JAKARTA — Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada awal pekan ini diperkirakan masih dibayangi potensi koreksi lanjutan. Sejumlah analis menilai tekanan terhadap IHSG belum mereda, meski ada sejumlah katalis positif dari global maupun domestik yang dapat menjadi penopang pasar.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melemah tipis 0,14% pada level 6.897,40 pada periode perdagangan 23—26 Juni 2025. Penurunan tersebut sejalan dengan pelemahan rata-rata nilai transaksi harian yang turun 12,35% menjadi Rp13,15 triliun dibandingkan pekan sebelumnya yang masih di kisaran Rp15 triliun.
“Rata-rata frekuensi harian bursa selama sepekan ini turut mengalami penurunan sebesar 8,68%,” ungkap P.H. Sekretaris Perusahaan BEI Aulia Noviana Utami Putri.
Penurunan juga tercermin pada rata-rata volume transaksi harian yang berkurang 9,30% menjadi 22,13 miliar saham dari 24,41 miliar saham pada periode sebelumnya. Dari sisi kapitalisasi pasar, terjadi penurunan tipis 0,01% menjadi Rp12.098 triliun dari pekan sebelumnya yang mencapai Rp12.099 triliun.
Potensi Koreksi IHSG
Pergerakan IHSG saat ini sedang berada dalam fase wave [b] dari wave B, sehingga masih rawan melanjutkan pelemahannya pada perdagangan Senin, 30 Juni 2025 ini.
“Dalam jangka pendek, diperkirakan IHSG akan menguji support di area 6.783-6.813. Namun demikian, investor perlu mewaspadai kemungkinan adanya lanjutan koreksi yang lebih dalam menuju area 6.561-6.721,” tulis MNC Sekuritas.
IHSG diproyeksikan bergerak pada rentang support 6.752 dan 6.632, dengan resistance berada pada level 6.914 dan 6.994.
Rekomendasi Saham Pilihan
Dalam kondisi pasar yang masih cenderung bearish, MNC Sekuritas memberikan rekomendasi buy on weakness untuk saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA), dan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA). Ketiga saham tersebut dinilai memiliki fundamental yang cukup kuat untuk jangka menengah hingga panjang.
Selain itu, MNC Sekuritas juga merekomendasikan speculative buy pada saham PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA), dengan pertimbangan potensi rebound jika pasar mulai pulih.
Katalis Positif dari Luar Negeri
Sementara itu, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyebutkan meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dapat menjadi katalis positif bagi pasar saham domestik pada pekan ini.
“Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengonfirmasi bahwa Iran dan Israel sepakat melakukan gencatan senjata. Ini tentu memberikan sinyal positif bagi pasar yang sebelumnya khawatir akan eskalasi konflik,” ujar Nafan.
Meskipun di detik-detik menjelang gencatan senjata kedua negara sempat saling meluncurkan serangan rudal, kesepakatan damai yang tercapai dinilai cukup untuk menurunkan kekhawatiran investor terhadap risiko geopolitik.
Data Ekonomi AS Jadi Perhatian
Nafan juga menyoroti bahwa data ekonomi Amerika Serikat (AS) masih akan menjadi perhatian utama pelaku pasar. Data Indeks Harga Belanja Konsumsi Pribadi (PCE) AS tercatat naik menjadi 2,3% pada Mei, dibandingkan 2,2% pada April.
“Langkah kebijakan moneter The Fed ke depan juga akan tetap menjadi fokus pasar. Jika inflasi AS tetap tinggi, potensi pengetatan moneter lebih lanjut bisa menekan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia,” jelas Nafan.
Selain PCE, pelaku pasar juga menanti perilisan data nonfarm payroll AS yang dijadwalkan pekan ini. Data ini kerap menjadi indikator penting bagi kebijakan moneter The Fed.
Sentimen Domestik Masih Kondusif
Dari dalam negeri, inflasi Indonesia diperkirakan masih berada dalam tren stabil. Hal ini menjadi katalis positif bagi pasar karena menunjukkan fundamental ekonomi yang cukup terjaga.
Selain itu, kondisi makroekonomi Indonesia yang tetap solid juga memberikan optimisme bahwa pasar saham nasional memiliki peluang untuk rebound, terutama jika didukung oleh sentimen eksternal yang membaik.
Perang Dagang AS-China Kembali Jadi Sorotan
Di sisi lain, tarik-ulur kesepakatan tarif antara AS dan China masih menjadi perhatian pasar global. Ketidakpastian arah kebijakan kedua negara adidaya tersebut dinilai dapat menimbulkan volatilitas tambahan pada pasar saham dunia, termasuk Indonesia.
“Investor tetap harus mencermati perkembangan negosiasi dagang AS-China karena bisa berdampak langsung pada arus modal ke emerging market,” tambah Nafan.
Secara keseluruhan, IHSG diproyeksikan masih akan bergerak fluktuatif dengan kecenderungan melanjutkan koreksi dalam jangka pendek. Investor disarankan untuk tetap berhati-hati dan mempertimbangkan strategi buy on weakness pada saham-saham dengan fundamental kuat yang direkomendasikan analis.
Katalis positif seperti meredanya konflik Timur Tengah, stabilnya inflasi domestik, serta potensi data ekonomi AS yang sesuai ekspektasi pasar bisa menjadi momentum bagi IHSG untuk kembali menguat. Namun, investor tetap perlu waspada terhadap sentimen global yang dapat berubah cepat, khususnya terkait kebijakan moneter The Fed dan hubungan dagang AS-China.