BBM

Distribusi Barang di Kalimantan Utara Terkendala BBM Subsidi

Distribusi Barang di Kalimantan Utara Terkendala BBM Subsidi
Distribusi Barang di Kalimantan Utara Terkendala BBM Subsidi

JAKARTA - Ketergantungan pada bahan bakar bersubsidi kembali menjadi sorotan, kali ini menimpa pelaku usaha pelayaran rakyat di Kalimantan Utara. Para pemilik kapal barang yang biasa mendistribusikan kebutuhan masyarakat ke pedalaman melalui Pelabuhan Tengkayu Satu di Tarakan mengaku kesulitan mendapatkan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar subsidi. Padahal, sebelumnya, Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPC Pelra) telah melakukan koordinasi dengan pihak Pertamina untuk mengantisipasi persoalan ini.

Kondisi ini menjadi kekhawatiran serius karena berdampak langsung pada rantai pasokan logistik barang kebutuhan pokok ke wilayah terpencil Kalimantan Utara. Jika distribusi barang terhambat, bukan hanya pengusaha pelayaran yang dirugikan, tetapi juga masyarakat di daerah pedalaman yang sangat bergantung pada distribusi reguler dari kota-kota pelabuhan.

Kesulitan mengakses solar subsidi membuat para pengusaha harus beralih ke solar non-subsidi yang harganya jauh lebih tinggi. Imbasnya, biaya operasional kapal melonjak tajam, dan untuk sebagian pelaku usaha, kondisi ini bisa menekan margin keuntungan hingga mendekati titik impas, bahkan merugi. Dalam beberapa kasus, beberapa kapal terpaksa menghentikan operasi sementara karena tidak sanggup menutupi ongkos bahan bakar yang terus meningkat.

Sementara itu, DPC Pelra yang menaungi para pengusaha pelayaran di Tarakan dan sekitarnya telah berupaya menjembatani komunikasi dengan pihak Pertamina. Koordinasi dilakukan untuk meminta kejelasan mengenai kuota distribusi solar subsidi yang seharusnya bisa diakses oleh pengusaha pelayaran rakyat. Namun hingga kini, realisasi distribusi yang diharapkan belum juga berjalan optimal.

Persoalan ini menunjukkan adanya celah dalam sistem distribusi BBM subsidi, khususnya di wilayah yang memiliki karakteristik geografis seperti Kalimantan Utara. Sebagai daerah dengan banyak jalur sungai dan laut sebagai sarana utama transportasi, pelayaran rakyat memainkan peran vital dalam konektivitas antarwilayah dan distribusi logistik. Ketiadaan solar subsidi berdampak langsung pada terganggunya rantai logistik yang melayani masyarakat di daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki akses jalan darat memadai.

Kelangkaan solar subsidi tidak hanya berdampak terhadap sektor pelayaran. Ketika distribusi logistik terganggu, maka harga barang kebutuhan pokok di wilayah pedalaman pun akan ikut naik. Biaya logistik yang tinggi pada akhirnya dibebankan ke konsumen akhir, yakni masyarakat yang berada di daerah yang justru paling membutuhkan kestabilan harga.

Para pemilik kapal juga menyatakan bahwa ketergantungan terhadap solar subsidi bukan karena keengganan untuk membeli solar non-subsidi, tetapi karena model bisnis pelayaran rakyat memang tidak dirancang untuk menanggung ongkos bahan bakar tinggi. Kapal-kapal kecil yang melayani jalur-jalur pedalaman beroperasi dengan margin sempit dan hanya bisa bertahan jika harga BBM tetap stabil dan terjangkau.

Di sisi lain, tidak adanya skema subsidi alternatif atau mekanisme penyaluran khusus bagi pelayaran rakyat menyebabkan para pengusaha tidak memiliki pilihan lain selain menunggu kejelasan distribusi solar subsidi. Mereka berharap pemerintah melalui instansi terkait bisa segera membuat kebijakan teknis yang lebih memihak pada pelayaran rakyat, seperti pengaturan kuota solar subsidi yang berbasis kebutuhan aktual di lapangan.

Pengusaha pelayaran menegaskan bahwa distribusi ke daerah pedalaman bukan sekadar kegiatan ekonomi, melainkan juga bagian dari pelayanan sosial. Kapal-kapal mereka membawa berbagai jenis kebutuhan mulai dari bahan makanan, peralatan pertanian, sembako, hingga barang industri kecil yang sangat dibutuhkan masyarakat di wilayah pedalaman Kalimantan Utara.

Para pelaku usaha berharap bahwa hasil koordinasi yang telah dilakukan DPC Pelra dengan Pertamina dapat segera ditindaklanjuti dengan distribusi BBM yang lebih tepat sasaran. Pasokan BBM subsidi seharusnya bisa dialokasikan secara khusus untuk kapal-kapal pelayaran rakyat yang melayani daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), sebagai bagian dari program pemerataan pembangunan dan ketahanan ekonomi daerah.

Mereka juga menginginkan agar pemerintah daerah turut serta dalam memperjuangkan akses BBM subsidi dengan melakukan pendataan kapal yang benar-benar beroperasi dalam distribusi kebutuhan masyarakat. Dengan data tersebut, distribusi BBM bisa lebih akurat dan tidak bocor ke sektor yang tidak berhak.

Jika masalah ini terus berlarut tanpa solusi konkret, maka bukan tidak mungkin distribusi ke wilayah pedalaman akan terganggu secara menyeluruh. Dampaknya bisa meluas hingga ke tingkat ketahanan pangan, kestabilan harga, dan ketergantungan masyarakat pada jalur pasokan dari luar daerah.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pertamina, dan asosiasi pelayaran seperti DPC Pelra perlu duduk bersama menyusun kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap keluhan saat ini, tetapi juga mampu memberikan perlindungan jangka panjang bagi pelayaran rakyat sebagai salah satu pilar konektivitas nasional.

Dengan mengamankan akses solar subsidi bagi pelaku usaha pelayaran rakyat, negara tidak hanya menjamin kelangsungan ekonomi daerah, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap pemerataan pembangunan dan perlindungan sektor usaha kecil di sektor transportasi laut.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index