memberikan subsidi penerbangan tertentu yang dinilai strategis bagi pemerataan pembangunan daerah. Upaya ini bukan hanya mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh, tetapi juga memperkuat integrasi nasional.