JAKARTA - Langkah nyata dalam menghadirkan harga sembako yang terjangkau kini mulai terlihat di sejumlah desa di Provinsi Riau. Program Koperasi Merah Putih yang diluncurkan pemerintah pusat mulai membuahkan hasil, terutama dalam memperpendek rantai distribusi kebutuhan pokok yang selama ini dianggap sebagai penyebab utama mahalnya harga di tingkat konsumen.
Gubernur Riau, Abdul Wahid, menilai keberadaan koperasi ini sangat membantu masyarakat dalam mengakses harga sembako yang lebih murah. Ia mengatakan, pemangkasan rantai distribusi dari distributor langsung ke koperasi desa telah memberikan dampak signifikan terhadap harga jual di lapangan.
“Kebijakan Bapak Presiden melalui Koperasi Merah Putih ini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat. Rantai pasok jadi lebih pendek, dari distributor langsung ke koperasi desa. Hasilnya, harga jadi lebih murah,” ujarnya.
Sebagai contoh konkret, Wahid menyebut harga gas LPG ukuran 3 kilogram yang biasa dijual Rp24.000 di pasaran, kini dapat ditekan menjadi sekitar Rp22.000 melalui koperasi desa. Selain gas LPG, beberapa bahan pokok lainnya seperti beras, minyak goreng, dan gula juga tersedia dengan harga di bawah rata-rata harga eceran umum.
Menurut Wahid, selisih harga meski terkesan kecil, sangat berarti bagi masyarakat kecil, terutama mereka yang hidup di wilayah desa. “Selisih Rp2.000 itu sangat berarti bagi masyarakat kecil. Kalau belanja untuk kebutuhan satu minggu atau sebulan, tentu dampaknya besar bagi pengeluaran rumah tangga,” jelasnya.
Pemerintah Provinsi Riau menyambut baik program ini dan terus mendorong optimalisasi peran koperasi sebagai penyangga harga dan pelindung daya beli masyarakat. Ia menekankan bahwa koperasi bukan sekadar tempat jual beli, melainkan juga bisa menjadi alat stabilisasi harga komoditas di daerah.
Dalam catatan terbaru, sebanyak 1.861 Koperasi Merah Putih telah resmi terbentuk dan beroperasi di berbagai kabupaten dan kota di Riau. Koperasi-koperasi ini tidak hanya bergerak di sektor penyediaan bahan pokok, tetapi juga dilengkapi dengan layanan keuangan seperti tarik tunai, setor tunai, transfer, pembayaran tagihan, hingga pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Pemerintah provinsi pun menjamin pendampingan koperasi ini tidak akan berhenti di tahap peluncuran saja. Pelatihan manajemen, bantuan peralatan, serta pendampingan teknis disiapkan agar koperasi mampu berkembang sebagai pilar ekonomi di tingkat desa.
“Yang penting itu keberlanjutan. Jangan hanya aktif di awal. Koperasi ini dibangun atas asas kekeluargaan dan keterbukaan, jadi pengurus dan anggota harus jaga kepercayaan masyarakat,” ujar Wahid.
Dalam konteks pengendalian harga, Wahid berharap peran koperasi desa bisa menjadi salah satu solusi permanen dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Terlebih, selama ini masyarakat pedesaan seringkali kesulitan memperoleh harga yang wajar karena panjangnya jalur distribusi.
“Dengan jumlah koperasi yang sudah terbentuk ini, kami berharap harga komoditas bisa lebih stabil. Kalau harga stabil, inflasi juga bisa dikendalikan. Itu akan sangat membantu perekonomian masyarakat,” tambah Wahid.
Sejalan dengan target nasional, koperasi ini dirancang untuk beroperasi di tingkat desa dan kelurahan. Tidak hanya menjual sembako dengan harga terjangkau, tetapi juga membentuk ekosistem ekonomi kerakyatan yang inklusif, efisien, dan tahan terhadap tekanan pasar.
Model koperasi seperti ini juga dianggap efektif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat desa terhadap pedagang besar atau pasar tradisional yang tidak selalu memberikan harga kompetitif. Selain itu, kehadiran koperasi memperkuat kapasitas desa dalam hal perencanaan ekonomi dan perlindungan sosial.
Dari sisi implementasi, koperasi-koperasi yang tergabung dalam jaringan Merah Putih mendapatkan pasokan langsung dari distributor utama yang telah bekerja sama dengan pemerintah. Dengan memangkas beberapa lapis perantara, harga beli bahan pokok bisa ditekan, dan koperasi tetap bisa memperoleh margin keuntungan wajar tanpa membebani konsumen.
Keberadaan koperasi juga turut mendorong semangat gotong royong dan partisipasi warga. Pengelolaan koperasi dilakukan secara transparan oleh pengurus yang dipilih dari masyarakat itu sendiri. Dengan sistem ini, kepercayaan dan loyalitas anggota semakin terbangun, dan kegiatan usaha koperasi bisa lebih berkelanjutan.
Pemerintah provinsi meyakini bahwa jika model ini berhasil dijalankan secara konsisten, maka dalam jangka panjang akan tercipta kestabilan harga yang berdampak langsung pada penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.
Selain Riau, program Koperasi Merah Putih juga terus berkembang di sejumlah daerah lain. Beberapa provinsi seperti Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan melaporkan perkembangan positif dari pelaksanaan program ini.
Dari sisi nasional, pemerintah menargetkan pembentukan hingga 80.000 koperasi desa sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan dan ekonomi rakyat. Cita-cita ini diharapkan mampu menciptakan pemerataan ekonomi hingga ke pelosok, serta mengurangi ketimpangan antara daerah dan kota.
Dengan semangat kolektivitas dan pengelolaan yang profesional, koperasi desa kini menjelma sebagai salah satu instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi masyarakat bawah. Di Riau, harapan terhadap koperasi bukan hanya sekadar penyedia barang murah, tetapi juga penentu arah pembangunan ekonomi desa ke depan.