TRANSPORTASI

Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali Jadi Cermin Krisis Keselamatan Transportasi

Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali Jadi Cermin Krisis Keselamatan Transportasi
Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali Jadi Cermin Krisis Keselamatan Transportasi

JAKARTA - Insiden tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025, kembali menguak persoalan klasik yang belum terselesaikan dalam dunia transportasi laut Indonesia: keselamatan penyeberangan antarpulau.

Kecelakaan ini bukan sekadar insiden tunggal yang terjadi karena faktor teknis atau cuaca semata, tetapi dinilai sebagai bukti dari perlunya pembenahan menyeluruh terhadap sistem keselamatan pelayaran nasional. Pandangan kritis itu datang dari Pakar transportasi laut dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Setyo Nugroho, yang menggarisbawahi bahwa kejadian semacam ini sebenarnya bisa dicegah jika ada komitmen kuat dari berbagai pihak.

“Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menandai perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem keselamatan transportasi laut di Indonesia, khususnya pada jalur penyeberangan antarpulau,” kata Setyo Nugroho.

Penyeberangan Laut: Jalur Vital yang Terlupakan

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan pulau yang saling terhubung melalui jalur laut. Dalam konteks infrastruktur nasional, jalur penyeberangan laut adalah urat nadi penting yang menghubungkan kehidupan ekonomi, sosial, dan logistik masyarakat.

Namun ironisnya, sektor transportasi laut, terutama penyeberangan antarpulau, seringkali tak mendapat perhatian sebesar transportasi darat dan udara. Investasi terhadap peremajaan armada, pelatihan kru, hingga peningkatan standar keselamatan dinilai masih jauh dari memadai. Padahal, rute seperti Selat Bali merupakan salah satu jalur tersibuk dengan frekuensi penyeberangan harian yang tinggi.

Menurut Setyo Nugroho, tragedi seperti ini tidak boleh dilihat sebagai musibah biasa. Ia menyebut bahwa banyak kapal penyeberangan di Indonesia beroperasi dalam kondisi teknis yang patut dipertanyakan, ditambah sistem pengawasan yang longgar.

Evaluasi Regulasi dan Implementasi di Lapangan

Setyo menyoroti pentingnya mengevaluasi regulasi dan implementasi keselamatan pelayaran, mulai dari perizinan kapal, standar kelayakan laut, sistem navigasi, hingga kapasitas pelatihan awak kapal. Ia menilai banyak operator kapal yang sekadar mematuhi aturan di atas kertas, namun praktik di lapangan sangat minim pengawasan.

“Regulasi kita sebenarnya sudah cukup lengkap. Tapi yang menjadi masalah adalah implementasi dan penegakan. Ada celah di mana pengawasan menjadi lemah, atau bahkan kompromi terhadap aturan terjadi karena alasan ekonomi,” tegasnya.

Dalam kasus KMP Tunu Pratama Jaya, investigasi masih berlangsung. Namun dugaan awal menyebutkan kemungkinan adanya kelebihan muatan dan cuaca buruk sebagai faktor penyebab. Setyo menyebut, faktor-faktor tersebut seharusnya bisa diantisipasi jika sistem pemantauan kondisi kapal dan cuaca dijalankan secara disiplin dan real-time.

Rantai Masalah yang Terus Berulang

Tragedi kapal tenggelam bukan peristiwa langka di perairan Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, tercatat puluhan kasus serupa, baik yang melibatkan kapal kecil maupun kapal penyeberangan skala besar. Polanya pun nyaris sama: kelebihan kapasitas, human error, minimnya prosedur evakuasi, dan buruknya perawatan kapal.

Menurut data dari Ditjen Perhubungan Laut, sebagian besar kecelakaan laut di Indonesia masih disebabkan oleh kelalaian manusia (human error) dan buruknya kondisi teknis kapal. Sementara sistem pelatihan dan sertifikasi untuk awak kapal sering tidak mencerminkan kebutuhan praktis di lapangan.

“Ini bukan semata-mata soal teknologi atau infrastruktur, tapi juga tentang budaya keselamatan (safety culture). Kita harus mengubah pola pikir bahwa keselamatan itu bukan tambahan, tapi keharusan,” ungkap Setyo.

Teknologi Belum Diintegrasikan Secara Optimal

Setyo Nugroho juga menyoroti minimnya penggunaan teknologi untuk mendukung sistem keselamatan pelayaran. Seharusnya, dengan kemajuan teknologi maritim seperti sistem AIS (Automatic Identification System), radar cuaca, dan sistem navigasi satelit, kapal bisa mengetahui secara akurat kondisi laut dan menghindari risiko tabrakan atau karam.

Namun kenyataannya, banyak kapal penyeberangan terutama kelas menengah ke bawah tidak dilengkapi alat-alat tersebut atau jika pun ada, sering tidak difungsikan secara optimal.

“Bayangkan, masih ada kapal penyeberangan yang hanya mengandalkan GPS biasa tanpa sistem komunikasi yang memadai. Ini sangat berisiko, apalagi di jalur yang padat seperti Selat Bali,” tambahnya.

Revisi Paradigma: Keselamatan sebagai Investasi, Bukan Biaya

Di tengah dorongan pemerintah untuk memperkuat konektivitas antarwilayah, Setyo mengingatkan bahwa keselamatan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pelengkap dokumen operasional. Ia mendorong agar pemerintah dan operator kapal melihat pengeluaran untuk keselamatan sebagai investasi jangka panjang.

“Jika kapal tenggelam, bukan hanya nyawa yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap moda transportasi laut. Ini kerugian yang tidak bisa dikalkulasi hanya dengan angka,” ucapnya.

Untuk itu, perlu ada insentif dari pemerintah bagi operator yang konsisten menerapkan standar keselamatan tinggi. Termasuk di dalamnya pembiayaan peremajaan kapal, subsidi pelatihan awak, dan integrasi digitalisasi keselamatan maritim.

Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat

Selain pemerintah pusat, Setyo juga mengajak pemerintah daerah yang memiliki pelabuhan penyeberangan untuk lebih aktif dalam pengawasan. Ia menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam memantau kondisi armada yang beroperasi secara rutin.

“Masyarakat sebenarnya bisa jadi agen pengawasan. Mereka tahu kapal mana yang layak, mana yang sering bermasalah. Tapi kadang mereka tidak punya saluran untuk menyampaikan laporan secara efektif,” jelasnya.

Tragedi yang Harus Jadi Momentum Perubahan

Insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi cermin keras bagi semua pemangku kepentingan transportasi laut. Indonesia tidak bisa terus-menerus menoleransi kecelakaan yang bisa dicegah hanya karena abai terhadap standar keselamatan.

Langkah korektif perlu dilakukan segera, bukan hanya pasca tragedi, tetapi sebagai bagian dari reformasi menyeluruh terhadap sistem transportasi laut nasional.

Sebagaimana disampaikan oleh Setyo Nugroho, perubahan paradigma adalah kunci: bahwa keselamatan bukan beban, melainkan syarat mutlak bagi keberlangsungan transportasi laut yang andal dan manusiawi di negeri maritim seperti Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index