JAKARTA - Kemajuan teknologi digital telah menandai babak baru dalam lanskap pendidikan tinggi global. Transformasi ini bukan hanya soal mengadopsi perangkat canggih atau sistem daring, melainkan sebuah revolusi menyeluruh dalam cara belajar, mengajar, dan mengelola pendidikan. Teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Virtual Reality (VR), hingga blockchain kini menjadi penggerak utama dalam mendorong inovasi di sektor pendidikan tinggi. Namun, terlepas dari potensinya yang besar, tantangan struktural dan kesenjangan akses menjadi batu sandungan yang tidak bisa diabaikan.
Di tengah transformasi ini, suara para akademisi pun menguat, menyerukan perlunya pendekatan yang lebih strategis, inklusif, dan terencana dalam mengintegrasikan teknologi ke dunia pendidikan. Salah satunya disampaikan oleh Prof. Janitha Amarasena, Ph.D., Guru Besar dari Bukhara University, Uzbekistan. Dalam sesi keynote speech-nya di ajang International Conference on Sustainable Innovation (ICoSI) yang digelar oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Janitha menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak dan adaptif dalam proses digitalisasi pendidikan.
“Kita sebagai manusia tidak bisa menolak perkembangan teknologi, termasuk penggunaan AI, yang esensial bahkan dalam sektor pendidikan tinggi. Namun, teknologi hanya akan efektif jika diatur dalam kebijakan yang tepat pada setiap penerapannya. Dengan strategi yang benar, kita dapat menjamin akses teknologi yang adil, pembelajaran yang bermakna, dan inovasi yang berkelanjutan,” ujar Janitha.
Teknologi Sebagai Katalis Pembelajaran Kolaboratif
Dalam pandangannya, Prof. Janitha menggarisbawahi bahwa penggunaan Information and Communication Technology (ICT) secara terarah dapat memberikan dampak besar terhadap kualitas pendidikan. Teknologi mampu mendorong personalisasi pembelajaran, meningkatkan partisipasi mahasiswa, serta mempercepat proses administrasi dan manajemen akademik.
Ia menyebut bahwa pendekatan yang sesuai dengan Constructive Learning Theory bisa menjadi fondasi dalam mendesain model pembelajaran aktif dan kolaboratif di era digital. Konsep ini menempatkan mahasiswa sebagai subjek yang aktif membentuk pengetahuannya, bukan sekadar penerima informasi. Dengan dukungan digital, seperti alat simulasi, perangkat coding, hingga media kolaborasi daring, pembelajaran menjadi lebih imersif dan kontekstual.
Namun, Janitha juga tidak menampik bahwa kehadiran teknologi bukan tanpa konsekuensi. Munculnya tantangan dalam bentuk kesenjangan akses menjadi persoalan besar, khususnya di negara berkembang atau daerah terpencil yang masih terkendala jaringan internet dan perangkat digital. Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi vital untuk menciptakan pemerataan infrastruktur teknologi dan literasi digital.
“Pemerintah perlu menjadi penggerak utama dalam membangun ekosistem pendidikan berbasis teknologi,” tegasnya. Ia menyoroti bahwa pendekatan menyeluruh diperlukan, mulai dari pembangunan infrastruktur digital, pelatihan bagi pendidik, hingga kebijakan etis yang mengatur penggunaan teknologi seperti AI dan big data di lingkungan akademik.
Studi Kasus Uzbekistan: Menuju Ekosistem Digital
Sebagai perwakilan dari Uzbekistan, Janitha memberikan gambaran konkret tentang bagaimana negaranya berupaya mengintegrasikan teknologi ke dalam sistem pendidikan tinggi. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Uzbekistan telah memasukkan digitalisasi pendidikan sebagai bagian dari strategi nasional, seiring dengan pengembangan konsep smart city dan peningkatan literasi digital masyarakat.
Dampaknya mulai terlihat dari peningkatan penetrasi internet di negara tersebut yang cukup signifikan. “Penetrasi internet di Uzbekistan melonjak dari 3,6% pada 2021 menjadi 12,3% dalam tiga tahun,” jelasnya. Capaian ini bukan semata hasil perkembangan teknologi, melainkan buah dari kebijakan publik yang fokus pada pemerataan akses dan penguatan ekosistem digital.
Langkah Uzbekistan ini menjadi contoh nyata bahwa reformasi pendidikan di era digital membutuhkan kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, akademisi, penyedia teknologi, hingga masyarakat pengguna. Semua pihak harus berjalan beriringan, membangun dasar yang kuat agar teknologi benar-benar menjadi pengungkit kemajuan, bukan malah memperlebar kesenjangan.
Pendidikan Masa Kini: Antara Pengetahuan, Sikap, dan Implementasi
Lebih lanjut, Janitha mengingatkan bahwa pendidikan yang berhasil tidak hanya mengandalkan kecanggihan teknologi, tetapi juga harus menyentuh aspek mendalam dalam diri manusia. Ia menyebut bahwa ada tiga elemen utama yang tidak boleh dilewatkan dalam menciptakan sistem pendidikan yang utuh, yaitu pengetahuan, sikap, dan implementasi.
“Pendidikan yang efektif harus mencakup tiga elemen utama, yaitu pengetahuan, sikap, dan implementasi. Tanpa ketiganya, pendidikan tidak akan mampu menciptakan perubahan yang nyata. Teknologi, pada hari ini, diibaratkan sebagai pena dan kertas bagi generasi kita. Maka, perlu dimanfaatkan dengan bijak, dan bersama-sama membangun masa depan pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan,” tutup Janitha.
Pernyataan ini menjadi penegas bahwa teknologi hanyalah alat. Esensinya tetap bergantung pada cara manusia menggunakannya untuk tujuan kemajuan bersama. Pendidikan tinggi di era digital menuntut pendekatan yang menyeluruh bukan sekadar mengadopsi perangkat mutakhir, tetapi juga merancang sistem yang mendukung keberagaman, kolaborasi, dan inovasi berkelanjutan.