Regulasi Panas Bumi Direvisi: Skema Lelang hingga Insentif Diperbarui

Jumat, 04 Juli 2025 | 08:10:51 WIB
Regulasi Panas Bumi Direvisi: Skema Lelang hingga Insentif Diperbarui

JAKARTA - Dalam rangka mempercepat transisi menuju energi bersih dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, pemerintah Indonesia menilai perlu adanya penyegaran regulasi yang lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan di lapangan. Salah satu langkah konkret yang kini tengah digodok adalah revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang panas bumi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini aktif mengkaji ulang beleid tersebut sebagai upaya strategis untuk memperkuat ekosistem pengembangan energi panas bumi di tanah air. Revisi ini dinilai mendesak, mengingat potensi energi panas bumi Indonesia yang melimpah masih belum terutilisasi secara optimal akibat berbagai kendala teknis, regulatif, maupun komersial.

“Revisi PP tersebut akan mencakup beberapa poin penting, mulai dari perubahan skema pelelangan hingga pemberian insentif fiskal dan non-fiskal,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, saat menyampaikan keterangan di Jakarta, Kamis.

Memaksimalkan Potensi 23,7 GW Energi Panas Bumi

Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, Indonesia memiliki cadangan panas bumi mencapai lebih dari 23.700 megawatt (MW). Namun, kapasitas terpasang panas bumi hingga 2024 baru mencapai sekitar 2.400 MW, atau hanya sekitar 10% dari total potensi nasional.

Keterlambatan dalam pengembangan sektor ini disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari risiko eksplorasi yang tinggi, keterbatasan insentif ekonomi, hingga proses perizinan yang berbelit-belit. Dengan latar belakang tersebut, revisi regulasi diharapkan mampu membuka jalan bagi peningkatan investasi dan percepatan pengembangan panas bumi secara signifikan.

“Dengan potensi sebesar itu, kalau kita tidak segera membuat terobosan dalam regulasi, maka pemanfaatannya akan terus tertinggal. Padahal kita sedang mendorong bauran energi terbarukan nasional,” tegas Eniya.

Penyempurnaan Skema Lelang Wilayah Kerja

Salah satu substansi penting dalam revisi PP Nomor 7/2017 adalah perbaikan skema pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Dalam aturan yang berlaku saat ini, mekanisme lelang dinilai kurang fleksibel dan tidak memberikan kepastian usaha yang memadai bagi pelaku industri.

Kementerian ESDM berencana menyusun sistem lelang baru yang lebih kompetitif dan efisien, tanpa mengurangi aspek akuntabilitas dan transparansi. Di antaranya adalah penyusunan mekanisme lelang dua tahap, serta pemberian opsi penugasan langsung kepada BUMN tertentu di wilayah dengan risiko tinggi namun prospektif secara geologi.

Dengan perubahan ini, diharapkan minat investor—baik dalam negeri maupun asing—dapat meningkat, khususnya untuk wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang diminati karena ketidakpastian teknis dan keekonomian.

Insentif Fiskal dan Non-Fiskal Jadi Kunci Daya Tarik

Selain skema lelang, revisi PP juga akan mencakup penambahan insentif fiskal dan non-fiskal. Pemerintah menyadari bahwa proyek panas bumi memerlukan investasi awal yang besar, terutama pada tahap eksplorasi yang memiliki risiko tinggi dan hasil yang tidak selalu pasti.

“Kami ingin mendorong dukungan fiskal seperti tax holiday, tax allowance, serta fasilitas bea masuk dan PPN ditanggung pemerintah. Selain itu, akan ada insentif non-fiskal seperti percepatan perizinan dan jaminan kelistrikan,” papar Eniya.

Dengan adanya insentif tersebut, diharapkan biaya modal pengembangan panas bumi bisa ditekan, sehingga tarif listrik dari pembangkit panas bumi (PLTP) dapat lebih kompetitif di pasar energi.

Peran Panas Bumi dalam Bauran Energi 23%

Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun, realisasi saat ini baru mencapai sekitar 13–14%. Agar target tersebut dapat dicapai, pengembangan energi panas bumi—sebagai sumber energi yang bersih, stabil, dan berkelanjutan—harus mendapat perhatian lebih besar.

Tidak seperti tenaga surya atau angin yang intermiten (tergantung cuaca), panas bumi mampu menghasilkan listrik secara kontinyu (base load). Hal ini membuat panas bumi sangat cocok sebagai substitusi energi batu bara di sistem kelistrikan nasional.

“Oleh karena itu, dalam peta jalan energi nasional, panas bumi memiliki posisi penting sebagai tulang punggung transisi energi,” ujar Eniya.

Tantangan di Lapangan: Sosial, Lingkungan, dan Tata Ruang

Kendati potensi dan teknologinya semakin siap, pengembangan panas bumi masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Di beberapa daerah, pengembangan WKP terhambat oleh penolakan masyarakat karena kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial.

Tak jarang, lokasi WKP juga berada di kawasan hutan lindung atau taman nasional, yang memerlukan sinkronisasi lintas kementerian dan lembaga untuk bisa ditindaklanjuti. Dalam revisi PP nanti, pemerintah akan mencantumkan skema mitigasi sosial dan lingkungan secara lebih rinci, termasuk skema perizinan lintas sektor.

Kementerian ESDM juga menegaskan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat, agar proyek panas bumi tidak menimbulkan konflik sosial atau penolakan berkepanjangan.

“Semua pihak, termasuk pemerintah daerah, harus berperan aktif dalam memberikan edukasi dan pendampingan agar masyarakat paham manfaat dan mekanisme proyek panas bumi,” jelas Eniya.

Sinkronisasi dengan UU Energi Baru dan Terbarukan

Revisi PP Nomor 7 Tahun 2017 ini juga disiapkan untuk sejalan dengan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang tengah dibahas di DPR. Kementerian ESDM menargetkan seluruh regulasi turunan dapat saling menopang dalam mendorong pengembangan energi bersih secara berkesinambungan.

Dengan sinkronisasi ini, pemerintah berharap dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif, memperluas penetrasi panas bumi di sistem kelistrikan nasional, serta memperkuat komitmen Indonesia dalam agenda dekarbonisasi global.

Penutup: Revisi Regulasi Jadi Momentum Bangkitkan Energi Panas Bumi

Upaya pemerintah merevisi PP Nomor 7 Tahun 2017 menandai komitmen serius untuk menjadikan panas bumi sebagai bagian integral dari peta jalan transisi energi nasional. Dengan skema lelang yang lebih adil, insentif yang lebih menarik, dan penguatan aspek sosial-lingkungan, sektor panas bumi diharapkan tidak lagi berjalan tertatih-tatih, tetapi melaju sebagai motor utama energi hijau Indonesia.

“Semua pihak harus bersinergi. Kami dari regulator sudah menyiapkan fondasinya, tinggal bagaimana pelaku usaha dan masyarakat turut mendorong agar panas bumi bisa berkembang cepat, aman, dan berkelanjutan,” tutup Eniya.

Terkini