JAKARTA - Pembangunan infrastruktur di Indonesia kerap menjadi simbol pencapaian pemerintahan. Dalam dua dekade terakhir, proyek-proyek strategis berskala nasional menjadi prioritas utama, tidak hanya untuk menghubungkan wilayah, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Jika menilik kembali pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), proyek jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera menjadi dua dari sekian proyek besar yang paling banyak disorot publik.
Proyek jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera bahkan menjadi ikon pembangunan infrastruktur pada masa itu. Dengan klaim sebagai upaya mempercepat konektivitas antarwilayah, proyek ini dipromosikan sebagai solusi untuk menekan biaya logistik, mempercepat distribusi barang dan jasa, serta meningkatkan daya saing nasional. Pemerintah Jokowi menargetkan pembangunan ribuan kilometer jalan tol baru, dan sebagian besar dari target tersebut memang berhasil terealisasi, meski tidak sedikit pula ruas yang masih belum rampung hingga kini.
Pembangunan jalan tol Trans Jawa, misalnya, telah menghubungkan sejumlah kota besar dari Merak hingga Surabaya. Namun, masih terdapat ruas yang belum sepenuhnya tersambung atau memerlukan pengembangan tambahan, seperti akses ke daerah-daerah pinggiran atau koneksi antar-pelabuhan. Di sisi lain, proyek Trans Sumatera juga telah memulai konektivitas di Pulau Sumatera, meski progresnya berlangsung secara bertahap dan menghadapi tantangan pembebasan lahan, pendanaan, dan kontur geografis yang menantang.
Namun, narasi tentang pembangunan infrastruktur sebenarnya sudah dimulai sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah satu gagasan besar yang sempat digulirkan pada masa pemerintahannya adalah rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Gagasan ini sempat menyedot perhatian publik dan menjadi topik hangat dalam diskursus kebijakan nasional.
Jembatan Selat Sunda dirancang sebagai penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera, membentang sepanjang lebih dari 30 kilometer. Proyek ini digadang-gadang akan menjadi salah satu jembatan terpanjang di dunia, dengan nilai strategis yang luar biasa tinggi dalam membangun konektivitas nasional. Jika berhasil terwujud, jembatan ini akan membawa dampak besar terhadap pergerakan manusia, barang, dan jasa di dua pulau terbesar di Indonesia.
Sayangnya, Jembatan Selat Sunda tidak pernah melewati tahap wacana dan studi kelayakan. Berbagai kendala teknis dan non-teknis menghambat realisasinya. Mulai dari pertimbangan geoteknik dan seismik karena daerah Selat Sunda merupakan zona rawan gempa dan letusan gunung api, hingga persoalan biaya proyek yang diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah. Belum lagi soal perizinan, kebijakan lintas kementerian, dan prioritas pembangunan nasional yang berubah-ubah seiring waktu.
Pada akhirnya, proyek JSS menguap begitu saja, tergantikan oleh fokus pembangunan tol darat yang dianggap lebih realistis dan lebih cepat memberikan dampak ekonomi secara langsung. Namun, gagasan besar dari masa lalu ini masih menjadi topik diskusi di kalangan akademisi, arsitek, dan perencana wilayah, terutama ketika membahas bagaimana Indonesia seharusnya merancang konektivitas antar-pulau yang efisien di masa depan.
Dari perjalanan dua era pemerintahan ini—SBY dan Jokowi—tercermin perbedaan pendekatan dalam membangun infrastruktur. Presiden SBY dikenal dengan sejumlah rencana jangka panjang dan konsep ambisius seperti JSS, sedangkan Presiden Jokowi memilih pendekatan yang lebih pragmatis dengan mengeksekusi proyek-proyek yang memiliki urgensi tinggi dan bisa segera dirasakan manfaatnya.
Meski demikian, kedua pendekatan tersebut menyimpan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan di masa depan. Perencanaan jangka panjang tetap dibutuhkan untuk menjaga arah pembangunan nasional, sementara eksekusi cepat dan tepat juga penting untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara langsung.
Yang menarik, wacana infrastruktur tidak pernah sepi dari kritik. Sebagian pihak menilai proyek jalan tol hanya dinikmati oleh kalangan tertentu, terutama karena sifatnya berbayar dan belum semua wilayah tersentuh. Sementara proyek seperti Jembatan Selat Sunda dianggap terlalu mewah dan belum menjadi prioritas di tengah kebutuhan dasar masyarakat yang masih banyak belum terpenuhi.
Pemerintahan Prabowo Subianto yang baru saja menjabat di tahun 2024 mewarisi berbagai tantangan dan capaian dari dua pemerintahan sebelumnya. Ambisi membangun infrastruktur tetap digaungkan, termasuk rencana pembangunan 3 juta rumah dan proyek konektivitas nasional. Namun, ke depan, akan dibutuhkan keseimbangan antara ide besar dan realisasi konkret, antara impian jangka panjang dan manfaat jangka pendek.
Dari sudut pandang strategis, pembangunan infrastruktur sejatinya tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus terintegrasi dengan perencanaan tata ruang, pengembangan kawasan industri, pertanian, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus. Tanpa integrasi tersebut, infrastruktur hanya akan menjadi proyek fisik tanpa dampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
Mengamati jejak sejarah pembangunan dari masa ke masa, satu hal yang pasti adalah pentingnya kesinambungan kebijakan. Baik Trans Jawa, Trans Sumatera, maupun Jembatan Selat Sunda—semuanya menunjukkan bahwa pembangunan adalah proses panjang yang membutuhkan visi, strategi, dan eksekusi yang saling melengkapi.
Sehingga, ketika hari ini kita melintasi jalan tol Trans Jawa atau melihat peta rencana jalan tol Trans Sumatera, kita tidak hanya sedang menilai capaian teknis pemerintah. Kita sedang menyaksikan bagaimana ide-ide kepemimpinan berubah menjadi warisan fisik, yang akan terus mempengaruhi kehidupan jutaan orang di masa depan—dan mungkin, suatu hari nanti, Jembatan Selat Sunda pun akan kembali masuk ke dalam agenda strategis bangsa ini.