Sri Mulyani Beberkan Tekanan Terberat Rupiah Terjadi pada Masa Pemerintahan Jokowi

Rabu, 02 Juli 2025 | 10:00:42 WIB
Sri Mulyani Beberkan Tekanan Terberat Rupiah Terjadi pada Masa Pemerintahan Jokowi

JAKARTA - Kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pelemahan terdalam rupiah terjadi pada pertengahan 2024. Ia menyatakan bahwa tekanan tersebut terjadi saat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada Juni 2024, ketika rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam sebuah forum resmi yang membahas kondisi fiskal dan makroekonomi Indonesia sepanjang tahun politik. Ia menyoroti bagaimana gejolak global, tekanan pasar keuangan internasional, serta faktor domestik berkontribusi terhadap depresiasi rupiah yang cukup signifikan di periode tersebut.

Rupiah Melemah hingga Rp16.000 per Dolar AS pada Awal Tahun

Sri Mulyani menyebutkan bahwa pada awal tahun 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat rata-rata menyentuh Rp16.000 per dolar. Angka ini menjadi salah satu yang tertinggi dalam sejarah fluktuasi rupiah dalam satu dekade terakhir, sekaligus menunjukkan betapa beratnya tekanan ekonomi yang dihadapi Indonesia menjelang transisi pemerintahan.

"Kalau kita lihat nilai tukar rupiah, maka memang titik terendah atau depresiasi paling dalam itu terjadi pada bulan Juni 2024. Itu adalah masa ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo masih berlangsung," kata Sri Mulyani.

Meskipun posisi itu sempat membaik menjelang akhir tahun 2024, kondisi nilai tukar tetap menjadi salah satu indikator ekonomi yang mencerminkan tekanan besar terhadap makroekonomi nasional, terutama di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.

Dampak Gejolak Global dan Ketegangan Politik Internasional

Menurut Sri Mulyani, tekanan terhadap rupiah pada 2024 tidak sepenuhnya berasal dari dalam negeri. Ia menjelaskan bahwa lingkungan global memberikan kontribusi signifikan terhadap pergerakan nilai tukar, termasuk ketegangan geopolitik, suku bunga tinggi di Amerika Serikat, dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang memengaruhi arus modal global.

“Saat suku bunga The Fed tetap tinggi dan terjadi ketidakpastian di pasar global, kita menghadapi capital outflow. Ini yang membuat tekanan terhadap rupiah semakin kuat, termasuk pada bulan Juni lalu,” ungkapnya.

Situasi ini, kata Sri Mulyani, memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk bekerja lebih keras dalam menjaga stabilitas makroekonomi nasional. Ia menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga kepercayaan pasar dan mendorong ketahanan fiskal di tengah ketidakpastian tersebut.

Peran BI dan Pemerintah dalam Menahan Tekanan Rupiah

Pemerintah bersama Bank Indonesia, menurut Sri Mulyani, telah melakukan koordinasi erat untuk mengantisipasi dampak pelemahan rupiah, baik terhadap inflasi maupun daya beli masyarakat. Langkah-langkah stabilisasi dilakukan melalui intervensi di pasar valuta asing, kebijakan moneter yang hati-hati, serta dorongan terhadap ekspor untuk meningkatkan devisa negara.

"Kita berusaha menjaga daya beli masyarakat, memastikan inflasi terkendali, dan melakukan bauran kebijakan fiskal-moneter yang responsif. Ini penting agar depresiasi nilai tukar tidak menjalar menjadi ketidakstabilan yang lebih luas," ucapnya.

Dalam kondisi seperti itu, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya menjaga cadangan devisa dan mendorong sektor-sektor berorientasi ekspor agar Indonesia tidak terlalu rentan terhadap tekanan eksternal.

Momentum Politik Jadi Salah Satu Faktor Sensitif

Tidak bisa dipungkiri, tahun 2024 adalah tahun politik yang penuh dinamika di Indonesia. Pemilu Presiden dan pergantian pemerintahan menjadi faktor tambahan yang turut memengaruhi sentimen pasar terhadap Indonesia. Sri Mulyani menilai bahwa ketidakpastian politik yang biasa terjadi menjelang pemilu juga ikut berperan dalam membuat investor lebih berhati-hati.

“Investor akan wait and see. Mereka menunggu arah kebijakan pemerintahan selanjutnya. Jadi bukan hal yang aneh jika volatilitas meningkat di periode transisi seperti ini,” ujar Sri Mulyani.

Namun ia meyakinkan bahwa meskipun terdapat fluktuasi, fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Defisit fiskal terjaga, inflasi berada dalam kendali, dan pertumbuhan ekonomi tetap positif.

Dampak pada Sektor Riil dan Respons Pelaku Usaha

Pelemahan rupiah tentu saja memberikan dampak langsung kepada sektor riil, terutama bagi perusahaan yang tergantung pada bahan baku impor. Namun di sisi lain, pelaku ekspor juga memperoleh keuntungan dari nilai tukar yang melemah.

Kalangan pengusaha, terutama dari sektor manufaktur dan perdagangan, menyatakan bahwa volatilitas nilai tukar memang menjadi tantangan tersendiri. Namun banyak dari mereka yang telah melakukan strategi lindung nilai (hedging) atau diversifikasi pasar untuk meminimalkan risiko.

“Kami berharap pemerintah dapat menjaga stabilitas nilai tukar ke depan. Bagi pelaku usaha, kepastian jauh lebih penting daripada sekadar kurs tinggi atau rendah,” kata seorang pengusaha di sektor tekstil yang enggan disebutkan namanya.

Sri Mulyani: Perlu Konsistensi dan Reformasi Berkelanjutan

Mengakhiri pernyataannya, Sri Mulyani menegaskan pentingnya reformasi struktural dan konsistensi kebijakan agar ekonomi Indonesia tidak mudah goyah ketika menghadapi guncangan global. Ia menggarisbawahi bahwa ke depan, Indonesia harus terus memperkuat sektor industri dalam negeri dan memperluas basis penerimaan negara agar ketergantungan terhadap modal asing dapat dikurangi.

“Kita tidak bisa hanya bergantung pada faktor eksternal. Reformasi di dalam negeri—mulai dari perpajakan, birokrasi, hingga sistem keuangan—harus terus kita perkuat,” tegasnya.

Terkini

Perumahan Murah Merauke, Solusi untuk MBR

Kamis, 03 Juli 2025 | 09:02:08 WIB

Travel Umroh Surabaya Dukung Wajib Vaksin Jamaah

Kamis, 03 Juli 2025 | 10:03:37 WIB

Dokter Ingatkan Bahaya Antibiotik Tanpa Resep

Kamis, 03 Juli 2025 | 11:04:09 WIB

Olahraga Padel: Sejarah dan Cara Main yang Seru

Kamis, 03 Juli 2025 | 12:05:26 WIB