BURSA

Bursa China Melemah di Tengah Reli Pasar Asia

Bursa China Melemah di Tengah Reli Pasar Asia
Bursa China Melemah di Tengah Reli Pasar Asia

JAKARTA - Sementara mayoritas bursa saham di kawasan Asia menunjukkan penguatan dalam perdagangan terbaru, performa pasar China justru bergerak berlawanan arah. Kondisi ini menjadi perhatian tersendiri bagi investor yang tengah mencari arah pasar di tengah dinamika kebijakan perdagangan dan rilis data ekonomi dari berbagai negara.

Kenaikan indeks di sejumlah negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan mencerminkan optimisme yang mulai kembali tumbuh, terutama karena perkembangan terbaru dari kebijakan tarif Amerika Serikat yang sedikit meredakan kekhawatiran. Namun, bursa saham China, baik indeks Shanghai Composite maupun CSI 300, tercatat mengalami penurunan.

Sentimen global yang sebagian besar positif tidak mampu mengangkat pasar saham Negeri Tirai Bambu. Hal ini berkaitan erat dengan reaksi pasar terhadap data ekonomi domestik China yang dianggap masih menunjukkan pemulihan yang rapuh dan tidak cukup meyakinkan pelaku pasar untuk kembali agresif melakukan akumulasi.

Indeks Hang Seng di Hong Kong mengalami penurunan sebesar 1,06% ke level 23.892,32. Di pasar saham daratan utama, indeks CSI 300 melemah tipis 0,18% ke posisi 3.991,40, sementara Shanghai Composite turun 0,13% ke angka 3.493,05. Berbeda dengan kondisi di China, pasar Jepang mencatatkan kinerja positif. Indeks Nikkei 225 naik sebesar 0,33% menjadi 39.821,28 dan Topix menguat 0,43% ke 2.828,16. Sementara itu, indeks Kospi di Korea Selatan naik 0,60% ke posisi 3.133,74 dan Kosdaq meningkat 0,78% ke 790,36.

Kinerja positif di pasar Jepang dan Korea Selatan terjadi di tengah ekspektasi investor yang memperkirakan tidak akan ada perubahan besar terkait kebijakan tarif dari Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump menyampaikan pernyataan yang relatif menenangkan pasar global dengan menegaskan bahwa tidak akan ada revisi atau perpanjangan kebijakan tarif terhadap negara-negara mitra. Meski demikian, Trump menekankan bahwa tenggat waktu tarif resiprokal tetap pada 1 Agustus, sebuah pernyataan yang menunjukkan sikap tegas dalam mengatur ulang perdagangan internasional secara bilateral.

Sikap ini memberi ruang gerak sementara bagi pelaku pasar Asia untuk bernafas lega. Namun, euforia tersebut tidak merembet ke pasar China, yang tetap dibayangi oleh kekhawatiran atas kondisi ekonomi domestik mereka.

Data ekonomi yang dirilis dari Beijing menunjukkan harga konsumen naik tipis 0,1 persen secara tahunan (year on year). Meski angka ini menandai hasil positif pertama dalam lima bulan terakhir dan menjadi sinyal awal bahwa permintaan mulai stabil, pasar saham tetap bereaksi negatif. Investor tampaknya belum cukup yakin bahwa pemulihan yang terjadi akan berlanjut dalam waktu dekat.

Sinyal lemah dalam data inflasi konsumen menunjukkan bahwa sektor konsumsi rumah tangga di China masih lesu. Dalam ekonomi dengan orientasi pertumbuhan domestik yang mulai digalakkan oleh pemerintah, lemahnya daya beli konsumen menjadi hambatan besar bagi stabilisasi pertumbuhan jangka panjang.

Hal ini menjadi perhatian khusus karena salah satu strategi utama pemerintah China dalam menghadapi tekanan eksternal adalah memperkuat pasar dalam negeri. Bila permintaan domestik belum menunjukkan pemulihan yang solid, maka ekspektasi pasar terhadap kinerja emiten juga akan cenderung melemah.

Reaksi pasar yang tidak antusias terhadap kenaikan harga konsumen ini menjadi bukti bahwa para investor masih menilai bahwa kebijakan moneter dan fiskal yang diterapkan belum cukup untuk memberikan dampak signifikan pada aktivitas ekonomi.

Di sisi lain, kekhawatiran juga muncul dari sektor properti dan keuangan, yang selama ini menjadi penggerak utama pertumbuhan di China. Keterbatasan stimulus dan belum pulihnya kepercayaan konsumen membuat pasar menahan diri untuk terlalu agresif masuk ke aset-aset berisiko tinggi.

Kondisi ini kontras dengan suasana di Jepang dan Korea Selatan, yang tampaknya lebih tanggap terhadap isu eksternal, seperti kebijakan perdagangan Amerika Serikat, daripada pada kelemahan struktural dalam negeri. Hal ini menjelaskan mengapa pergerakan indeks di kedua negara tersebut relatif stabil dan menguat.

Selain itu, investor juga menaruh perhatian pada perkembangan sektor kendaraan listrik (EV), terutama setelah adanya diskusi bahwa harga diskon yang diberikan produsen mobil listrik China bisa berdampak terhadap pasar kendaraan listrik bekas. Ini menjadi pertimbangan penting karena sektor EV menjadi salah satu motor pertumbuhan industri masa depan yang sangat diperhatikan oleh pelaku pasar.

Meski saat ini tekanan terhadap pasar China lebih banyak berasal dari faktor fundamental domestik, pelaku pasar global tetap akan memantau bagaimana Beijing akan merespons tantangan ini. Apakah akan ada tambahan stimulus, pelonggaran kebijakan moneter, atau strategi fiskal baru, semuanya menjadi faktor yang bisa mengubah arah pasar dalam beberapa pekan mendatang.

Secara keseluruhan, perbedaan performa antara bursa China dan negara Asia lainnya mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi di kawasan ini masih belum merata. Dinamika kebijakan perdagangan dan data ekonomi masih menjadi dua pilar utama yang menggerakkan pasar, dengan pelaku pasar secara selektif memilih aset berdasarkan proyeksi pemulihan ekonomi masing-masing negara.

Dalam waktu dekat, fokus utama investor masih tertuju pada rilis data lanjutan dari China dan respons pemerintah terhadap situasi ekonomi. Jika kebijakan yang diambil mampu membangkitkan kepercayaan pasar, bukan tidak mungkin bursa China bisa kembali menguat dan menyusul tren positif di kawasan Asia lainnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index