Bank

Strategi Diam-Diam Bank Sentral Hadapi Gejolak Global

Strategi Diam-Diam Bank Sentral Hadapi Gejolak Global
Strategi Diam-Diam Bank Sentral Hadapi Gejolak Global

JAKARTA - Dalam kancah kebijakan moneter global, pendekatan konvensional kerap kali diwarnai oleh aturan-aturan tidak tertulis yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu yang paling dikenal luas adalah kecenderungan bank sentral untuk menyesuaikan suku bunga dalam kenaikan atau penurunan bertahap, umumnya sebesar 25 basis poin. Meski tak tertulis dalam dokumen resmi, aturan semacam ini seolah menjadi norma di kalangan pengambil kebijakan moneter global.

James Smith, dalam analisanya, menyoroti bahwa langkah bertahap ini terkadang sulit dipahami secara logis, apalagi dalam konteks ekonomi modern yang dinamis dan penuh tantangan. Pertanyaan pun muncul: apakah pendekatan bertahap ini masih relevan? Haruskah Bank Sentral Eropa (ECB) segera memangkas suku bunga? Dan apakah The Fed dan Bank of England (BoE) harus mempercepat langkah mereka?

Smith menarik analogi dengan budaya Inggris yang sarat aturan tak tertulis. Seperti larangan kontak mata di kereta bawah tanah London atau keharusan meminta maaf bahkan ketika bukan pihak yang bersalah, kebijakan suku bunga pun tampaknya mengikuti pola serupa: tidak tertulis, namun ditaati dengan ketat.

Dalam hal ini, dunia moneter tidak berbeda. Gagasan bahwa penyesuaian suku bunga harus dilakukan dalam potongan kecil menjadi semacam konsensus diam-diam. Namun di era saat ini, ketika hipotek jarang menggunakan suku bunga mengambang dan perusahaan lebih banyak melakukan lindung nilai, pendekatan tradisional ini tampaknya kehilangan relevansinya.

Pengalaman tahun 2022 menjadi ilustrasi nyata. Saat itu, terjadi siklus kenaikan suku bunga paling agresif dalam beberapa dekade. Namun, dampaknya terhadap rata-rata suku bunga hipotek AS yang belum lunas hanya naik sekitar 0,7 poin persentase dari level terendah selama pandemi. Ini terjadi meski suku bunga hipotek baru untuk jangka waktu 30 tahun melonjak drastis dari 3% ke hampir 8%.

Smith menyebut bahwa kebijakan moneter saat ini terasa seperti mengendalikan kapal tanker minyak berat dan lamban dalam merespons perubahan. Akibatnya, bank sentral menghadapi risiko besar tertinggal dari dinamika pasar. Jika penyesuaian memang perlu dilakukan, maka langkah cepat dan tegas dapat menjadi strategi yang lebih tepat ketimbang kebijakan bertahap yang penuh kehati-hatian.

Fenomena ini bukan hal baru, namun menjadi kunci penting dalam membaca arah kebijakan bank sentral sepanjang paruh kedua tahun ini. Dalam hal ini, BoE menjadi salah satu contoh menarik. Di satu sisi, para pejabat seperti Kepala Ekonom Huw Pill menunjukkan keraguan akan perlunya pemangkasan suku bunga. Di sisi lain, terdapat desakan kuat dari kalangan dovish untuk menurunkan suku bunga hingga 50 basis poin. Hasilnya? BoE memilih jalan tengah dengan pemangkasan 25 basis poin secara bertahap, meski terkesan sebagai kompromi yang tidak memuaskan kedua kubu.

Meski ada data inflasi yang cukup tinggi baru-baru ini, revisi naik terhadap angka penggajian di bulan Mei memberikan sedikit ruang bernapas bagi BoE. Namun dengan menurunnya jumlah tenaga kerja selama tujuh dari delapan bulan terakhir, tekanan untuk melakukan pemangkasan lebih lanjut di bulan Agustus semakin menguat.

Situasi The Fed tidak kalah rumit. Kekhawatiran terhadap lonjakan inflasi musim panas membuat para pejabat bank sentral AS berhati-hati. Meski angka CPI inti menunjukkan pelonggaran tekanan harga, kewaspadaan terhadap inflasi yang menetap tetap tinggi.

James Knightley dari ING New York memperkirakan bahwa pemangkasan pertama oleh The Fed baru akan dilakukan pada bulan Desember, namun bisa langsung sebesar 50 basis poin. Langkah ini sejatinya tidak asing, karena The Fed pernah mengambil keputusan serupa pada bulan September tahun sebelumnya.

Sementara itu, ECB tampak lebih mendekati ujung siklus pelonggarannya. Suku bunga acuan sudah berada pada level netral tidak terlalu ketat dan tidak pula longgar. Meskipun begitu, bukan berarti siklus pelonggaran telah usai. Carsten Brzeski, Kepala Ekonom Makro Global, menulis bahwa masih ada ruang bagi penurunan suku bunga lebih lanjut.

Kondisi Eropa saat ini juga memperkuat argumen tersebut. Sentimen bisnis dan konsumen menurun, dan indikator PMI yang akan dirilis minggu depan diperkirakan tidak akan menggembirakan. Kendati demikian, sebagian besar analis tidak memperkirakan ECB akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat, apalagi menjelang 1 Agustus ketika ada potensi tarif baru dari AS.

Lebih jauh lagi, langkah fiskal Jerman akan menjadi faktor penting. Bagaimana dampaknya terhadap inflasi dan aktivitas ekonomi di kawasan euro akan menjadi perhatian utama ECB. Apakah tekanan akan memaksa ECB untuk bertindak lebih cepat dari ekspektasi pasar? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung dan menjadi fokus diskusi para pengamat dan pelaku pasar.

Di luar zona utama, wilayah seperti Polandia, Hongaria, dan Azerbaijan juga menghadapi dinamika yang serupa. Di Polandia, sektor manufaktur masih lesu akibat stagnasi di pasar ekspor Uni Eropa. Sementara itu, Hongaria belum menunjukkan sinyal untuk pelonggaran suku bunga meskipun ada tekanan inflasi. Azerbaijan sendiri diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Bank-bank sentral di seluruh dunia kini tidak hanya berhadapan dengan data ekonomi yang terus berubah, tetapi juga tekanan geopolitik, ketidakpastian fiskal, dan respons pasar global. Dalam situasi seperti ini, aturan-aturan tak tertulis yang dahulu menjadi pedoman kini perlu dievaluasi kembali.

Dunia perbankan sentral telah memasuki fase baru lebih kompleks, lebih cepat, dan penuh pertaruhan. Maka, berpikir ke depan dan menyesuaikan pendekatan adalah keharusan, bukan pilihan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index