JAKARTA - Upaya Indonesia dalam mengembangkan kendaraan listrik nasional kini menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal penyelarasan regulasi antar lembaga pemerintah. Meski komitmen politik sudah tampak jelas, langkah-langkah teknis di lapangan dinilai masih terhambat oleh kerumitan perizinan dan ketidaksinergian kebijakan lintas kementerian. Di saat yang sama, keberhasilan Vietnam dalam meluncurkan dan mengekspor mobil listrik nasional melalui merek VinFast memberikan pelajaran penting yang seharusnya bisa menjadi referensi nyata.
Keberhasilan Vietnam bukan datang secara tiba-tiba. Negara tersebut mampu menciptakan mobil listrik yang bukan hanya diterima di dalam negeri, tetapi juga berhasil menembus pasar internasional, termasuk Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi arah kebijakan pemerintah Vietnam yang secara menyeluruh mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik.
Presiden Prabowo Subianto pun menyatakan harapannya agar Indonesia bisa mengikuti jejak Vietnam. Menurutnya, percepatan pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) adalah salah satu fokus utama transformasi industri otomotif nasional. Keinginan ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya adaptasi terhadap perubahan global dan peluang besar yang bisa diraih dalam era transisi energi.
Namun, di balik semangat tersebut, tantangan mendasar justru muncul dari dalam negeri. Menurut Prof. Evvy Kartini, Founder National Battery Research Institute, proses pengembangan industri mobil listrik Indonesia belum fokus dan kerap terhambat oleh sistem birokrasi yang rumit. Ia menegaskan bahwa keberhasilan Vietnam merupakan hasil dari fokus yang tuntas, terutama dalam penyelesaian sektor hulu (upstream) sebelum masuk ke hilir.
“Pertama kalau mengerjakan sesuatu, harus fokus sampai selesai, di upstream selesaikan dulu. Tentu saja semua itu tergantung kebijakan pemerintah,” ujar Prof. Evvy saat berbicara di Jakarta.
Ia menekankan bahwa dalam membangun industri besar seperti kendaraan listrik, diperlukan keberlanjutan regulasi dan kepastian kebijakan. Jika aturan sering berubah-ubah, para investor akan ragu dan pembangunan infrastruktur menjadi lambat. Berbeda dengan Vietnam yang sudah menerapkan pendekatan terpadu, Indonesia justru menghadapi kendala akibat banyaknya lembaga yang mengeluarkan aturan masing-masing.
"Kita terlalu banyak aturan yang dikeluarkan setiap kementerian. Jadi kalau tadi saya sampaikan tentang tambang, upstream, kementeriannya ESDM dan BKPM. Tetapi ketika bikin pabrik baterai, Kemenperin, izinnya beda lagi," jelasnya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih harus melakukan reformasi dalam hal tata kelola regulasi, agar setiap lini pembangunan KBLBB tidak terhambat oleh ego sektoral antar kementerian. Perlu adanya badan koordinasi yang kuat untuk menyatukan seluruh kepentingan, mempercepat perizinan, dan memastikan bahwa seluruh proses berjalan secara efisien.
Dari sisi sumber daya, Indonesia sejatinya memiliki keunggulan karena menjadi salah satu penghasil nikel terbesar di dunia, bahan utama baterai kendaraan listrik. Namun, keunggulan ini tidak akan berarti banyak jika proses hilirisasi dan pembangunan industrinya terganjal oleh prosedur administrasi yang tumpang tindih.
Presiden Prabowo sendiri memberikan sinyal kuat untuk mendorong percepatan sektor ini. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan pentingnya inovasi dan transformasi energi menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Peran kendaraan listrik menjadi sangat penting dalam konteks ini, mengingat tekanan global untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Belajar dari Vietnam, komitmen politik harus dibarengi dengan aksi konkret dan sinergi antarsektor. Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan industri kendaraan listrik, dengan memberikan kepastian hukum, dukungan fiskal, serta mempermudah birokrasi.
Di sisi lain, keterlibatan sektor swasta dan akademisi juga harus diperkuat. Kolaborasi antara lembaga penelitian seperti National Battery Research Institute dengan pelaku industri dapat menghasilkan inovasi yang mendorong daya saing nasional.
Ke depan, tantangan terbesar Indonesia bukan hanya soal teknologi atau investasi, melainkan keberanian untuk menyatukan visi lintas lembaga dalam satu garis kebijakan yang konsisten. Ketika semua pihak dapat berjalan dalam satu arah, peluang Indonesia untuk menciptakan merek mobil listrik nasional yang kompetitif di pasar global akan semakin terbuka.
Dengan sumber daya yang melimpah, pasar domestik yang besar, dan komitmen politik yang mulai terbangun, seharusnya Indonesia bisa mengejar dan bahkan melampaui capaian negara-negara seperti Vietnam. Namun, semua itu hanya bisa dicapai jika reformasi regulasi benar-benar dilakukan secara menyeluruh, dan tidak lagi mengandalkan pendekatan sektoral yang terpisah-pisah.