JAKARTA - Saat sebagian besar penduduk dunia bisa menikmati tidur malam yang tenang, tidak demikian halnya dengan warga di Pulau Akuseki, Jepang. Dalam dua minggu terakhir, mereka hidup dalam kecemasan terus-menerus akibat guncangan gempa yang terjadi hingga seribu kali. Desa kecil yang hanya dihuni oleh 89 jiwa ini menjadi saksi bagaimana alam bisa menguji batas ketahanan manusia.
Akuseki adalah salah satu dari Kepulauan Tokara di Prefektur Kagoshima, Jepang bagian selatan. Letaknya yang berada di atas zona tektonik aktif menjadikannya rentan terhadap aktivitas seismik. Namun, apa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir melampaui kebiasaan. Lebih dari 1.000 kali gempa telah tercatat dalam kurun dua pekan — sebagian besar berskala kecil, namun cukup terasa dan memengaruhi kehidupan harian warga.
“Kami tidak bisa tidur nyenyak. Setiap beberapa jam, rumah terasa bergetar,” keluh salah seorang penduduk lansia kepada NHK. “Kami sudah terbiasa dengan gempa, tapi ini benar-benar melelahkan.”
Seismograf Tak Pernah Hening
Menurut data dari Badan Meteorologi Jepang (JMA), gempa-gempa tersebut memiliki magnitudo bervariasi, dari sekitar 1,5 hingga 4,5 dalam skala Richter. Meski sebagian besar tidak tergolong merusak, frekuensinya yang tinggi menjadi masalah tersendiri. Aparat lokal dan tim geologi menyebut fenomena ini sebagai “swarms” atau gempa beruntun non-tektonik yang belum mengindikasikan pergeseran lempeng besar, tetapi bisa berbahaya bila terus berlanjut.
“Fenomena swarm earthquake seperti ini biasanya terjadi karena aktivitas magma atau tekanan tektonik yang belum dilepaskan,” ujar salah satu peneliti dari Earthquake Research Institute, Universitas Tokyo.
Dampak Psikologis: Warga Akuseki Lelah dan Tertekan
Meskipun tidak ada kerusakan besar atau korban jiwa, efek psikologis dari gempa yang terus-menerus jauh lebih terasa. Gangguan tidur, stres, dan ketakutan terhadap gempa yang lebih besar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga. Tidak sedikit yang memilih tidur di ruang terbuka atau menyiapkan tas darurat di samping tempat tidur mereka.
“Ini seperti menunggu sesuatu yang tidak diketahui. Rasanya setiap saat akan datang gempa besar,” ucap warga lainnya yang sudah tiga malam berturut-turut tidak bisa tidur nyenyak.
Sekolah dan aktivitas umum pun ikut terganggu. Anak-anak menjadi lebih rewel, sementara orang dewasa terus memantau berita dan peringatan dini dari otoritas setempat.
Tanggap Darurat dan Upaya Pemerintah
Pemerintah Prefektur Kagoshima telah mengirimkan tim bantuan untuk mengevaluasi kondisi infrastruktur serta memberikan pendampingan psikologis kepada warga. Meskipun belum ada evakuasi massal yang dilakukan, sejumlah warga memilih meninggalkan Akuseki sementara waktu dan menetap di pulau terdekat.
Badan Penanggulangan Bencana Jepang juga menyiagakan jalur transportasi darurat jika gempa berlanjut atau memburuk. Sementara itu, JMA terus memantau pergerakan seismik di kawasan tersebut dengan harapan bisa mendeteksi potensi ancaman lebih awal.
“Kami memahami kelelahan yang dialami masyarakat. Namun, kami imbau tetap tenang dan mengikuti arahan resmi dari pemerintah,” ujar pejabat dari kantor JMA wilayah selatan.
Risiko Bencana Masih Membayangi
Sejumlah ahli geologi menyoroti bahwa Jepang berada dalam salah satu kawasan paling aktif secara seismik di dunia. Tiga lempeng tektonik — Pasifik, Filipina, dan Eurasia — bertemu di kawasan ini, membuat wilayah seperti Akuseki sangat rentan.
Meski demikian, tak semua aktivitas gempa menjadi awal dari gempa besar. Banyak dari rangkaian swarms justru berhenti dengan sendirinya tanpa menghasilkan gempa utama. Namun, kemungkinan skenario terburuk tetap tidak dapat diabaikan.
“Dalam sejarah Jepang, beberapa kali terjadi gempa besar yang diawali oleh aktivitas swarm seperti ini. Oleh karena itu, pemantauan harus dilakukan secara kontinu,” ujar Dr. Kenji Hasegawa dari Japan Earthquake Center.
Harapan dan Ketahanan Komunitas
Di tengah kekhawatiran, warga Akuseki mencoba untuk saling menguatkan. Saling berbagi makanan, informasi, dan dukungan menjadi bagian penting dari rutinitas harian. Pemerintah lokal juga mendirikan posko informasi serta menyediakan layanan konseling untuk menekan stres di tengah ketidakpastian ini.
“Kami kecil, tapi kami kuat,” kata kepala desa dengan nada yakin. “Gempa mungkin datang, tapi semangat kami tidak akan runtuh.”
Semangat gotong royong ini menjadi fondasi utama bagi masyarakat untuk terus bertahan, bahkan saat bumi di bawah kaki mereka terus berguncang.
Kisah warga Akuseki adalah pengingat kuat akan bagaimana manusia berusaha beradaptasi dengan alam. Di tengah 1.000 kali guncangan yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, warga tetap bertahan dengan tekad dan solidaritas. Pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat sipil pun bersatu untuk menghadapi ketidakpastian dengan kesiapan dan kewaspadaan tinggi.
Gempa mungkin tak bisa dicegah, tetapi bagaimana manusia meresponsnya — itulah yang menentukan sejauh mana ketangguhan sebuah komunitas menghadapi bencana.