GAS

Harga Gas Naik, Gubernur Kepri Jelaskan Alasan Tarif Listrik Batam Melonjak

Harga Gas Naik, Gubernur Kepri Jelaskan Alasan Tarif Listrik Batam Melonjak
Harga Gas Naik, Gubernur Kepri Jelaskan Alasan Tarif Listrik Batam Melonjak

JAKARTA - Di tengah upaya memperkuat daya saing ekonomi dan investasi, Kota Batam justru menghadapi tantangan besar dari sektor energi. Meningkatnya tarif listrik di kota industri ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha. Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ansar Ahmad, akhirnya angkat bicara, menjelaskan penyebab utama dari lonjakan tarif tersebut yang tidak lain berasal dari naiknya harga gas sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik milik PLN Batam.

Menurut Ansar Ahmad, selama ini pasokan gas untuk pembangkit listrik di Batam berasal dari Gresik. Namun akibat menurunnya produksi dari wilayah tersebut, sekitar 30 persen pasokan gas terpaksa diganti dengan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang harus diimpor. Perubahan komposisi ini berdampak besar pada biaya operasional pembangkit, karena harga LNG jauh lebih mahal dibandingkan gas pipa domestik.

“Kenaikan listrik itu mungkin sesuatu yang tidak bisa dihindari ya,” ujar Gubernur Ansar. Ia menambahkan bahwa pergeseran dari gas pipa ke LNG telah menaikkan biaya pembangkitan listrik secara signifikan. Jika sebelumnya biaya gas pipa berkisar pada angka 7 dolar AS per MMBTU, maka harga LNG kini mencapai 13 hingga 15 dolar AS per MMBTU. Selain itu, biaya transportasi LNG dari Lampung ke Batam juga menjadi beban tambahan.

Kondisi ini, kata Ansar, membuat pembangkit PLN Batam harus menyesuaikan harga jual listrik. PLN Batam sebagai entitas usaha tidak mendapatkan subsidi atau kompensasi dari pemerintah pusat, sehingga mereka menanggung langsung kerugian ketika biaya produksi lebih tinggi dari tarif jual. Akibatnya, penyesuaian tarif menjadi langkah tak terhindarkan demi menjaga kelangsungan operasional dan pelayanan listrik di Batam.

Saat ini, komposisi pemakaian bahan bakar pembangkit listrik di Batam telah berubah drastis. “Sekarang proporsinya 70 persen LNG, sisanya gas pipa,” sebut Ansar. Ini merupakan perubahan besar yang secara langsung memengaruhi harga jual listrik ke konsumen, baik rumah tangga maupun industri.

Pemerintah Provinsi Kepri tidak tinggal diam melihat kondisi ini. Gubernur Ansar menyampaikan bahwa pihaknya sedang mendorong percepatan pembangunan proyek metering gas di Pulau Pemping yang nantinya dapat menyuplai kebutuhan gas untuk Kecamatan Belakang Padang, Batam. Proyek ini diharapkan menjadi salah satu solusi jangka menengah untuk mengurangi ketergantungan pada LNG.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Kepri juga mendorong agar kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) diterapkan terhadap pasokan gas dari wilayah Natuna. Menurut Ansar, gas dari blok Natuna selama ini sebagian besar diekspor ke Singapura tanpa ada pengalokasian yang cukup untuk kebutuhan domestik, khususnya Batam. “Kalau ini bisa kita tarik untuk kebutuhan sendiri, kita tidak perlu terlalu tergantung pada LNG,” kata dia.

Dalam jangka menengah hingga panjang, kebutuhan listrik Batam diperkirakan akan meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan industri, terutama pusat data (data center) yang sangat bergantung pada pasokan energi stabil dan besar. Gubernur Ansar memperkirakan, kebutuhan listrik Batam pada tahun 2027 bisa mencapai dua hingga empat gigawatt. Oleh karena itu, keterjaminan pasokan gas domestik menjadi sangat penting untuk mendukung pertumbuhan tersebut.

“Batam tidak boleh kalah dari Johor,” tegas Ansar, menggarisbawahi pentingnya menjaga daya saing kawasan. Harga listrik yang kompetitif menjadi salah satu kunci untuk menarik investor ke kawasan ini. Bila harga energi terlalu tinggi, maka potensi investasi bisa berpindah ke negara tetangga yang menawarkan biaya produksi lebih rendah.

Di tingkat nasional, DPR RI Komisi XII pun telah menyuarakan dukungan untuk mengalihkan sebagian pasokan gas dari blok West Natuna ke Batam. Potensi gas dari blok tersebut diperkirakan mencapai 190 MMSCFD, sementara pasokan yang saat ini disalurkan ke Singapura hanya berkisar 150-160 MMSCFD. Ini membuka ruang untuk mengalokasikan pasokan ke wilayah dalam negeri, termasuk Kepri.

Dalam rangka mengatasi persoalan energi di Batam, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan beberapa arahan strategis, termasuk penurunan tarif toll fee pipa gas, pemberian alokasi gas domestik berbiaya murah untuk PLN Batam, serta revisi struktur tarif listrik agar lebih berpihak pada konsumen rumah tangga. Langkah ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara keberlanjutan usaha pembangkitan listrik dan daya beli masyarakat.

Namun demikian, tantangan masih membayangi. Asosiasi pengusaha di Batam, seperti Apindo, telah menyampaikan kekhawatiran bahwa kenaikan harga gas dan tarif listrik dapat menekan kemampuan industri untuk bertahan. Jika tidak ada kebijakan afirmatif yang segera diambil, risiko pemutusan hubungan kerja dan hengkangnya investor bukanlah hal yang mustahil. Dalam beberapa kasus, biaya energi disebut telah melonjak hingga 30 persen hanya dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir.

Menghadapi dinamika ini, Pemprov Kepri juga menyiapkan rencana penguatan infrastruktur interkoneksi kelistrikan antara Batam dan Bintan, sebagai upaya diversifikasi sumber energi. Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pasokan energi ke kawasan industri dan residensial di masa mendatang.

Keseluruhan situasi ini memperlihatkan pentingnya pengelolaan energi secara strategis dan terintegrasi. Ketergantungan yang tinggi pada LNG bukan hanya berisiko terhadap kestabilan tarif listrik, tetapi juga pada kedaulatan energi daerah. Dengan menyeimbangkan pasokan energi lokal, menekan biaya impor, dan mempercepat pengembangan infrastruktur gas dalam negeri, Batam bisa tetap tumbuh sebagai kawasan industri andalan Indonesia, tanpa membebani masyarakat dan dunia usaha.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index