GAS

Distribusi Gas LPG 3 Kg Tersendat, Warga Ketapang Hadapi Kelangkaan hingga Sepekan

Distribusi Gas LPG 3 Kg Tersendat, Warga Ketapang Hadapi Kelangkaan hingga Sepekan
Distribusi Gas LPG 3 Kg Tersendat, Warga Ketapang Hadapi Kelangkaan hingga Sepekan

JAKARTA - Ketergantungan masyarakat terhadap gas LPG 3 kilogram (kg), atau yang akrab disebut gas melon, kembali diuji. Dalam hampir sepekan terakhir, warga Kabupaten Ketapang dan sekitarnya harus menghadapi kelangkaan gas bersubsidi ini akibat pasokan yang tersendat dari pangkalan ke tingkat pengecer.

Kondisi ini menimbulkan keresahan tersendiri, terutama bagi kalangan rumah tangga berpenghasilan rendah dan para pelaku usaha mikro seperti pedagang makanan, yang selama ini mengandalkan gas melon untuk kebutuhan memasak harian. Banyak warung-warung kecil dan pengecer yang tidak bisa lagi melayani pembelian, karena stok mereka kosong total.

Sejumlah warga mengaku kesulitan mencari gas melon meskipun sudah berkeliling ke beberapa titik pengecer. Bahkan, tak sedikit yang terpaksa kembali menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah sebagai alternatif, kendati dengan risiko dan keterbatasan yang tak sedikit.

“Sudah Lima Hari Tidak Dapat”

“Sudah lima hari saya keliling cari gas, semua pengecer bilang kosong. Katanya belum ada kiriman dari pangkalan,” ungkap Nani, seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Delta Pawan. Ia mengaku biasanya membeli LPG 3 kg seharga Rp20.000 dari pengecer langganannya. Namun kini, harga gas melon di pasaran pun melonjak hingga Rp30.000–Rp35.000 per tabung, itupun jika tersedia.

Kelangkaan ini juga menimpa para pedagang kaki lima dan pelaku UMKM yang mengandalkan gas melon untuk menjalankan usaha. Dodi, penjual gorengan di pasar tradisional Ketapang, terpaksa menutup dagangannya sejak dua hari terakhir.

“Kalau tidak ada gas, ya tidak bisa goreng. Mau beli di tempat lain harganya mahal, sudah tidak masuk hitungan untung,” keluhnya.

Pengecer Kehabisan Stok, Pangkalan Terhambat Distribusi

Ketiadaan stok di tingkat pengecer ini dipicu oleh terhentinya aliran pasokan dari pangkalan resmi. Sejumlah pengecer mengungkapkan bahwa sudah hampir seminggu mereka tidak menerima pengiriman dari pangkalan.

“Biasanya tiap tiga hari sekali kami ambil dari pangkalan. Tapi sudah lima hari ini kosong terus, tidak ada informasi pasti kapan datangnya,” ujar Yanti, pengecer di Kelurahan Mulia Baru.

Situasi ini menunjukkan adanya masalah dalam mata rantai distribusi, mulai dari agen hingga ke pangkalan dan pengecer. Di beberapa wilayah, keterlambatan distribusi juga diperparah oleh kendala teknis seperti cuaca buruk atau terbatasnya armada angkut.

Pemerintah Diminta Bertindak Cepat

Masyarakat pun mendesak pemerintah daerah maupun instansi terkait seperti Dinas Perdagangan dan Pertamina agar segera turun tangan untuk menormalisasi distribusi LPG 3 kg. Kelangkaan gas bersubsidi semacam ini bukan hanya mengganggu kebutuhan dasar rumah tangga, tetapi juga berpotensi memicu inflasi lokal, terutama dari sisi harga makanan dan jasa berbasis UMKM.

“Pemerintah harus hadir menyelesaikan persoalan ini. Jangan sampai warga kecil yang jadi korban terus,” ujar Herianto, Ketua RT di kawasan Tuan-tuan.

Sejumlah anggota DPRD Ketapang juga telah menerima laporan kelangkaan dari warga dan tengah menindaklanjuti masalah ini dengan memanggil pihak-pihak terkait. Mereka berjanji akan mengawal proses penyaluran LPG agar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menimbun atau mencari keuntungan berlebihan.

Kuota Subsidi Dipertanyakan

Di tengah kelangkaan ini, muncul pertanyaan besar mengenai keakuratan data kebutuhan LPG bersubsidi di Kabupaten Ketapang. Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai bahwa distribusi LPG 3 kg selama ini belum sepenuhnya berbasis data real-time, sehingga acapkali terjadi ketidaksesuaian antara kuota resmi dan kebutuhan di lapangan.

“Kondisi seperti ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem distribusi dan pengawasan gas subsidi. Jangan sampai terjadi kelangkaan rutin yang kemudian dibiarkan menjadi ‘normal baru’,” ujar Dedi Rahman, analis kebijakan energi dari Lembaga Kajian Publik Kalimantan Barat.

Selain itu, dugaan adanya kebocoran distribusi—di mana LPG bersubsidi justru dinikmati oleh kalangan yang tidak berhak—juga kembali mencuat. Hal ini memperkuat urgensi untuk mempercepat penerapan sistem distribusi tertutup berbasis NIK atau sistem digital berbasis aplikasi, agar penyaluran LPG tepat sasaran.

Pertamina dan Pemda Diminta Transparan

Hingga kini, pihak Pertamina maupun pemerintah daerah belum memberikan penjelasan resmi terkait penyebab utama kelangkaan dan langkah konkret yang akan diambil untuk mengatasi hal tersebut. Masyarakat berharap adanya transparansi informasi terkait jumlah pasokan, jadwal distribusi, serta kebijakan pengendalian harga di tingkat pengecer.

“Kita butuh informasi resmi. Kalau memang ada gangguan distribusi, jelaskan penyebabnya. Jangan sampai masyarakat terus menebak-nebak,” ujar Lina, warga Kecamatan Sandai.

Sementara itu, sebagian pihak menilai perlunya penertiban terhadap pengecer dan pangkalan yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau melakukan penimbunan. Dalam kondisi kelangkaan seperti sekarang, praktik semacam itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana.

Masyarakat Masih Menanti Solusi

Hampir sepekan berlalu sejak gas melon sulit ditemukan di Kabupaten Ketapang. Meski kelangkaan semacam ini bukan kali pertama terjadi, namun dampaknya tetap terasa berat bagi masyarakat, terutama kelompok ekonomi bawah dan pelaku usaha kecil.

Diperlukan langkah cepat dan terkoordinasi dari semua pihak—baik Pertamina, Pemkab Ketapang, maupun aparat penegak hukum—untuk mengakhiri krisis distribusi ini. Selama itu belum terwujud, masyarakat hanya bisa berharap dan bertahan dengan segala keterbatasan yang ada.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index