JAKARTA - Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, secara tegas menyoroti rencana pemerintah dalam menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada layanan BPJS Kesehatan. Ia menilai kebijakan ini berpotensi merugikan peserta kelas 1 yang selama ini membayar iuran lebih mahal demi mendapatkan fasilitas lebih baik.
Dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR bersama Menteri Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Direktur Utama BPJS Kesehatan, serta perwakilan rumah sakit swasta dan pemerintah, Felly menegaskan bahwa konsep KRIS jangan sampai melunturkan prinsip keadilan berdasarkan kontribusi peserta.
KRIS: Upaya Standarisasi atau Potensi Ketidakadilan?
Penerapan KRIS bertujuan untuk menyederhanakan sistem kelas rawat inap di rumah sakit, dari semula tiga kelas menjadi satu standar. Namun, Felly khawatir kebijakan ini akan menghilangkan perbedaan kualitas layanan yang selama ini diterima oleh peserta kelas 1. "Peserta kelas 1 membayar iuran lebih tinggi dengan harapan mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Jika KRIS diterapkan tanpa mempertimbangkan hal ini, maka akan terjadi ketidakadilan," ujarnya.
Selain itu, Felly juga menyoroti potensi penurunan pendapatan rumah sakit akibat pengurangan jumlah tempat tidur per ruangan. "Jika sebelumnya satu kamar bisa menampung 12 pasien, dengan KRIS menjadi hanya 4 pasien. Hal ini akan mengurangi pendapatan rumah sakit dan berpotensi mempengaruhi kualitas layanan," tambahnya.
Pemerintah Diminta Tunda Implementasi KRIS
Anggota Komisi IX lainnya, Nur Nadlifah, juga meminta pemerintah menunda penerapan KRIS hingga permasalahan internal BPJS Kesehatan diselesaikan. "Carut-marut yang ada di dalam BPJS Kesehatan harus diselesaikan terlebih dahulu. Rakyat harus mendapatkan layanan yang baik untuk urusan kesehatan," tegasnya.
Sementara itu, Yahya Zaini menambahkan bahwa banyak anggota Komisi IX yang keberatan dengan penerapan KRIS. "Bahkan, ada yang meminta untuk dibatalkan. Jika kebijakan KRIS hanya menguntungkan bagi BPJS namun merugikan masyarakat, pemerintah dan DPR dapat merevisi Undang-Undang," ujarnya.
Pemerintah Siapkan Aturan Turunan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa KRIS tidak menghapus kelas BPJS Kesehatan, melainkan menyederhanakan pelayanan di rumah sakit dengan kualitas yang seragam untuk semua layanan. "Jadi itu bukan dihapus, standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat," ujarnya.
Saat ini, pihaknya tengah mempersiapkan peraturan turunan untuk menjadi landasan hukum pemberlakuan KRIS. Ke depannya, semua rumah sakit diharapkan bisa mengimplementasikan layanan tersebut sebelum 30 Juni 2025.
Komisi IX Desak Pemerintah Penuhi Prasyarat KRIS
Komisi IX DPR RI juga mendesak Kementerian Kesehatan, DJSN, dan BPJS Kesehatan untuk memenuhi prasyarat sebelum menerapkan KRIS. Anggota Komisi IX Irma Suryani menekankan pentingnya kesiapan sistem, termasuk tarif yang akan dikenakan kepada peserta. "Yang menjadi masalah utama adalah tarif. Jika hanya ada satu tarif, maka tarif yang di bawah bisa saja naik, yang atas justru turun," ujarnya.
Selain itu, Kurniasih Mufidayati meminta Kemenkes mengkaji komprehensif pelaksanaan program JKN berbasis Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) agar tidak merugikan rakyat. "Kita ingin kajian ini benar-benar final, komprehensif, tidak merugikan sedikitpun rakyat Indonesia dalam haknya untuk mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan," ujarnya.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Penerapan KRIS menghadirkan tantangan besar bagi pemerintah dan BPJS Kesehatan. Kebijakan ini harus mampu menjaga kualitas layanan kesehatan tanpa mengabaikan prinsip keadilan bagi peserta. Komisi IX DPR RI akan terus mengawal implementasi KRIS agar sesuai dengan harapan masyarakat dan tidak merugikan peserta.
Sebagai penutup, Felly Estelita Runtuwene menegaskan bahwa Komisi IX DPR RI berkomitmen untuk memastikan setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang kesehatan benar-benar berpihak pada rakyat. "Kami akan terus mengawasi dan memastikan bahwa setiap kebijakan kesehatan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat," pungkasnya.